Senin, 28 Desember 2015

Demikian pentingnya kata

Dan kata memang memiliki energi tersendiri. Betapa tidak, dengan dua kalimat Syahadat dibacakan maka seseorang akan resmi masuk dalam Islam. Demikian juga kalimat ijab qobul itulah yang menyatukan sepasang suami istri, dan dengan kata talak yang terucap itu kelak pun bisa memisahkan keduanya. Demikianlah kata yang terucapkan itu mengambil peran penting dalam hidup kita.

Demikian juga atas kata yang kita dengar, seperti dalam Surat Al Anfaal ayat 2 yang menjelaskan tentang ciri ciri orang beriman adalah saat disebutkan Nama Allah maka akan bergetar hati mereka, dan saat dibacakan ayat ayat Nya maka akan bertambah keimanan mereka.

Sehingga sajian yang dihidangkan dalam setiap awal pertemuan adalah Taujih robbani, dengan dibacakan ayat ayat Nya. Itu sudah sangat mereka nikmati. Karena lantunan ayat ayat tersebut menjadi energi. Menenangkan hati juga menjadi inspirasi untuk aktifitas kebaikan.

Bersyukurlah kita sebagai manusia, dikaruniai kemampuan berkata kata. Menjadi "khayawanun naatiquun" hewan yang berlogika. Mensyukurinya dengan memanfaatkan secara benar kata kata yang terlintas dalam hati dan pikiran, terucap dalam lisan, tertulis dalam tulisan, atau pun sekedar terdengar dalam telinga kita.

Alhamdulillah.    

Poetoe.
29/12/2015.    

Dini hari untuk diri

Kupikir dini hari memang dapat selamatkanku, karena saat itu adalah saat diri mudah untuk kembali mengendap. Sehingga larutan jiwa menjadi kembali jernih. Semua terbaca dengan lebih mudah.

Walau nanti saat siang dan kehidupan nyata kembali penuhi rongga kepala, terkadang larutan itu kembali teraduk. Memang menjadi kaya akan rasa. Karena semua bisa tercampur dan larut. Berputaran terkecap semua.

Namun melelahkan. Lalu yang terharap lagi adalah datangnya dini hari. Waktu untuk sendiri. Bersepi dalam sunyi. Endapkan semuanya.

#dinihariuntukdiri

Isyarat

Apakah isyarat itu? Serupa tanda atas pesan yang ingin tersampaikan. Atau mungkin simbol atas keterhubungan.

Mungkin isyarat adalah cara paling santun dalam bertutur. Bahkan seolah tak lagi ada kebutuhan akan tersampaikan atau tidak. Sekedar melepas tanda tanpa peduli terbaca atau tidak maksud dan maknanya.

Seperti klakson pelan itu, dibunyikan saja, saat melewati rumahnya. Mungkin akan terdengar dari dalam rumah, mungkin saja tidak, lalu apa maknanya. Entah. Mungkin memang sekedar bukti bahwa keduanya terhubung. Seperti canda dalam istilah René Descartes yang menyebut "Cogito ergo sum" bahwa saya berpikir maka saya ada, mungkin ini "Conecto ergo sum" dengan makna yang dipaksakan, saya terhubung maka saya ada.

Demikianlah, keterhubungan adalah keniscayaan.  Entah hubungan macam apa. Karena katanya ada hubungan yang tak terdefinisi, hanya terasa saat saling berinteraksi.

Padamu padaku, atau dalamku dalammu.

Demikianlah.

Minggu, 27 Desember 2015

Baik vs Buruk ( 2 )

Aku menemukannya. Pola itu. Bagan yang terlihat sederhana, namun dapat membuat kedut otakku menemukan iramanya. 

Adalah tentang manusia yang ada di antara dua bagian: kebaikan dan keburukan. Pada sisi kebaikan inilah yang telah terjelaskan pada tulisan sebelumnya,  secara mikro adalah prilaku kebaikan, secara makro adalah pola bagaimana kebaikan itu dapat berkesinambungan dalam kehidupan kita.

Bagaimana kita membangun pola itu? Kita butuh hikmah. Hikmah adalah ilmu dan pemahaman atas kebenaran. Dan dalam menangkap pemahaman itu kita butuh banyak cara pandang, ibarat untuk memegang satu benda kita butuh banyak jemari. Cara pandang yang terbatas membuat kita hanya mampu mencukil cukil kebenaran tanpa pernah dapat menggenggamnya.

Selain menggenggam ada cara lain yaitu melilitkan benda itu agar dapat kita angkat. Dan melilit itu adalah gerakan memutar, artinya akan lebih jauh perjalanannya, akan lebih melelahkan. Namun hasilnya akan lebih kokoh dalam mendapatkan  pemahaman itu.

Demikianlah hikmah yang kita butuhkan, seringkali terlihat tidak efektif karena menggunakan banyak cara pandang, atau juga bergerak berputar-putar. Seakan-akan membuang waktu, seperti dengan membaca buku-buku yang ditulis oleh seorang yang mungkin tidak sedang berpihak pada kita. Selama niat awal membacanya tetap dalam semangat membangun pola kebaikan itu, maka cara ini justru dapat membuat kita lebih lentur, lebih cair, lebih bijak dalam memandang dan bersikap.

Wallohua'lam .

Dini hari, 28 Desember 2015. 

Baik vs Buruk ( 1 )

Hidup memang tentang pertarungan kebaikan melawan keburukan. Di pihak manakah kita?

Secara mikro, ini tentang berapa kebaikan yang telah kita lakukan. Seperti yang telah Nabi contohkan dan ajarkan, tentang saling  mendoakan keselamatan dan keberkahan saat salam ditebarkan,  tentang memberi makan orang miskin dan berlemah lembut terhadap anak yatim, bahkan ancaman atas keduanya bisa membawa kita pada mendustakan agama, juga tentang menjenguk orang sakit, mengurusi jenazah, bersegera memaafkan, saling berbagi hadiah, tidak mencela,  tidak memotong pembicaraan, dan banyak lagi. Pada intinya adalah prilaku kebaikan. Dan Rosulullah SAW dulu rajin mengevaluasi diri dan sahabat nya seberapa banyak kebaikan yang telah dilakukan  di setiap harinya. 

Sedangkan secara makro, kebaikan itu tidak sekedar dilakukan  melainkan diperjuangkan kebersinambungannya.  Pembinaan,  pembiasaan,  dan membangun pola perikehidupan yang mendukung kebaikan itu lestari. Seperti yang dahulu Rosulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya membangun kota Madinah sebagai kota modern dan berperadaban, negeri yang madani. 

Dan atas kebaikan yang kita lakukan itu, akan membawa kita pada kebahagiaan, ketenangan, kehidupan tanpa kesedihan. Seberat apapun, sepedih apapun, terus lakukan kebaikan adalah energi untuk tetap bahagia.

Wallohua'lam bish showab.  

Jumat, 18 Desember 2015

syukur pagi

Dan di hampir setiap pagi, ada kesadaran bahwa langkah kaki ini sudah cukup jauh. Walau banyak yang tercecer, dan waktu yang tersiakan. Kualitas atas hidup yang tak terpelihara, sehingga hidup terasa kering makna.

Agh... mengapa justru ada keluh di pagi ini? Padahal keluh itu musuh syukur. Dan dalam kitab suci syukur selalu diseberangkan dengan kufur.  Artinya berkeluh kesah akan membawa kita pada kufur nikmat.

Baiklah, ini yang harus aku syukuri.  Ada pagi, ada semangat, ada cinta, ada kehangatan, ada kesehatan , ada langit cerah, juga ada kamu.

Beranjak dari apa yang aku syukuri ini, aku ingin kumpulkan energi sambut hari ini.

Semoga selalu menjadi lebih baik. Aamiin.

Poetoe 18/12/2015  

berharap solusi dari Yang Maha Pemberi Solusi

Dunia itu sekolah. Karena bahkan nongkrong di warung kopi itu adalah kelas. Seperti pagi ini, mendapat pelajaran indah dari seorang teman. Bahwa suksesnya kita di dunia ini bergantung pada seberapa hubungan baik kita kepada Tuhan kita. Semakin intim,  semakin lebar terbuka pintu solusi atas semua masalah.

"Alloh Shomad",  Dialah tempat bergantung. Saat terpukau kita oleh Cahaya Nya,  maka tak akan ada lagi kegelapan. Kesulitan seberat apa pun akan ringan saat Maha Pemberi Solusi itu berkehendak.

Saat dengan keyakinan kita bisikkan kebesaranNya, maka dunia menjadi remah remah sederhana saja.

Aku berlindung kepadaNya dari segala godaan Syetan yang terkutuk. Aku mohon jalan keluar atas segala masalah yang menghadang di depan mata.

Aamiin.

17 Desember 2015. 

Hadits ke 40; tentang dunia

Hadits ke 40 dari Hadits Arba'in karya Imam Nawawi "Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau penyeberang jalan......"

Jadi punya dalil... untuk tetap menjadi orang asing. Yang pura pura tak terlalu kenal. Walau sesekali mungkin aku bisa membunyikan klakson di depan rumahmu. ... hehe...

Maksudnya agar tak menganggap dunia sebagai kampung halaman....

Karena kampung halaman kita di akhirat.

So kita bisa lebih mudah rela saat kehilangan sesuatu di dunia ini....
Toh itu bukan milik kita.

Lebih mudah rela saat terpuruk di dunia ini.
.... Toh ini bukan akhir dari kehidupan kita

Tak mudah untuk disakiti karena ini toh hanya di dunia. Di tempat asing..... yg penting nanti di kampung akhirat kita bahagia dan mulia

Mudah memaafkan, karena kesalahan orang lain atas kita di dunia ini toh itu urusan  mereka dengan Tuhannya, justru dengan memaafkan, dapat menjadi bekal kita di kampung akhirat nanti. Aamiin.

# tentang dunia.

Rasa sayang

Rasa sayang itu tumbuh dan berkembang. Terkadang seperti virus yang mewabah.  Seperti rasa atas seorang yang kita kenal, awalnya hanya rasa hormat,  karena sikap dia sopan dan tertata. Lalu menjadi kekaguman,  salut. Tumbuh menjadi rasa syukur telah mengenal ia dalam kehidupan  ini.  Berkembang menjadi ingin lakukan sesuatu untuknya, ingin bermanfaat. Juga tumbuh rasa tak ingin ia terluka, demikian pula bahagia saat ia bahagia.

Begitulah rasa itu mewabah.  Bisa tumbuh di mana mana. Kepada siapa saja, bahkan terkadang rasa itu tumbuh demikian kuat pada seekor kecoak yang kesakitan saat tersiram karbol di kamar mandi. Duh... rasa berkembang biak dengan pesat.

Jika kau lalu cemburu atas apa yang aku rasa ini, rasanya akan berat hari hari yang kau akan lalui, karena akan banyak potensi cemburu itu yang kelak kau temui. Semoga kau lalu mengerti. Karena setiap rasa itu tentu berbeda tempatnya di ruang hati. Semua akan istimewa di sana.

Mari jalan bersama, biar aku ajarkan bagaimana menggembala rasa sayang ini, agar tetap subur di padang rumput jiwa ini. Aamiin.

Poetoe/11/12/15 

Senin, 07 Desember 2015

Angin dan jangkar hati

Pernah kupikir cukuplah menjadi angin, walau selalu asing menjelajah bumi. Dan mengisi di banyak ruang dan waktu. Ia lentur ikuti bejana yang tersedia, menurut apa kata ruang yang ditawarkan. Penjelajahan yang tak terukur batas akhirnya.

Hingga suatu saat, ada genangan jiwa yang memaksanya tertambat lama. Hingga saat ia harus kembali beranjak tetap saja tinggalkan jejak.  Bahkan tak sekedar jejak, karena seolah ada jangkar yang telah terlempar. Atau mungkin serupa remote control yang tertinggal. Dan itulah yang membuat ia suatu hari tetap harus kembali. Sekedar untuk duduk di sekitarnya, atau hanya menghirup udara yang mungkin sisa udara yang ia hirup.

Bergegas lalu berdiri saja, dan hanya menatap saja, seolah menatap galaksi dengan ribuan benda benda angkasa. Dan keterpukauan hanya hasilkan air mata yang bukan kesedihan.

Lalu kembali angin menebarkan dedaunan.  Waktu seolah ikut terserak. Mana kenangan dan mana harapan tak lagi terdefinisi.

7 Desember 2015.

Tentang dunia

Malam ahad kemarin, mendapat nutrisi ruhani yang indah. Tentang seperti apa sebenarnya dunia. Dibuka dengan kisah diturunkannya Adam dan Hawa dari surga karena tergelincir oleh bujuk rayu setan, tergoda oleh pemutarbalikan fakta, bahwa larangan makan buah khuldi adalah agar mereka tak hidup kekal. Maka mereka pun terusir hingga ke dunia. Tempat yang berbatas. (QS Albaqorah 35-37).

Lalu tentang dunia secara detail dijelaskan dalam QS Al Hadid ayat 20-21, bahwa dunia itu:
1. Senda gurau.
2. Permainan
3. Aksesoris
4. Fasilitas
5. Kompetisi/berbanyak banyak

 Apa yang harus kita lakukan di dunia ini? Adalah dengan bersegera menuju ampunan Alloh dan berlomba lomba meraih surga. Banyak pintu kebaikan yang terbuka. Sehingga dunia menjadi sarana pijakan untuk dapatkan surga.

Wallohua'lam .
Akhir pekan lalu menjadi akhir pekan penuh makna.  

matahari

Waktu memang tentang malam lalu siang, gelap lalu terang. Semangat jalani hidup bisa dirasa saat hati berharap bertemu pagi di malam hari. Kerinduan bertemu matahari di esok hari adalah energi. Harapan matahari esok pagi adalah matahari yang cerah, terang membuka ruang,  juga hangat menjaga raga dan rasa.

Demikian pula kau matahariku, aku rindu kau sebagai suluh, menyelamatkanku dari tenggelamku di kubangan rawa kata-kata.

Dan matahari terbit lagi... Entah yang ke sekian kali. Aku tak seberapa risau,  bagiku yang penting melihatmu cukuplah. Telaga pengetahuan di matamu, juga tali kendali atas jiwaku yang tersangkut di rantingmu.

Kau tahu bahkan saat pagi adalah mendung yang gelap, dan tak kulihat matahari aku tetap yakin kau ada. Bukankah yang tak terlihat itu tidak lalu tidak ada?

Matahari, mungkin kebutuhanku atasmu serupa daun butuhkanmu untuk proses fotosintesis.

Selamat terbit lagi. Matahariku. Tetap cerah dan bercahaya lah.

Semesta, 07/12/2015

Selasa, 01 Desember 2015

Menjadi Orang Asing

Menjadi orang asing, seperti saat di angkutan umum. Tak ada satu pun yang kita kenal begitu juga tak ada satu pun yang mengenal kita. Rasanya beda, dan sebenarnya indah juga. Bagaimana kita bebas berlama dalam diam. Bermain gadget, juga membaca buku sekehendak kita.

Menjadi asing ini sebenarnya salah satu cara bermain yang paling dasar. Lihat saja, anak - anak kita, mereka sering ciptakan permainan dengan gaya itu. Saat pura pura belanja, "Eh, ibu mau belanja apa? Tinggal di mana bu?"
"Ojek mbak, mau turun di mana?" Bercandaan standarku hampir setiap pagi saat istri mulai duduk di belakang motorku. Dan menariknya ia tetap menjawab "ke Bekasi Timur ya Bang..."

Iya, bagian dari permainan dasar adalah berpura-pura tidak saling kenal. Mungkin memang demikian seharusnya kita bersikap pada dunia. Sabda Nabi, "Jadilah di dunia seakan-akan orang asing dalam perjalanan..."

Demikian juga kita, bagaimana jika kita berpura-pura untuk tidak saling kenal saja. Seperti penumpang dalam  bis, yang hanya mengenal wajah teman seperjalanannya,  tanpa tahu nama, alamat, kerja di mana. Hanya sesekali saja berserobok mata, itu pun lalu menunduk.

Ahai. Hello makhluk asing.

Poetoe, 2 Desember 2015.

Labirin

Dulu aku berpikir hidup itu seperti pilihan yang berlapis, satu pilihan akan mempertemukan kita dengan pilihan yang lain. Begitu seterusnya, seperti seorang dalam labirin,  setelah memilih jalan ke kanan ia akan dihadapkan pada pilihan yang lain, ke kanan lagi atau ke kiri. Sampai kita bertemu akhir dari perjalanan yang entah baik atau buruk. Kemalangan atau kesuksesan.

Jika ingin sukses jalani labirin ini kita cukup pegang peta, atau lebih enak lagi saat kita punya satelit pemantau di atas kita yang dapat mengarahkan kita arah yang benar.

Namun hari ini aku berpikir lain, karena bahkan hidup itu tak sesederhana itu. Ada banyak tarikan kepentingan di luar sana, yang mengkusutkan perjalanan kita. Ada pihak pihak yang tiba-tiba saja merasa pantas mendominasi kita, seperti menggenggam tengkuk kita. Lalu kita seolah anak kucing yang hanya mampu meronta manja mengikuti kemana kita akan dilemparkan.

Mungkin bukan hanya peta, atau pun satelit di atas sana yang kita butuhkan, melainkan juga kemantapan hati dan azam/tekad yang kuat, untuk bertahan pada rute perjalanan ini tanpa goyah oleh tarikan-tarikan kepentingan di sekitar kita.

Peta adalah kitab suci, satelit adalah doa kepada Nya,  kemantapan hati adalah istiqomah menggenggam keyakinan itu. Setelah perintah iman itu memang perintah untuk beristiqomahlah.

Wallohua'lam.

*catatan untuk para abdi bangsa yang terus sibuk direcoki kepentingan politik yang sebenarnya kepentingan usahanya.

Poetoe,  2 Desember 2015

Sabtu, 28 November 2015

Sungkem ibu

Demikianlah di setiap perjalanan kita mungkin butuh sejenak rehat pada oase itu. Seperti perigi rindu, tempat semula kita bermula. Di sana kita bisa sembuhkan dahaga, untuk lalu hisap energi baru.

Di sana pula, kita mengulang banyak hal, untuk membaca lagi peta, karena mungkin kita mulai lelah pada simpang siurnya jalan. Pilihan yang terlalu banyak kita temui, dan telah beberapa kali kita merasa salah memilih. Dengan mengulang pada titik awal kita bermula, mungkin kita akan temukan pangkal keruwetan itu.

Dan untuk mereguk perigi rindu itu, juga membaca ulang peta itu, hanya dengan cara sederhana, yakni bertemu dengannya. Duduk bersama, dan buat ia tersenyum. Dia pintu surga kita, karena surga ada di telapak kakinya. Ibu.

Sungkem ibu, November 2015.

Jumat, 27 November 2015

Alarm Hati (lagi)

Jika jiwa ini serupa genangan maka ia teracik atas "fujur"dan "takwa". Dua hal yang bertentangan. Pengingkaran dan  ketaatan. Keduanya melengkapi spektrum kita sebagai manusia. Dan secara fitrah, secara asasi, jiwa berasa tenang saat kita taat. Dan sebaliknya saat bermaksiyat jiwa meronta kesakitan. Ini terlihat pada kehilangan rasa bahagia para pelaku dosa.

Alarm hati yang menjerit bising saat kita lakukan  kemaksiatan. Jeritan alarm itu mengganggu kenyamanan hati. Dan akan berhenti jika kita berhenti lakukan kemaksiatan itu.

Masalahnya adalah, terkadang kita bodoh untuk menjadi pembelajar hingga rela lakukan pengulangan pengulangan atas kesalahan kesalahan kita. Dan keledai pun menjadi lebih baik dari kita.

Menyesal? Harus. Tapi jangan sekedar menyesal.  Beranjaklah.  Beranjaklah jika kau memang ingin bahagia.

Poetoe, 27 November 2015.  

Minggu, 22 November 2015

Rasa kalahkan nalar.

Mungkin kau juga pernah rasakan, ketika berita tak lagi menarik perhatian kita. Saat tak lagi ada percaya atas objektifitas berita, kita jadi menerima berita apapun dengan penuh prasangka. Memang prasangka adalah virus yang hebat untuk melumpuhkan nalar. Fakta menjadi tak berarti, namun demikian pula sebaliknya. Saat ada cinta, fakta pun berubah nilai. Terkadang hal yang sangat sederhana menjadi demikian berarti. Detail yang biasa kita abaikan berubah menjadi simbol yang sakral.

Begitu pun saat benci menjalar, kita akan demikian bersemangat menyebarkan informasi yang mendukung misi kita untuk meyakiti yang kita benci. Sebaliknya saat cinta tumbuh kuasai hati, maka kita akan sibuk menggunakan semua fasilitas untuk menebarkan informasi atas rasa cinta itu.    

Demikianlah hati membuktikan peran pentingnya atas akal.

Poetoe,  November 2015.

Rabu, 18 November 2015

memaafkan?

Dengan apa sebenarnya kita basuh luka ini? Apakah cukup dengan sekedar melupakan?  Ataukah kita harus benar-benar melepaskannya?

Jika mau kita baca perlahan atas apa luka ini tergoreskan, mungkin kita akan menemukan kata-kata pedas yang terayun tajam, atau bahkan memang benturan fisik yang benar-benar melukakan. Perihnya hati juga pedihnya luka pada sekujur tubuh.

Luka badan bolehlah segera kita obati, tapi bagaimana dengan luka dalam hati? Melupakan itu tak akan mudah, karena demikian dalam luka ini. Bagaimana dengan melepaskannya? Melepaskan itu serupa memaafkan, terbayanglah betapa sulitnya.

Saat kata "memaafkan" terucap, yang terbayang justru peristiwa menyebalkan itu. Lalu bibir segera terhenti. ... batalkan hati. Memaafkan memang indah namun tak mudah.

Namun saat berhasil tulus memaafkan, maka yang akan didapat adalah kelegaan yang luar biasa. Kemenangan atas diri. Memaafkan adalah bukti kemenangan kekuatan hati untuk menaklukkan ego.

Selasa, 17 November 2015

Alarm Hati

Dear hati...
kalau aku mulai tenggelam .. bunyikan alarm ya.

Tapi alarmnya bunyi malah jadi bikin merem yaa

Padahal waktu merem kadang bayangannya jadi lebih jelas.

Itu karena dalam pekat.. warna yang baru dilihat justru terekam jelas..

Jika begitu, aku mau tetap merem saja.

Jumat, 13 November 2015

Pohon harapan

Terkadang pohon sengaja gugur kan daunnya di saat kemarau panjang. Tapi tak lalu ia mati, ia hanya kurangi bebannya, agar ia dapat bertahan sampai kemarau usai.

Ia yakin saat hujan turun daun2 baru akan segera tumbuh.

Harapan yang terpelihara adalah kunci untuk tetap bertahan. Karena harapan yang terkubur, pastilah akan lahirkan harapan baru di sisi lain. Terkadang kita yang tak melihat sisi lain itu. Lalu terjebak pada penyesalan dan putus asa.

..... tentang harapan.

Cerita tentang dua hati

Ini tentang dua hati yang terpisahkan oleh dua tubuh yang berbeda. Namun keduanya merasa dulu berasal dari satu hati. Karena demikian sakit saat jarak ditambahkan. Juga saat batas norma yang dengan dingin menebaskan jeda.  Bahkan jarak dan norma seolah duo yang kompak saling bekerja sama mencegah dua hati itu menyatu. Saat norma mulai melunak,  justru jarak mengembang,  hingga pertemuan tentu menjadi kelangkaan. Demikian halnya saat jarak mendekat justru norma yang menebal. Sehingga terkadang keduanya duduk berdekatan namun tanpa ada percakapan personal yang diberi kesempatan. Hanya duduk diam. Sesekali tatapan beradu pandang. Tanpa kata. Dan kedua hati berusaha menyapa dalam diam. Berusaha pancarkan sinyal agar terbaca oleh pasangannya. Biasanya lali senyum tipis sebagai tanda telah mengertinya pesan sepi itu.

Pesan dimengerti begitu saja. Tanpa ada kesempatan klarifikasi atas kebenarannya. Awalnya memang mereka berdua galau, berharap bisa meminta penegasan atas rasa masing-masing, namun tak ada ruang dan waktu yang mendukung. Klarifikasi itu hanya menjadi harapan saja. Tersisa hanya diam. Hanya diam.

Namun diam ini justru menjadi pupuk yang baik untuk tumbuhan rasa ini. Karena ia menyuburkan. Hingga menumbuhkan rasa ini menjadi tidak sekedar penaklukan, penguasaan, kepemilikan dan hasrat sekedar untuk selalu bersama. Melainkan tumbuh menjadi lebih dewasa, keinginan untuk menjaga, harapan bahagia bersama, memahami, meleburkan diri dalam ingin yang sama.

Demikianlah dua hati itu masih terpisahkan, namun jarak dan batas tak melemahkan energi mereka, justru sebaliknya, menguatkan, menjadikan keduanya sebagai sumber energi baru. Yang tak berkesudahan.

#tentangduahati

Kamis, 12 November 2015

Alasan atas kenakalan

Saat itu aku memang seringkali lakukan kesalahan  juga. Bahkan beberapa kali pun aku kena sanksi atas kesalahan itu. Dan aku tetap menjalani tanpa kegalauan  bahkan... pernah aku dihukum dengan harus membuka baju dan membantu pekerja bangunan di sekolahku yang waktu itu memang sedang renovasi. Rasanya guru berikan hukuman itu untuk mempermalukanku. Namun aku menjalaninya dengan tetap percaya diri. Saat itu aku selalu punya alasan atas apa yang aku lakukan. Iya... rasanya itulah yang membedakan. Mungkin aku memang kehilangan.

"Kenapa kamu bolos? "
Jawabku "saya sedang belajar bu?"
"Belajar kok bolos."
" saya sedang belajar bolos. Setelah ini saya siap kok belajar terima hukuman."

Saat itulah aku bisa jalani hukuman dengan suka rela.  Aku selalu punya alasan, bahkan untuk kenakalan kenakalan itu.

Catatan di sekolah doeloe.

Rabu, 11 November 2015

Tentang rasa itu

Seperti mata yang genangannya selalu saja bisa sebagai tempat rehat yang terindah. Saat se lelah apapun  rebah di sana membuat enyah semua lelah.

Seperti wajah yang merangkum semua. Hingga saat menatapnya kau tiba-tiba temukan semua jawaban. Membuat wajahmu ikut berbinar, lalu saat kau berbalik melepasnya kembali pada senja, langkahmu menjadi berenergi.

Dan seperti layang layang yang paham, bahwa tali kendalinya telah tersangkut pada senyum itu, sehingga hari rasanya tak mungkin dilanjutkan tanpa sejenak kau kunjungi ia. Walau hanya sesaat.

Demikianlah, rasa itu dengan pintarnya mengubah semua jadi indah.

Indah, sangat indah.

Poetoe, 11 November 2015. 

Selasa, 10 November 2015

Bass

Bass dalam komposisi lagu, menjaga irama dengan nada nada rendah. Berkeserasian bersama suara drum. Menghentak menjaga barisan nada juga emosi dari lagu. Saat menikmati satu lagu, aku sering membiarkan diri terseret dalam arus suara bass. Meliuk-liuk di kedalaman birama, seperti detak jantung yang pasti berdentam walau terkadang tak terasai.

Terkadang hinggar bingar dunia terlalu gaduh untuk kita cermati satu demi satu.  Kita butuh panduan untuk tetap bertahan pada arus utama. Terpejam menjadi satu cara. Terpejam dalam. Hingga gelap pekat penuhi benak. Lalu memegang kendali nada pada suara bass itu. Sesekali mungkin akan terlempar ke kanan dan ke kiri. Tak mengapa, yang pasti jangan sampai terlempar terlalu jauh. Atau lalu tersesat dalam rimba birama.

Pedoman. Peta. Iya, kita memang butuh peta dalam jalani hidup. Terlalu banyak suara, gebukan drum, denting piano, raungan gitar, lengkingan melodi, untaian syair, teriakan penonton, terlalu banyak lampu terang, terlalu pekat oleh benturan, terlalu banyak informasi sampah, terlalu banyak marah, terlalu banyak sia sia. Jika lelah, kita memang butuh rehat. Agar saat kembali melangkah, kita bisa kembali fokus, membaca peta dengan benar.  Semoga tak sesat, semoga tak hilang arah.

Aamiin.

Poetoe,  sehari setelah hari pahlawan di tahun 2015.

Kamis, 05 November 2015

Lukisan Jelaga

Malam ini aku siapkan kanvas. Karena memang aku benar benar butuh sarana menggambarkan kemuraman hari-hari ku.  Bukannya mau mengeluh, namun ini hanya butuh ruang ekspresi sederhana. Sebagai selokan kecil atas gelisah yang butuh ruang. Maka kuambilah jelaga. Aku goreskan perlahan. Ini tentang rasa bersalah ini tentang batas seharusnya yang terlanggar.

Hasilnya memang hanya lukisan sederhana, cerita yang tertata dengan tak sempurna. Tak terbaca dengan mudah, karena goresannya terlalu gamang. Tapi kumohon tetap lah kau baca. Lalu berikan aku masukan. Aku butuh kata pelipur.  

Setelah kurasa layak, aku pandang berlama lama lukisan jelaga itu. Aku seperti memandang cermin. Begitu berantakannya aku. Wajah pendosa yang masih berharap doa doanya dikabulkan. Kucari dalam lukisan itu, setitik genangan di ujung kelopak mata. Genangan yang dapat kugunakan untuk basuh gelisahku, hapus resahku. Air mata. Iya, air mata.

poetoe,  5 November 2015

Selasa, 03 November 2015

Apa yang bisa membuat lebih tenang (jilid dua)

Terbangun jilid dua. Setelah tadi terbangun, lalu coba memanjakan diri, berpikir tetang bagaimana agar bisa lebih tenang. Ternyata masih bisa lanjutkan berbaring.  Mencoba tidur. Sekejap lelap. Namun masih sama. Mimpi yang detail dan berjejalan, lalu terlonjak kembali terbangun.

Kali ini yang tiba-tiba terpikir adalah "mu'aqobah". Memberi sanksi atas diri atas kesalahan yang kita lakukan. Ini tradisi sahabat Rasul dulu. Tentu sanksi itu berupa hal yang dihalalkan dan positif. Seperti Umar bin Khattab yang mewakafkan kebunnya  karena kebunnya pernah melenakan ia dari seruan azan.

Mungkin cara "mu'aqobah" ini bisa menjadi salah satu cara menenangkan hati.

Jadi teringat buku kecil yang pernah mencerahkanku dulu, buku pinjaman dari seorang teman. (Seorang yang tak akan aku lupakan jasanya karena menarik aku kembali ke jalan yang benar.) Judulnya "Tarbiyah Ruhiyah" karya Abdullah Nashih Ulwan. Akhirnya aku memilikinya. Isinya sederhana namun dalam dan praktis. Tentang jalan menuju taqwa:
1. Mu'ahadah : mengulangi janji kita sebagai hamba
2. Muroqobah: mendekatkan diri, dan selalu merasa terawasi.
3. Muhasabah: berhitung diri, instropeksi
4. Mu'aqobah : menghukum diri
5. Mujahadah : penuh kesungguhan.

Semoga kembali mengingat materi buku ini menjadi pintu solusi atas sulit tidurku.  Aamiin.

Poetoe.  Masih dini hari. 4 November 2015.
   

Apa yang bisa membuat lebih tenang

Sebenarnya apa yang membuat bisa lebih tenang?

Pertanyaan buatku sendiri, setelah beberapa hari didera susah tidur yang aneh. Selain itu, jika tertidur pun aku bermimpi yang saat terbangun pun aku teringat detail mimpinya. Jadi rasanya tidurku  pun tidak lalu menjadi sarana istirahatku yang berkualitas.

Seperti akhir pekan lalu, aku bermimpi tentang satu adegan saat aku harus lakukan kunjungan dalam rangka tugas. Mimpinya detail, bahkan percakapannya aku ingat sampai terbangun. Sempat ada yang aku edit, karena ada kalimat yang kurang pas. Anehnya kejadian esoknya sama persis, posisi duduk, dan percakapannya. Tentunya aku sudah gunakan kalimat edisi revisi. Seperti de ja vu.  

Malam ini aku terbangun dini hari, dengan mimpi sebelumnya yang tak terlalu penting adegan-adegannya, namun tetap saja membuat terbangun.

Kuputuskan tak lalu memaksa kembali tidur. Aku lanjutkan saja dengan meluangkan waktu ini untuk sejenak berpikir mendalam tentang apa yang sedang aku alami. Tentunya dengan melibatkan-Nya.

Pertanyaan di atas yang aku ulang - ulang.

Sebenarnya apa yang membuat bisa lebih tenang?

Beberapa jawaban aku kumpulkan. Setiap jawaban aku berikan lagi pertanyaan: Benarkah?

Tentu dengan mempertimbangkan apa yang belakangan ini aku kerjakan.  

Apa saja alternatif jawaban itu, sementara tak aku uraikan di sini. Takut tulisan ini menjadi semakin serius. Tapi paling tidak, ada benang merah, atas keresahan dalam pola istirahatku dengan pelanggaran-pelanggaranku atas daftar "yang seharusnya" aku lakukan. Setiap pelanggaran itu melahirkan perasaan bersalah, perasaan bersalah itu seperti alarm tubuh, berdenging meraung raung membuat tubuh belingsatan. Ada dua cara menghentikannya,  pertama: bersegera beranjak, tinggalkan pelanggaran- pelanggaran itu sampai alarm itu berhenti berbunyi. Atau cara kedua: ubah setting alarm itu, hingga tak lagi berbunyi sekalipun  pelanggaran itu aku lakukan.

Aku tahu, apa yang seharusnya aku pilih. Tapi aku tak akan sampaikan di sini. Maaf. Bukannya tak mau, hanya mungkin memang belum waktunya.

Poetoe. Dini hari 4 November 2015.

Senin, 02 November 2015

Setelah hujan akhirnya turun

Tentang hujan yang sudah lama ditunggu.

1.
Pagi, setelah semalam hujan, aku mengingatkan istriku "sudah bawa payung, dik?" Dia menggeleng,  lalu aku tawarkan payung di tasku.  Dia tersenyum, "jadi selama ini kamu bawa payung di tasmu? Walau kemarau? "
Aku mengangguk.  "Yup. Bukankah konyol kita berharap segera hujan tapi kita tak bersiap menyambut hujan?" Bunga anak kedua, berbinar. ...  berdiri, "Bapak benar... " sambil ngajak toss.

2.
Masih pagi yang sama, saat berkendara bersama istri, di jalan melewati jasad tikus yang mati tertabrak.  Banyak. Kalau tidak salah hitung ada empat jasad. Serem. Tubuh mereka remuk. Mengapa justru setelah semalam hujan mereka banyak yang mati di jalan?

Apakah semalam ada pesta para tikus, sehingga mereka mabuk dan lupa diri lalu menyeberang ke tengah jalan?
Ataukah hujan mungkin bukan hal menarik buat mereka karena lalu rumah mereka di got di penuhi air, mereka keluar dari got pergi ke jalan lalu justru maut menjemput?

Entahlah.... karena aku bertemu dengan mereka pagi ini sudah dalam keadaan menjadi mayat.  Tapi jika pun tidak, toh aku juga belum berhasil pelajari bahasa tikus...

Jadi sudah lah.  Biarkan ini jadi pertanyaan dan asumsi saja. Semoga kematian mereka pagi ini kematian yang terindah bagi mereka.

Aamiin.

Bekasi Jakarta.  3  November 2015.
Poetoe.

Ganti Nama


Tiba-tiba saja, Asa anak ketigaku minta ganti nama. "Lho itu nama Bapak nyari nya susah. Emang mau diganti pakai nama apa?"
"Pelangi." Jawab dia tegas. "Panggil saja kakak Pelangi."
"Kan Asa Adila Madania udah bagus dik, kenapa harus diganti?"
"Di TK A ada temen ku yang dipanggilnya juga Asa. Aku males... " dia menjelaskan sambil cemberut.
"Kalau panggilannya Pelangi terus nama panjangnya siapa?"
"Pelangi indah di langit yang biru." Jawab dia mantab. Sejak itu dia menolak saat dipanggil Asa. Dia hanya mau dipanggil "Pelangi."

Kami hanya bisa berharap dia segera lupa, agar tidak harus mengganti akta kelahirannya.

Ataukah mungkin sebagai orang tua kita tak perlu memberi nama anak, lalu biarkan saja ia nanti yang memilih namanya sendiri setelah dia punya ide atas nama yang ia suka.

November 2015.
Poetoe.

(Bait terakhir itu ide dari +listra mindo​​)

Rabu, 28 Oktober 2015

Menjaga kualitas amal

 Mungkin sikap hati yang salah setelah satu amal kebaikan yang telah kita lakukan akan merusak bangunan pahala dan balasan atas kebaikan itu. Godaannya bisa berupa perasaan kita telah banyak berkorban, atau berupa anggapan bahwa orang lain tak bisa lakukan apa yang telah kita lakukan, bisa pula perasaan bahwa orang lain tidak melakukan apa apa, bahkan cenderung memanfaatkan kita.

Namun bisa pula godaan itu berupa sikap sakit hati saat dituduh tidak lakukan apa apa, padahal kita merasa telah lakukan banyak hal. Sakit hati ini bisa menjadi bukti bahwa kita melakukan kebaikan itu hanya semata - mata berharap sanjungan, pujian atau sekedar pengakuan dari orang lain. Betapa rumitnya penyakit hati ini.

Perjalanan menyelamatkan amal kebaikan ini hingga ke hari penghitungan amal itu memang tak mudah. Kita harus jeli dan hati-hati dalam membaca gerak hati kita. Kita butuh panduan juga teman, untuk saling mengingatkan. Lalu setiap ingin lakukan sesuatu, lakukan saja, jangan berharap apa pun. Tentu kecuali harapan keridhoan dari - Nya.

Semoga kita bisa bersama selamat dari jebakan penyakit hati ini.

Poetoe, 26 Oktober 2015

Senin, 26 Oktober 2015

Enam belas tahun kita

Enam belas tahun bersamamu, adalah masa pembelajaran yang indah. Aku membacamu kau membacaku. Nilai kita mungkin berbeda, kurasa kau lebih unggul, karena berhasil  mengertiku dengan baik.  Justru aku yang masih terbata-bata mengeja tentangmu.  Padahal bukan karena kau rumit, melainkan aku yang tak cukup kesungguhan. Maafkan aku.

Enam belas tahun, aku bertekad lebih serius belajar. Jika ini bangku sekolah, bukankah kita sudah sepantasnya lulus sarjana?

Padahal semestinya mudah, karena kau telah contohkan, seperti saat betapa jelinya kau membaca rahangku yang sedikit mengeras,  lalu kau usap punggungku dan bertanya "ada apa?" Kau memang tak pernah memberi aku ruang untuk sekedar menyimpan rasa sebel untukmu. Tak pernah terbersit, karena hari-hari yang terlalui hanyalah rangkaian perhatian, ekspresi sayang,  dan pemakluman atas keliruku.

Enam belas tahun, aku hanya bisa ungkapkan betapa syukur ku telah memilikimu,  dan terima kasih atas hari-hari indah ini.

Poetoe, 25 Oktober 2015.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Semenjana dalam bahagia

Mungkin bahagia itu bersembunyi pada ketidakterlaluan. Karena saat terlalu kita nikmati pasti ada kepedihan  yang bersiap menyerang kita. Seperti pesan langit, untuk jangan terlalu mencinta karena bisa jadi yang kau cintai itu buruk untukmu; demikian juga jangan terlalu membenci karena bisa jadi yang kau benci itu baik untukmu.

Dalam praktiknya ini tak mudah. Tetap saja untuk lebih menikmati kita butuh susana yang ekstrim. Seperti alunan chorus dalam lagu yang biasanya gunakan nada yang sangat berbeda, kontras dan tajam.

Rasanya umur juga yang akhirnya mengajari,  bahwa tetap paling nyaman nikmati apapun itu pada batasan ketidakterlaluan.  Semenjana. Jalani hari dengan tenang, miskin oleh gejolak. Seperti berjalan di kurva ekuilibrium,  hasil tarikan dari dua sumbu yang bertentangan.  Lebih seru, karena dalam kendali dua tarikan itu lebih terasa posisi hati kita. Jika pun ada gejolak, semoga gejolak itu gejolak yang telah terprediksi dengan rapi.

Demikianlah, yang aku pelajari hari ini. Saat mengemudi keluar kota, bermain dengan irama gas dan rem, juga selalu pertimbangkan kecepatan dan kekuatan mataku untuk tetap tak terpejam. Semenjana. Berusaha tetap dalam ketidakterlaluan.

poetoe, bekasi - bumiayu,  10 Oktober 2015.

Jumat, 09 Oktober 2015

Mukjizat Bacaan

Mengapa nabi kita dibekali oleh-Nya dengan mukjizat "Bacaan Mulia", berbeda dengan mukjizat nabi Musa as, dengan tongkat yang dapat berubah menjadi ular dan membelah lautan, atau pun nabi Isa as yang dapat hidupkan kembali orang yang mati. Karena nabi diutus kepada umatnya dengan bahasa umatnya, dan mungkin di jaman kita memang bukan lagi jaman sihir dengan tongkat melainkan sihir kata-kata.

Seperti slogan kemerdekaan kita dulu "  merdeka atau mati" seolah menyihir para pejuang menjadi pasukan berani mati. Juga kata kata para motivator yang menjadi penyemangat,  bahkan para manajer rela bayar mahal mereka agar bisa membakar semangat kerja para karyawan. Demikian halnya para penyair yang bermain  dengan kata-kata hingga tak sedikit para penggemarnya mabuk kepayang.

"Bacaan Mulia" adalah firman Allah,  teks langit yang disiapkan sebagai petunjuk untuk kita. Semestinya memang selalu diulang ulang dibaca, agar energinya menjadi panduan untuk terus dalam kebaikan dan kebenaran. Dan bukti petunjuk ini demikian nyata, seperti ustadz di dekat rumahku yang hafal Quran,  hafalannya membimbing dia untuk dimudahkan dalam berpikir, ia kuliah dengan nilai terbaik, bahkan saat ini sedang menikmati beasiswa Doktor di luar negeri. Hafalan atas bacaan mulia itu menjadi seperti mozaik yang telah utuh di rongga kepalanya.

Lalu masih perlukah kita sibuk bermain - main dengan kata-kata yang kita gubah sendiri, lalu kita sematkan dengan keindahan rima kata dan makna yang kita anggap bernas. Kalimat kita itu lalu kita berhalakan,  seolah slogan hidup yang mengikat kita. Bisa jadi kita sedang mengikatkan rantai belenggu yang tak perlu, karena bahkan Tuhan pun tak mengikat kita dengan belenggu sebanyak itu.

Jangan - jangan kita sedang tersesat dalam rimba kata kata yang sengaja kita berhalakan . Jika benar, ini masalah serius, karena ini perkara keimanan.

Semoga kita selamat,  selalu dalam pelindungan - Nya.

Aamiin.

Poetoe,  9 Oktober 2015.

Selasa, 06 Oktober 2015

Kala

Setiap memergoki matahari senja melotot, yang terpikir olehku adalah bagaimana waktu memigura kita. Tersadar bagaimana kenangan itu bisa menyelamatkan kita dari kelelahan hari ini, juga kegelisahan saat hadapi esok hari.

Kau menjadi bagian nada dari komposisi cerita ini, kau yang lalu lalang di teras ingatan....

Kau bersihkan jelaga hariku  dengan usapan tabir lalu yang mengkini....

Lalu apa

Bergumam hariku tentang luka. Berdendang waktuku tentang kebingungan atas ruang.

Dan jika akhirnya nada kembali pada birama.... kita sepi. Sangat sunyi.

....

poetoe / 6 Oktober 2015

Senin, 28 September 2015

Perjalanan Cinta.

Tentang Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak berpamrih. Perjalanan rasa seperti ini tentulah panjang. Awalnya adalah cinta yang penuh dengan gelora untuk memiliki, terkemas dalam hasrat untuk menaklukkan. Seperti anak panah yang terlontar menuju puncak gelora. Menggebu.
Kenyataannya tak selalu sesuai harapan. Hasrat yang bergelora itu membentur dinding kenyataan yang angkuh. Jika tak cukup kuat maka ia raib, terburai menyebar ke seluruh semesta. Menyublim saja. Namun jika rasa itu cukup tangguh, maka ia hanya sedikit membal ke belakang, tetapi tetap utuh. Terkadang harus sedikit mengubah ujudnya. Menjadi rasa yang lebih pekat. Mendapat campuran sayang dan pengertian. Seperti bahan baku rasa Cinta yang bergelora yang dimasukkan dalam mesin objektifikasi, hasilnya bisa musnah bisa pula menjadi rasa yang lebih pekat dan berkualitas.

Pada rasa ini (setelah proses objektifikasi), Cinta menjadi demikian kuat. Lebih didominasi kerelaan untuk berkorban. Seperti rasa bahagia yang ditanamkan dalam hati pasangan. Karenanya titik bahagia mereka menyatu. Seolah dua kurva yang saling mengiris ruang, tak lagi berjarak, tak lagi saling membayang.

Proses selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan rasa ini dalam suasana yang konstan. Sehingga tak berkesudahan.  Mungkin proses ini harus dijalani dengan ujian demi ujian, hingga semakin yakin, semakin kokoh bangunan keyakinan itu, bahwa Cinta memang tak berkesudahan.

Demikianlah Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak berpamrih itu tumbuh tak berkesudahan.

Poetoe, 28 September 2015.

Minggu, 27 September 2015

Jenjang Marah

Mencoba tidur siang di saat panas terik, malah bermimpi seperti mimpi - mimpi masa kanak kanak dulu, saat terserang sakit. Mimpi saat aku sakit memang selalu serupa. Padahal saat ini aku merasa tidak sedang sakit. Dalam mimpiku aku seperti ada dalam dunia yang serba cembung. Sebuah perjalanan, yang seolah selalu saja salah arah. Dalam mimpi itu ada gelisah, ragu, tapi juga harapan temukan jalan pulang.  Padahal seperti biasa, hingga terbangun aku tak pernah benar-benar sampai rumah.

Sebenarnya mungkin ini dipicu oleh kejadian sebelum tidur. Asa, anak ketigaku rewel, menangis dengan alasan yang tidak jelas. Biasanya aku jadi ikut marah. Namun terhadap Asa aku memang lebih hati-hati. Aku menahan diri. Hasilnya memang menyiksa. Dada berdegup sangat kencang. Kepala jadi cenat cenut.

Yang terpikir olehku saat itu justru tentang jenjang atas marah. Yang berjenjang seperti juga Dusta.

Marah yang pertama marah dengan diikuti ekspresi fisik yang kalap. Seperti memukul meja, atau mengajak berkelahi.

Marah yang kedua adalah marah dengan wujud kata kata. Bisa berupa cacian atau makian, juga kata - kata kasar.

Sedang yang ketiga, marah dalam bentuk diam. Marah dalam bentuk diam. Ditahan saja. terlihat bijak namun sebenarnya berbahaya bagi kesehatan.  Karena darah demikian pokok untuk kehidupan. Sementara gara-gara marah yang ditahan jantung bisa berdenyut lebih keras, dan rawan serangan jantung yang lebih parah.

Bagaimana bisa selamat dari bahaya marah.??

Mungkin dengan menutup kemungkinan kita "marah" maka kita bisa terhindar dari marah. Bahkan sekedar  marah dalam hati.

Awalnya tentu dengan memahami bagaimana marah itu bisa terlahir...

Jika marah kita terlahir karena ketersinggungan karena merasa harga diri kita diabaikan, maka untuk menghindari marah adalah dengan meredefinisikan harga diri kita. Karena mungkin saja kita yang terlalu tinggi menilai harga diri kita.

Jika marah kita terlahir karena merasa kita di posisi yang benar sementara mereka di pihak yang salah, lalu muncul rasa bahwa kita memang pantas marah. Maka saatnya kita pelajari ulang perjuangan para nabi dulu. Sejak mula jalankan tugas kenabian, tentulah mereka sangat yakin posisinya sebagai penyebar kebenaran, namun lihat betapa sabarnya mereka terhadap umatnya yang masih tak percaya.

Jika marah kita karena reaksi spontan saja, maka ingatlah bahwa terkadang yang menyiksa kita di belakang hari dengan sesal yang menggumpal adalah reaksi spontan kita yang emosional.

Demikianlah, semoga aku bisa dijauhkan dari rasa marah di setiap jenjang itu. Aamiin.

Poetoe / 27 September 2015.

Jumat, 25 September 2015

Obsesi Surga.....

Seberapa besarkah obsesiku atas Surga? seberapa kuatkah keinginanku untuk masuk surga?

Mengapa demikian mudah aku masih lakukan dosa?  hiks

Apakah karena kebodohanku? Karena demikian miskin ilmunya aku betapa jalan menuju surga itu tidaklah mudah. Kebodohan  di kepalaku ini membangun optimisme yang salah, sehingga dengan penuh percaya diri masih bisa berjalan tegak, sementara dosa-dosa besar itu terbebani di atas punggungku.

Masih bisa tertawa-tawa dengan riang sementara tak ada jaminan kepantasanku untuk dapatkan tiket ke surga.

Mungkin memang karena kebodohanku dan ketidaksungguhanku memelihara obsesi surga,  hingga hari ini masih berjalan tertatih, tak juga beranjak dari kubangan dosa, namun tetap tersenyum ceria dan penuh optimisme yang ngawur.

Astaghfirulloh....

Poetoe/ 12 Dzulhijjah 1436 H

Sabtu, 19 September 2015

Dusta

Dusta itu dosa. Sesuatu yang sedari kecil aku pahami. Namun dalam perjalanan hidupku, ternyata tak berdusta itu tak mudah. Banyak jebakan kepentingan yang ujung-ujungnya menggoda untuk berdusta. Definisi dusta pun meluas. Ada dusta yang dianggap baik, entahlah.

Sebenarnya apa sebab aku lalu  berdusta?

Mungkin karena ingin menghindari dari apa yang aku takuti. Seperti takut atas akibat dari kesalahan yang sebelumnya telah aku lakukan. Jadi teringat nasihat ibuku dulu,  untuk jangan lari dari akibat yang sebabnya telah kita lakukan. Dusta ini menjadi pelanggaran atas sikap sportif kita.

Dan seperti biasa, Dia seperti berkomunikasi denganku, dengan memberikan pesan-pesan yang sesuai dengan tema dusta yang sedang aku pilih untuk aku bahas. Pagi tadi aku menonton film "Big Eyes",  tentang Walter Keane yang berbohong bahwa lukisan istrinya adalah karyanya. Selama lebih 10 tahun kebohongan itu dipelihara, hingga akhirnya terungkap saat mereka bercerai.

Dalam film itu diceritakan demikian tersiksanya saat kebohongan itu disimpan dengan kebohongan yang lain. Dan kelegaan yang sangat saat akhirnya kebohongan itu diungkapkan.

Demikianlah dusta memang teramat menyiksa. Karenanya saat kita berdusta namun segera terungkap kebenarannya maka itu adalah nikmat. Nikmat terselamatkannya kita dari derita atas dusta yang berlama lama.

Demikian halnya memiliki orang-orang di sekitar kita yang segera mengerti saat kita berdusta adalah kenikmatan yang luar biasa. Karena ia menjaga kita dari siksa dusta. Dan dari mereka kita bisa belajar bagaimana terhindar dari dusta dalam bentuk apa pun. Bahkan jika kita sekedar ungkapkan satu hal yang tak kita yakini itu pun bagian dari potensi atas dusta.

Mungkin memang solusi terbaik adalah berhati-hati dalam bertutur. Kurangi basa basi karena basa basi itu dapat  memicu dusta atau minimal menimbulkan persepsi keliru atas satu hal.

Entahlah...

Poetoe, 19 September 2015.

Senin, 14 September 2015

Terminologi Menang Kalah dan Penaklukan

Terminologi kalah dan menang ternyata tak bisa mudah kita tinggalkan. Masih saja, kita terjebak pada kegemaran yang tak perlu. Gemar mengalahkan dan bahagia saat menang. Bahkan saat memenangkanmu. Padahal tentu itu memalukan. Bukankah atas nama cinta kita mesti berlomba untuk saling berkorban? Mungkin bahkan untuk besar pengorbanan pun kita saling berlomba untuk mengalahkan. Berusaha kumpulkan pengorbanan yang lebih banyak.

Begitu juga terminologi penaklukan, mungkin tak tersurat, namun terasa saat ada pesaing yang merebut sebagian perhatianmu. Seperti bukti bahwa tak cukup kuat penaklukanku atas dirimu. Apakah ini pelanggaran hak asasiku atasmu? Apapun itu kami sering menyebut rasa ini sebagai cemburu.

........

Poetoe / 14 September 2015

Mencuri bahagia

Tersenyum itu indah. Senyum dengan makna apapun. Bahkan senyum sinis pun menarik jika melihatnya sebagai ekspresi dari pemain sinetron yang perankan tokoh antagonis. Apalagi kalau itu senyum manis, pastilah indah dan menarik.

Ekspresi adalah simbol, sebagai lambang atas pesan yang terkandung di dalamnya. Demikian halnya senyuman, terkadang adalah simbol yang mempesona atas pesan kebahagiaan yang tak kalah mempesona. Seperti senja ini, di tengah himpitan penumpang busway aku menikmatinya. Senyuman manis wanita yang asyik dengan gadgetnya, bisa jadi ia sedang dilanda cinta dengan lawan chatingnya, atau mungkin pula geli atas canda teman-temannya di group WA-nya. Apapun itu, rasanya pesannya jelas bahwa mereka sedang bahagia.

Jadilah aku pencuri atas pesan itu. Ikut bahagia atas kebahagiaan mereka. Pencurian yang mungkin tak terpenuhi secara definisi, karena bisa jadi memang tak ada yang dirugikan. Kebahagiaan memang benda yang cepat berkembang biak. Saat tercuri ia justru menggandakan diri. Yang mengambil menikmati, yang terambil pun tak berkurang bahagianya.

Indahnya, saat sibuk perhatikan senyum-senyum itu, yang aku dapatkan adalah banyak alasan untuk ikut tersenyum. Kebahagiaan menyebar penuhi ruangan.

Hmmmm....

Poetoe / 7 September 2015
Catatan pulang kantor.

Minggu, 06 September 2015

Senandung Kopi

Intronya adalah nada tentang mimpi
Lalu perlahan puisi lembut itu terdendangkan
Rangkaiannya adalah segenap rasa
Rindu yang terseret
Ketiadaan yang bukan karena jarak
Melainkan atmosfer saja yang tak mendukung

Dan segelas kopi seolah penawar
Karena jika ada kau tak lagi aku butuh kopi
Kau menggenapkan kehilangan yang kucari dari genangan hitam itu

Lalu interludenya adalah sepi yang tak dibuat - buat
Dengung saja penuhi birama
Hingga perlahan derap drum kembali terdengar
Dan chorus merobek sunyi....
Menggelepar dahaga rindu

Larut saja
Sampai birama terakhir itu memaksa senandung ini berakhir.
Tanpa nada yang perlahan memelan
Karena berhenti begitu saja

Begitu saja.

Poetoe / 6 Septemper 2015
Nyaris tengah malam.

Minggu, 30 Agustus 2015

paket lengkapku

Di akhir tahun lalu, aku masih ingat, betapa aku bertekad menulis buku sebelum umurku genap 40 tahun. Lalu seseorang tersenyum saat mendengar tekadku itu. Katanya "kau yakin? Pernah kau tanya istrimu apakah benar kau perlu menulis?" Saat itu aku hanya terdiam.  Tidak menyangka mendapat pertanyaan itu. Dan aku tidak menemukan jawaban kenapa justru mendapat pertanyaan seperti itu.

Sampai hari ini, setelah umurku genap 40 tahun lebih 3 hari, aku tersadar. Aku paham apa hubungan istriku dengan keinginanku menyusun buku. Jika tulisanku hanya tentang aku maka sebenarnya tak ada yang perlu aku tulis. Karena semuanya ada di istriku. Wanita yang telah aku pilih menjadi pendamping hidupku. Istriku adalah muara atas segala tentangku. Paket lengkap, karena ia adalah pintu kebahagiaan dunia akhiratku.

Cutiku beberapa hari ini, aku menemukan resep sakitku selama ini: istriku. Selama perhatianku tak benar-benar untuknya maka aku tak akan tenang. Benar kata Asa, anak ketigaku, "... Bapak beli bunga dong, sama cincin dan kalung, lalu kasihkan ke ibu. Tapi setelah itu Bapak tidak boleh marah-marah lagi, harus happy terus...."

Semoga ini jalan menuju kebahagiaan dunia akhiratku. Aamiin.

Poetoe / 29 Agustus 2015.

Rabu, 26 Agustus 2015

40 tahunku

Akhirnya tiba juga, saat aku resmi menjadi manusia dengan umur 40 tahun. Umur penting karena bahkan diajarkan doa khusus di umur ini....

Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S. al-AhqĂ¢f: 15)

Menyambut umur ini sempat lama tak bisa aku pejamkan mata. Karena secara medis pun perkembangan otak sudah sempurna di umur ini, khususnya otak depan yang mengelola emosi. Artinya jika di umur ini aku masih punya masalah pada pengendalian emosi, maka akan sulit membenahinya lagi.

Bagaimana pun, aku harus hati-hati menyambut hidupku di umur ini. Terlebih saat tepat 40 tahunku ini aku justru sedang diuji dengan sakit. Ini pertanda. Banyak memang yang harus aku benahi.

Semoga.

Poetoe/ 26 Agustus 2015.

Selasa, 18 Agustus 2015

Cara bahagiaku

Bagaimanakah membuat diri bahagia? Ini mungkin memang egosentris, namun tidak lalu tak memikirkan orang lain. Karena ada keyakinan bahwa jika aku bahagia pastilah orang-orang di sekitarku ikut bahagia.

Menjadi tak mudah mencari cara aku bahagia jika selama ini aku lebih banyak memikirkan kebahagiaan orang lain. Berdalih sanguinis, selama ini sibuk menjaga kenyamanan sekitar. Semua harus merasa oke. Bahkan saat harus lakukan hal-hal yang tidak aku sukai. Slogannya "pura-pura bahagia". Kepura-puraan yang terkadang keterusan. Kebahagiaan semu. Terlihat aslinya saat malam datang. Mata tak mudah terpejam. Detak jantung menjadi tak beraturan. Sesekali tubuh terlonjak tanpa sebab. Hati menjadi sedih atas hal yang tak dimengerti.

Semua ini mungkin karena topeng. Terlalu lama kenakan topeng. Terlupa wajah aseliku. Saat sendiri, saat malam, adalah saat kenakan wajah aseli. Dan yang terasa saat dalam keaselian adalah penyesalan. Terlalu banyak tertawa yang tak perlu, terlalu banyak kesia-siaan yang tak harus terjadi.

Kesedihan yang berulang nyaris sebanyak kebahagiaan semu di siang tadi. Jadi seolah membayar lunas saja.

Aku harus segera berbenah. Membuka benar-benar topengku. Dan fokus pada kebahagiaanku saja. Sementara abaikan kepentingan pihak lain. Sementara tentunya. Sembari yakinkan bahwa kebahagiaanku adalah pintu kebahagiaan untuk orang lain. Semoga.

Aamiin.

Poetoe / 19 Agustus 2015.

Senin, 17 Agustus 2015

Menulis seperti menuangkan dan membuang

Terbangun dini hari, dan di isi kepala banyak hal yang lalu lalang. Harus ada yang aku tuangkan agar tak penuh. Jika kepala ini serupa bejana aku tak ingin ia rusak karena beban yang berlebih. Menuangkannya perlahan dengan salah satunya adalah menulis di sini.

Menjadi paham, mengapa ada beberapa teman yang demikian sering menulis, mungkin mereka ingin mengurangi beban di kepala mereka. Walau ada satu hal yang menarik dari kegiatan menulis ini, yaitu pada apa yang kita tulis. Seperti detektif yang bisa menyelidiki kasus dengan mencermati tempat sampah seseorang. Apa yang mereka tulis itu serupa dengan apa yang mereka buang.

Ada yang rajin sekali menulis, bahkan sehari bisa memproduksi lebih dari lima tulisan. Biasanya berupa puisi dan temanya tak beragam. Cinta. Tentang cinta dan rumus turunannya: rindu, hasrat, resah, cemburu, gelora dan teman-temannya. Ini memberi gambaran tentang demikian cinta memenuhi isi kepalanya, hingga mesti ia buang. Wajar sebenarnya, seperti kata Plato, suatu hari cinta akan menjadikan seseorang menjadi penyair.

Ada pula yang rajin menulis, dengan genre yang beragam. Bahkan temanya pun beragam. Awalnya aku pikir ia jenis orang yang sembarangan membuang sampah pemikirannya. Namun belakangan tersadar, bisa jadi ia sedang menyebar mozaik. Sengaja tema tulisan acak agar tak mudah terbaca secara utuh. Sengaja membuat beberapa tulisan dengan gaya menulis yang mudah diterjemahkan. Ternyata seolah pertigaan yang tanpa rambu, membuat pembaca tersesat. Ini juga menarik.

Beberapa yang lain adalah para pembaca yang rajin 'copas' tulisan orang lain. Atau jika tidak men'copas', mungkin sekedar mengulas ulang apa yang pernah ia baca. Rasanya aku salah satunya. Dalam tulisan ini, hanya tentang membacai tulisan orang di sekitarku.

Apapun itu, aku niatkan ini sebagai sarana belajarku. Amati, tiru lalu modifikasi. Jurus ATM. Semoga tetap bermanfaat.

Aamiin

Poetoe/ 18 Agustus 2015. Dinihari.

Beda pendapat

Berbeda pendapat adalah satu hal yang tak bisa dihindari. Karena cara berpikir manusia memang berbeda beda. Setiap pendapat dipengaruhi latar belakang, sejarah, masa lalu dan mungkin juga harapan dan kepentingan yang bersangkutan.

Seperti kemarin saat pertemuan wali murid di sekolah anak, seorang ibu berpendapat tentang pentingnya keseriusan pihak sekolah dan orang tua dalam menyambut ujian kelulusan anak di kelas 6. Dia menganalogikan "perang". Atas langkah-langkah yang dia usulkan sebenarnya aku sepakat, namun pada pengistilahan "perang" itu yang membuat aku tergoda ikut berpendapat. Aku tunjuk tangan.

Aku sampaikan, kekhawatiranku sebagai orang tua, bukan atas jeleknya nilai ujian anakku melainkan pada stres sang anak atas suasana seram ujian yang dibangun secara sistemik ini. Beberapa orang tua murid lain ternyata sepakat. Diskusi pun berkembang, menjadi dua kubu. Satu sisi kubu ibu penanya pertama, yang mendapat dukungan dari kepala sekolah yang juga berpendapat bahwa anak-anak sekarang lebih butuh "disiplin" ketimbang belajar yang asik-asik saja. Sementara di satu sisi, beberapa orang tua murid yang lebih mengkhatirkan kondisi psikologis anak, atas ujian yang seolah demikian menyeramkan padahal ujian itu hanya sebagian proses belajar yang harus mereka jalani.

Setelah pertemuan, aku jadi berpikir banyak hal. Sebenarnya cara mana yang lebih efektif untuk anak kita? Mungkin memang benar yang disampaikan kepala sekolah bahwa ketegangan itu dibutuhkan untuk menanamkan kedisiplinan dan motivasi anak. Namun dalam hati aku masih ingin berbantah lebih lanjut tentang motivasi anak yang lebih asasi, bukan stres dan rasa takut melainkan cinta ilmu. Cinta atas ilmu yang demikian kuat akan membuat sang anak lebih enjoy dalam belajar. Proses pemahaman atas filosofi ilmu ini yang butuh keseriusan. Karena memang tak mudah. Namun tak mudah tidaklah bermakna tak mungkin.

Cara belajar asik ini akan aku bahas lebih dalam pada tulisan khusus. Untuk saat ini, aku justru lebih terpikir bahwa beda pendapat itu memang perlu. Dan pelajaran dari beda pendapat itu adalah bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana kesiapan sikap kita saat keputusan hasil rapat berbeda dengan pandangan kita. Agar selalu siap dengan hasil rapat, maka kita butuh dasar pemikiran yang tepat, paling tidak: mereka bisa saja benar, dan kita bisa saja salah.

Bisa jadi Alloh memberi petunjuk kepada kita dari pihak yang berbeda pendapat dengan kita. Petunjuk bahwa kita keliru. Jadi teringat hikmah berbanyak istighfar dan bahayanya sombong. Istighfar adalah merasa bersalah dan memohon ampun, mengingatkan kita untuk selalu memohon ampunan atas kekeliruan kita. Demikian pula sombong menjadi berbahaya, karena merasa kita benar dan hebat itu pada akhirnya akan menjerumuskan kita pada kesesatan yang nyata.

Wallohu a'lam.

Poetoe / 17 Agustus 2015

Masih pantaskah bahagia.

Kesalahan itu racun, dan penawarnya adalah permohonan maaf.
Demikian  juga dosa, disembuhkan olah permohonan ampunan-Nya.
Namun tak akan benar-benar sembuh tanpa sanksi atas kesalahan itu.
Sanksi tak sekedar menyembuhkan namun dapat pula memulihkan.
Sanksi atau hukuman itu minimal adalah rasa bersalah.
Rasa yang menyiksa adalah sanksi yang bisa menawarkan racun, menyembuhkan sakit dan memulihkan luka.
Pantaslah jika orang-orang saleh terdahulu lebih banyak menangis dari pada tertawa. Mereka memelihara rasa bersalah itu sebagai energi perbaikan.

Bagaimana rasa bersalah itu dipelihara? Mungkin dengan ingatan atas sanksi yang semestinya diberlakukan... karena Dia maha pengampun sehingga banyak aib dan kesalahan  kita yang terlipat rapi. Tersembunyikan. Seandainya diungkap semua dosa tentu buruk sekali wajah kita. Penuh aib dan dosa. Jika pun sanksi atas dosa kita diberlakukan mungkin kita tak sanggup lanjutkan hidup.

Karenanya saat aib tersimpan dan sanksi atas dosa terampuni, maka kita harus bersyukur. Bersyukur dengan tetap menyimpan rasa bersalah itu hingga tak lagi pongah untuk sesumbar dan berlagak bahwa dosa begitu mudah kita abaikan.

Dengan segala dosa dan aib ini... maka masih pantaskah kita bahagia?

Jika kita pandang bahagia adalah asasi, maka tentu tentu jawaban kita saat ditanya masih berhak kah kita bahagia? Adalah masih berhak.

Namun saat pertanyaannya masih pantaskah kita bahagia dengan segala dosa dan aib ini?

Mungkin kita terdiam. Dan menjawabnya dengan air mata. Hanya air mata.

Poetoe/ 14 Agustus 2015
(Jelang 40 tahunku)

Dilema ibu bekerja

Pagi ini, mendapat inspirasi dari kisah seorang teman. Fragmen saat ia hendak selesaikan cuti bersalin anak kelimanya, dan harus berangkat kerja esok harinya. Anak pertamanya datang menghampirinya. Lalu mohon ijin padanya, "Bunda, boleh ndak aku mau nangis...?" Bundanya kaget, "lho ada apa??"
Lalu sang anak mulai menangis, tanpa rengekan, hanya air mata.
"Kenapa kak? Cerita dong... kalau gini bunda jadi sedih... ada masalah di sekolah? Temanmu nakal? Kenapa nangis, kak?"
Sang anak hanya menggeleng. Lalu menjawab perlahan ".... bunda besok mulai kerja lagi."
Jawaban itu membuat sang Bunda ikut menangis.

Kisah romansa ibu yang harus bekerja. Aku kebingungan hendak cerita apa. Kisah ini sudah membuatku berpikir banyak. Tak semua yang aku pikirkan hari ini terjawab, namun paling tidak ada air mata. Saat mendengar cerita ini dari sang ibu, juga saat aku harus menuliskannya lagi siang ini. Air mata.

Air mata untuk keresahan, saat tata nilai dibentur benturkan. Air mata untuk banyak pertanyaan yang tak berjawab. Entahlah. Kita memang butuh Dia untuk mengambil keputusan. Semoga selalu tercurah rahmah dan hidayah-Nya.

Aamiin.

Poetoe / 14 Agustus 2015.

Senin, 10 Agustus 2015

Tentang menulis ide baik.

Tradisi para pemikir adalah kopi dan rokok, demikian kata Almarhum Bapak dulu. Aku tak merokok kerenanya kopi yang kupilih. Namun bersama berjalannya waktu, terlalu banyak kopi menimbulkan masalah pada pola tidurku. Aku coba beralih pada coklat panas. Secara teori coklat melahirkan mood yang bagus. Dan ternyata ada benarnya.

Aku coba manfaatkan kenyamanan setelah nikmati coklat panas dengan mengisi waktu untuk menulis. Harapannya agar tulisanku bernuansa positif. Bukan tulisan keluhan dan amarah. Aku takut tulisan yang negatif hanya membuat aura negatif itu menyebar pada para pembacanya. Itu pun jika memang ada yang membaca tulisanku. Hehe...

Ide positif butuh dilahirkan. Dalam kondisi hati yang tenang, ia terlahir dari rahim otak kita. Melalui kata-kata yang awalnya hanya terpikirkan, lalu terucap baik melalui lisan atau pun tulisan. Harapannya tentu sebagian dari ide-ide positif itu terlahir dalam kegiatan nyata. Hingga kebaikan menyebar ke sekitar kita. Aamiin

Berharap ini menjadi niatan baik yang melatarbelakangi hoby menulis kita. Sehingga tak sia-sia, kegiatan rutin ini. Jika mungkin, satu pekan ada satu ide baik dituliskan.

Semoga.

Poetoe / 10 Agustus 2015.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Tentang kesepian

Seorang mengatakan aku kesepian. Awalnya tentu aku menyangkal, bagaimana kesepian jika aktifitasku banyak, komunitasku beragam. Namun perlahan ada kesadaran, bisa jadi dia benar. Mungkin aku memang kesepian.

Sepi itu merasa sendiri. Merasa sendiri itu bisa jadi tak benar benar sendiri.  Hanya merasa. Mungkin saja justru karena kebutuhan  untuk bersama yang teramat sangat membuat kita cepat merasa sendiri. Entahlah.

Aku coba membongkar sebab sepiku. Mungkin keliru, ini sekedar pencarian. Bisa jadi tersesat. Awalnya karena merasa beda. Sejak kecil dilatih untuk berbeda, gondrong di saat SD. Enam tahun menjadi berbeda di kalangan teman-teman. Guru tak ada yang berani tegakkan aturan rambut panjang untuk murid laki-laki, karena Bapak rasanya sudah ijin ke kepala sekolah, ia akan pakai gaya berbeda untuk anak-anaknya. Di SMP kami baru mulai sesuaikan. Walau sempat disetrap harus berdiri di depan kelas di sepanjang jam belajar karena aku tak mau potong rambut. Bapak tak mau memotong rambutku tepatnya. Karena salah satu undang-undang di rumah saat itu adalah satu-satunya yang berhak potong rambut kami adalah Bapak. Banyak hal lain yang membuat kami berbeda. Buku bacaan, permaianan, termasuk jam makan kami.

Entahlah, apakah keberanian bergaya beda ini yang akhirnya membuatku sepi. Karena kenyataannya aku merasa tidak ada seorang pun di sekitarku yang menyerupaiku. Entah. Ini hanya sekedar menebak-nebak sebab.

Kepada seseorang yang mengatakan aku kesepian itu, aku tanyakan alasan apa aku terlihat kesepian? Ia menjawab karena aku seperti tak pernah cukup mencari teman. Hmm... mungkin memang kebutuhanku berkomunikasi melebihi orang-orang kebanyakan. Aku enjoy dalam banyak komunitas. Apakah ini gejala tak sehat? Apakah ini juga menjadi sebab sakit kepalaku?

Sepi terlahir dari merasa sendiri, disebabkan oleh rasa tak pernah cukup berkomunikasi. Mungkin aku harus evaluasi "rasa tak pernah cukup"ku. Entahlah.

Paling tidak, dini hari ini, aku sudah meluangkan waktu berpikir mendalam tentang rasa sepi ini. Semoga menjadi langkah awal perbaikanku. Semoga esok hari selalu lebih baik dari kemarinku.

Terima kasih kepadamu yang menuduhku kesepian. Kau menyadarkanku.

Poetoe / 9 Agustus 2015.

Kesadaran adalah peta

Yang menyelamatkan kita adalah kesadaran kita akan ruang dan waktu. Karena apa yang kita pikirkan adalah alat bantu agar kita tersadar. Dimana dan di waktu apa kita berada saat ini.

Memang rasa yang membuat semua menjadi lebih seru. Bisa lebih indah bisa pula tragis. Rasa memberi warna pada hidup. Bisa bahagia bisa pula kesedihan. Namun rasa lah yang membuat diri terlempar entah kemana. Rasa bisa membuat kita tersesat. Kita butuh peta. Dan peta itu adalah apa yang kita pikirkan.

Ada benarnya Rene Descartes berpendapat Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Berpikir sepanjang waktu, adalah belajar tanpa henti. Mengumpulkan kesadaran atas kebenaran objektif.

Kesadaran kita adalah pemahaman kita atas "ruang dan waktu". Dimana dan kapan. Seperti jika kita baca maksud dari perintahNya, semua tak jauh dari kebutuhan atas kesadaran "ruang dan waktu".

Lihat saja jadwal sholat kita yang ditentukan dari pergerakan bumi dan matahari, adalah bukti bahwa kesadaran kita atas waktu dibutuhkan dalam ritual rutin kita. Demikian pula arah kiblat sholat kita adalah bukti kesadaran atas ruang. Rasanya setiap perintahNya didasari pada dua kesadaran itu. Ruang dan waktu.

Saat thowaf hal ini akan semakin terasa. Jamaah berihrom mengitari kakbah, dengan doa yang berbeda di setiap sudut kakbah. Dan waktu atas thowaf pun tak boleh lalu melanggar waktu-waktu sholat. Ini bukti kesadaran atas ruang dan waktu adalah dasar utama ibadah kepada-Nya.

 Semoga selalu terjaga kesadaran kita. Aamiin.


Kamis, 06 Agustus 2015

Berpikir lalu menulis. Kuliah di Universitas Kehidupan

Sebuah nasehat, agar selalu agendakan di setiap hari untuk berpikir mendalam tentang sesuatu, lalu tuliskan. Jika dirasa ada yang kurang cari bacaan tambahan dan gunakan saat sarapan atau makan siang bersama teman sebagai sarana diskusi. Dengan cara ini paling tidak kita seperti tak pernah berhenti kuliah. Kuliah di universitas kehidupan.

Setelah menjadi satu tulisan coba posting di media sosial, biarkan orang lain membacanya, adakah umpan balik yang bisa jadi masukan atas tulisan kita?

Jika kita merasa tulisan kita sedemikian kaku, maka bubuhkanlah rasa di dalamnya. Jadi tulisan kita memuat apa yang kita pikirkan pula apa yang kita rasakan.

Sepertinya nasehat ini menarik. Aku mau coba. Bisa jadi tulisan ini pun bagian dari pelaksanaan atas nasehat di atas. Bagaimana menurutmu?

Poetoe / 7 Agustus 2015.

Rumahku Surgaku?

Rumahku surgaku. Surga di dunia ini mestinya ya di rumah. Karenanya saat kita punya masalah dengan pasangan hidup kita maka kita akan kehilangan surga kita. Tak hanya pasangan kita, anak-anak, sanak keluarga juga sangat mempengaruhi surga kita di dunia.

Dalam membangun surga ini, tentulah komunikasi mengambil peran penting. Terlebih saat aktifitas pekerjaan kita menyita waktu kita, mengurangi saat bersama dengan mereka. Harus disiasati, bagaimana interaksi dengan mereka tetap baik dan efektif. Karena sekali ini tentang surga yang sedang kita jaga.

Rumahku surgaku. Tempat di mana rehat jasmani juga ruhani. Tempat canda menjadi energi, tempat menikmati banyak hal sederhana menjadi indah.

Sudahkah benar-benar kau rasakan, bahwa rumahku memang surgaku?

Siapa yang keliru

Jangan-jangan saat kita bilang orang lain keliru, justru kita yang keliru.

Karena secara fitrah cara pandang kita terbatas, memandang dengan jangkauan lebih pendek jika kita berdiri di tempat yang lebih rendah. Semakin tinggi posisi tentu semakin jauh jarak pandangnya.

Kepada para pengambil kebijakan, seringkali kita berpikir mereka keliru, karena kepentingan kita terganggu, padahal mungkin kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan itu adalah kepentingan yang lebih beragam. Kepentingan kita hanya salah satunya, atau bahkan bisa jadi tak diperhitungkan.

Apa lalu kita marah? Atau legowo saja.... ikuti sebisa kita. Terkadang manajemen tersadar salah saat efek keputusan terlihat belakangan. Dan itu wajar saja. Jika salah ya kebijakan itu diubah. "Gitu saja kok repot".

Sebenarnya ini perkara klasik, kecil tak tebaca besar terlalu dominan diperhitungkan. Detail tak terpikirkan, pandangan secara umum yang diperhitungkan. Tersesat dalam pengambilan keputusan itu hal biasa. Tak mengapa, selama bersegera diperbaiki.

Demikianlah. Entah.

Cermin Pembelajar

Mencari cermin, bukan mengumpulkan prasangka, saat berniat tetap terus belajar.

Mendapat gelar buruk tak kan lukai hati pembelajar, karena gelar hanya disematkan, hanya dikenakan.

Padahal buruk itu pun bisa jadi hanya perkara prespektif saja. Jika ingin utuh tentu prespektif lain dicari untuk bisa sempurnakan.

Walau rasa terkadang yang mengubah banyak hal. Mengubah arah layar bergerak ke kutub yang berlainan.

Ikuti saja. Jika kau ragu ya tinggalkan.

Demikian.

Jumat, 31 Juli 2015

Lukamu lukaku juga

Melukaimu melukaiku juga
Air matamu air garam dalam lukaku
Pucat wajahmu padam lenteraku
Dukamu sembilu robek bahagiaku.

Memohon maaf padamu adalah penawar
Penawar lukamu juga lukaku
Bukankah kurva kita menelikung dalam irisan yang sama?

Benda yang nyaris tanpa bayangan, karena menimpa di semua sisi.

Aku kau. Kau pun aku.

Beranjak dari metafora

Aku mulai lagi. Meluangkan waktu khusus berpikir sendiri. Menarik memang, untuk seorang yang ekstrovet macam aku, dipaksa duduk berlama-lama sendiri. Hasilnya tetap banyak kata, tapi hanya berputar-putar di kepala. Ada banyak hal yang muncul. Memercik-mercik. Ide yang berhamburan. Tema besarnya adalah usia 40 tahunku.

Usia kematangan. Seperti saat berbincang dengan dokter syaraf yang merawatku, kata dia di usia 40 perkembangan otak sudah purna. Dan yang terakhir adalah bagian otak yang mengelola kecerdasan emosional. Sehingga di usia inilah saat yang menentukan karakter seseorang.

Tahun ini adalah tahun ke-40 ku. Aku harus memastikan kondisi emosi stabil. Harus serius mengelola rasa. Tak boleh ada yang sia-sia. Mungkinkah?

Kenapa tidak? Aku memang butuh perencanaan matang. Jelang Agustus ini, harus aku bersihkan remah-remah rasa yang mungkin menggangguku esok hari. Mungkin tak mudah. Tapi bukannya tak mungkin.

Aku belajar banyak dari teori objektifikasiku. Uji cobanya tak banyak berhasil. Tapi aku mendapat banyak pelajaran. Terlebih tentang kritik keras atas permainan metaforaku. Ini mengubah banyak hal. Cara pandangku untuk lebih berjarak pada kiasan, yang bisa menenggelamkanku pada dusta dalam keindahan, juga tersesat pada khayalan tanpa batas.

Matahariku, metafora terakhirku, yang aku gunakan untuk mencari jalan pulang. Karena enggan tersesat terlalu jauh. Semoga cahayanya tak berkesudahan.

Poetoe /31 Juli 2015

Kamis, 30 Juli 2015

Tentang Puisi

Apresiasi atas karya, membutuhkan kejelian membaca karya. Tentu dengan berbekal pengalaman berkarya. Tanpa pengalaman langsung maka kita hanya berdasar perbandingan atas nilai-nilai, sementara dengan pengalaman maka kita bisa melibatkan rasa kita.

Puisi misalnya, paling tidak terbagi oleh dua kekuatan. Sisi balaghotiy, kekuatan kata-kata, dan sisi ma'aniy, kekuatan maknanya.

Para pemula terlebih yang mengawali menulis puisi dengan modal jatuh cinta, sesuai dengan kalimat Plato bahwa suatu hari cinta akan menjadikan seseorang sebagai penyair. Maka biasanya ia akan sibuk bermain di keindahan kata, sementara substansi maknanya hanya satu "cinta". Sebenarnya ini tidak masalah, karena bagaimana pun cinta adalah sesuatu yang indah. Namun peran puisi menyempit. Seolah puisi hanya sarana ungkapan rasa cinta. Padahal sejatinya lebih dari itu. Puisi bisa menjadi energi pengubah, puisi juga bisa menjadi pengungkap kebenaran, bisa pula menjadi pencela kebathilan. Bahkan sesekali menjadi sarana ungkapkan kemarahan.

Bagaimana seorang penyair yang bermula dari cinta lalu ingin mengembangkan puisinya menjadi tak sekedar bermain kata melainkan pula makna yang bernas?

Adalah dengan terus memperluas wawasan, mengasah logika, merperkuat pemahaman atas banyak hal. Sehingga kata-kata yang muncul adalah kata-kata yang pekat makna.

Semoga ini menjadi penyemangat para pecinta yang berevolusi menjadi penyair, agar terus kembangkan diri, hingga suatu hari puisi menjadi kekuatan dahsyat dari pilar sebuah peradaban. Bukan sekedar kata-kata manis yang selalu bermuara pada kata cinta.

Semoga.

Poetoe /30 Juli 2015.

Selasa, 28 Juli 2015

Belajar tentang sakit

Jika kau pembelajar, pastilah semua yang kau alami adalah bahan belajar. Begitu juga sakit.

Sakit adalah pembatasan atas beberapa nikmat. Namun bukankah rasa syukur seperti air yang terus mencari celah untuk menikmati hidup?

Satu nikmat tertahan pastilah ada kenikmatan lain. Karena yakinlah kenikmatan yang Allah SWT limpahkan pastilah tak terbatas.

Sakit itu mungkin seperti alarm tubuh. Satu tanda tubuh butuh rehat. Salah membaca tanda bisa merusak organ lain.

Seperti sakit saat menghalangi kita ke kantor, ini memberi waktu untuk kita melepas anak-anak ke sekolah. Ini kenikmatan yang luar biasa.

Dalam sakit, ada kehilangan atas fungsi tubuh. Dan di setiap kehilangan sejatinya kita menemukan kesadaran atas apa yang kita miliki.

Kehilangan dan menemukan seperti pasangan. Kita menemukan sesuatu setiap kita kehilangan.

Indahnya rasa syukur, ia tak pernah berhenti mencari cara untuk tetap bahagia. Innalhamdalillah.

Poetoe / 29 Juli 2015

Senin, 27 Juli 2015

Rahsia

Terkadang dinampakkan itu tak buat bangga dan bahagia. Namun sebaliknya, saat disembunyikan justru terasa lebih berharga.

Tak sebut nama, tak ungkap kata, tak cantumkan dalam warta....
Namun dalam mata demikian indah tersimpan.

Kelopak yang mengerjap, jendela jiwa yang anggun.

Diam seperti sekam, bebintang bersulam awan....

Kunikmati saja.

poetoe, juli 2015

dead line

Aku harus menemukan jawaban sebelum pukul 18.00 sore ini. Jika tidak maka aku resmi menjadi manusia naif. Ini tak mudah. Aku harus berpikir keras.

Mungkin aku perlu sesaat terpejam. Biarkan gelap menguasai retina mata. Lalu aku biarkan suara-suara di sekitarku berhamburan lalu bergerak menyatu. Serupa mozaik yang perlahan tersusun. Iya. Aku mulai menemukan jawaban.

Adalah semenjana, sikap yang sering aku jadikan judul puisi. Sikap pertengahan. Terlahir oleh dua tarikan yang terlihat kontradiktif. Kesalahan itu harus diperbaiki. Bukan sekedar disesali. Memperbaiki itu membangun bukan memporakporandakan. Jika ingin mengubah dengan melanjutkan dengan bangunan baru, tentu butuh kesantunan. Terkesan gamang mungkin, tapi tidak. Ini tentang kehati-hatian. Tak ada yang tak bisa kita petakan. Bahkan rasa.

Peta rasa itu kita gubah. Lalu rencana perjalanan kita susun. Ada penyesalan, ada kesadaran, ada gulita kecewa ada pula kepedihan. Namun semua tentu kita racik dengan komposisi terbaik.

Semenjana itu mungkin kearifan juga. Namun tentu aku berharap kearifan itu tidak serta merta membuat aku pantas disebut naif.

Entahlah.

Kamis, 23 Juli 2015

Tetap Bahagia

Keberpasangan tidaklah lalu saling menggantikan, bahkan terang dan gelap. Terkadang mereka justru beriringan.

Mungkin juga musibah tak lalu berarti enyahnya bahagia, dan lahirnya kesedihan. Karena alasan untuk tetap bahagia itu selalu mengiringi langkah kita, bahkan pada saat musibah datang pun ia ada.

Hanya kita yang sering lengah. Terbiasa bermain iya dan tidak. Hitam putih. Gelap terang. Seperti tak ada pilihan lain selain kesedihan saat musibah datang. Padahal bukankah Dia melarang kita bersedih? 

Jika kita benar-benar tak ingin bersedih, maka pandai-pandailah mengumpulkan energi kegembiraan kita sepekat apa pun kabut kesedihan itu datang menyerang. Ambil hikmah yang indah dari setiap peristiwa, terus fokus memandang setengah gelas terisi bukan setengahnya yang kosong. Seperti juga tetap memegang empat balon lainnya setelah balon hijau meletus. Bukan sibuk meratapi si balon hijau (belajar dari lagu Balonku).

Apakah ini mudah? Tentu tidak. Butuh latihan yang serius, dan kesiapan hati yang memadai. Salah satunya adalah bersering-sering bersimpuh kepadaNya, memohon perlindungan dan ampunan. Ekspresi ketidakberdayaan sebagai hamba bisa menjadi energi saat hadapi berbagai keputusanNya. Musibah atau nikmat, menjalaninya tetap dengan bahagia.

Semoga Allah SWT memberi kekuatan kesabaran dan kesyukuran untuk kita. Aamiin.

Poetoe....
Syawal, 1436 H

Kamis, 16 Juli 2015

sudah bertakbirkah?

Saat bertakbir maka yang penuhi isi kepala adalah KeagunganNya, maka kesadaran akan kerdilnya kita yang lalu muncul.

Sebagai hamba kita memang kecil, lemah, dan teramat butuh padaNya. Dan yang menyebalkan kita sering terlupa oleh kelemahan ini.

Bahkan saat bertakbir, kita justru sibuk dengan kita ini siapa, seberapa dianggap adanya kita dalam masyarakat.

Saat tersadar kita tak dianggap ada oleh lingkungan kita lalu cari perhatian dengan petasan dan tarikan gas motor di sepanjang jalan.

Manusia sebagai makhluk tempat salah dan lupa. Selama belum berani akui kelemahan dan kesalahan maka sulitlah kebahagiaan itu ada di dada.

Bagaimana bisa bahagia, jika kita masih serupa Iblis yang sibuk dengan rasa diri sebagai makhluk hebat hingga lupa diri sebagai pengabdi?

Bagaimana bisa bahagia jika kita masih sibuk membela nama baik dengan memoles diri berpura tak pernah punya salah dan dosa?

Bagaimana bisa bahagia saat semestinya sibuk beristighfar kita justru sedang sibuk menyalahkan orang lain. Agh. Jangan-jangan tulisan ini pun..?

Jika benar ingin bahagia, mungkin harus berhenti mengeluh, berhenti menyalahkan orang, berhenti membela diri saat disalahkan.

Mulai dari mengakui kesalahan, lalu menyesal, lalu beristighfar, lalu meminta ampunan padaNya, lalu meminta maaf pada sesama.

Bertakbir, bertahmid, bertahlil, beristighfar, bersimpuh di tengah lapang, sadari kelemahan diri, tundukkan hati, meleburlah diri...

Poetoe, 1 Syawal 1436 H.

Tentang Dunia

Dunia memang serba sementara. Selalu ada mula lalu akhir. Karena di dalam dunia kita tak lepas dari cengkeraman waktu.

Jika mula adalah pertemuan maka akhir adalah perpisahan, jika mula adalah perkenalan maka akhirnya adalah melupakan.

Perpisahan itu pasti demikian juga dilupakan itu keniscayaan. Seperti kematian yang selalu ada di balik kehidupan.

Karenanya takut akan perpisahan, dilupakan dan kematian itu ketakutan yang akan menyiksa. Takut atas sesuatu yang pasti.

Agar tak tersiksa bersiapsiagalah hadapi perpisahan, dilupakan, juga kematian. Pastikan tak ada air mata yang sia sia. 

Poetoe, akhir Ramadhan 1436 H.

Tidak tersinggung (menikmati) kritik, celaan, bahkan hinaan

Belakangan ini aku sempat beberapa kali sesumbar "aktifitas yang jarang aku lakukan adalah tersinggung." Tergolong sesumbar, karena sebenarnya kenyataannya tak mudah menjalaninya. Tetapi aku memang sedang belajar, bagaimana untuk tetap tidak tersinggung atas kritik, bantahan atau bahkan cacian dan celaan.

Caranya adalah, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa sebagai manusia aku adalah tempat salah dan lupa. Artinya hal buruk apapun kata orang tentangku itu pasti mengandung kebenaran, karena memang aku banyak salah dan lupa. Jika yang disampaikan itu tak benar, tapi ada kesadaran bahwa sebenarnya masih banyak aibku yang masih Allah SWT sembunyikan, jadi untuk apa tersinggung? Karena jika aib itu dibeberkan rasanya aku lebih hina dari celaan dan hinaan dia.

Dengan berbekal kesadaran itu, insya Allah hatiku selamat dari aktifitas tersinggung atau pun sakit hati yang bisa jadi akan merusak rasa bahagiaku. Tidak berarti lalu kritik dan hinaan itu tak aku dengar, namun paling tidak aku mendengarnya dengan lebih objektif, lalu menerimanya sebagai masukan untuk langkah perbaikan di kemudian hari.

Jika sudah terlatih, mungkin aku  akan merasa senang saat mendapat kritik, sedikit pedas pun tak mengapa, karena itu membantuku untuk lebih menikmati hidupku. Menjadi bahan pembelajaran yang artinya ada tambahan proyek pengembangan diriku yang kuharap bisa menjadi proses tanpa henti di sepanjang hidupku.

Wallahu a'lam.

Poetoe, 25 Ramadhan 1436 H.

Beranjak dari dosa

Memahami diri dengan melihat potensi dosa dan kebaikan sebagai fithrah jiwa. Sehingga dapat terbaca dari mana sebab dosa.  Antara pemakluman dan kesadaran atas kesalahan. Titik tengah. Karena terlalu memaklumi diri jadi sepelekan dosa. Sikap sebaliknya bisa menjebak rasa bersalah berlebihan.

Kesadaran atas dosa pun harus berlanjut pada rencana tertata untuk meninggalkannya. Rencana tertata itu juga pertimbangkan potensi godaan yang akan membuat dosa terulang. Semacam internal kontrol.

Bisa juga dengan melibatkan pihak lain untuk ikut mengawasi. Bersama akan lebih mudah dibanding sendiri. Pantaslah jika salah satu "tombo ati" adalah berkumpul dengan orang shaleh. Karena kebaikan itu menular. Paling tidak bersama komunitas kebaikan potensi dosa kita terminimalisasi.

Semoga dimudahkan langkah kita. Aamiin. 

Poetoe, 24 Ramadhan 1436H.

Senandung Gatotkaca

Seperti ketika waktu berlarian sedang kita diam
Pengulangan demi pengulangan datang
Memaksa menangkap kesan yang berseliweran
Mencoba mencerap pesan yang lalu lalang
Seperti terjemahan cinta khas anak muda
Bahwa cinta adalah rangkaian tantangan dan pembuktian
Pembuktian-pembuktian itu menjadi seolah persembahan
Persembahan atas nama cinta
Semakin tinggi nilainya jika persembahan itu tak bermakna harapan atas imbalan

Terlepas saja.... sudah

Sedang layang-layang jiwa kita masih  menandak nandak seperti menapak jejak angin
Semakin tinggi semakin keras angin menampar.

Poetoe, Juli 2015.

Paradoks

Paradoks.
Matahari terang di luar sana
sedang hati menggelap dalam murung di sini.

Ada air mata,
Tapi enggan jika disebut ini kesedihan
Ini hanya diam yang panjang
Jika air telaga terusik dan mengeruh
Kita butuh sesaat saja
Mungkin juga bersaat-saat
Dalam diam yang pekat
Memberi ruang lumpur yang terangkat kembali mengendap.....

Paradoks.
Saat coba lupakan justru semua kenangan terangkat kembali....
Seperti juga ketika coba mengingat sesuatu, justru bangunan kenangan itu yang runtuh perlahan.

Paradoks.
Saat akal sehat coba mengambil peranan,
Justru tersadar betapa pentingnya rasa
Dalam setiap pengambilan putusan.
Begitupun saat ingin libatkan banyak rasa dalam alasan berbenah ini,
Justru air mata yang banyak tumpah....
Kepedihan yang dominan.

Paradoks itu diam dalam keriangan
Remang dalam terang benderangnya siang
Remang karena kelopak mata tak sanggup
Tak sanggup simpan kepedihan.

.

Poetoe. 2015.

Minggu, 05 Juli 2015

kupu-kupu senja

Apakah kupu kupu beterbangan dari aroma satu ke aroma yang lain? Ia membaca peta dari wewangian. Alangkah indah jika sesekali menyerupainya.

Sebuah perjalanan tugas dari keindahan ke keindahan. Syaratnya tentu tak boleh jejakkan jelaga di sana. tak boleh ada wajah sendu dan tanpa semangat. Harus penuh senyum dan tatapan cinta.

Seperti senja yang beruntun kuberi makna. Ketakutan berjarak membuat dekat lebih hangat. Setiap detik aku eja perlahan, agar kualitas melibaskan jumlah. Semua indahmu aku simpan seolah kupu-kupu yang rahap menyesap madu. Lalu ada tanya, yang membuat kita harus saling tatap. Sayap mengerjap sesaat lalu beterbangan.

Poetoe (juli 2015)

Metamorfosa

Jika proses metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu harus menjadi kepompong, maka puasa ramadhan adalah kepompong itu.

Dan pada saat proses kepompong itu ulat diam dalam waktu lama, tak makan tak minum menekan hasrat duniawi sekuat mungkin. Hingga air liurnya mengering menjadi tabir yang kuat menutupi sekujur tubuhnya.

Demikian halnya kita, semestinya memberikan lebih banyak waktu untuk diam dan berbincang terhadap diri. Mengaduk aduk sejarah dosa masa lalu, memilah-milahnya, untuk membaca setiap dosa itu menjadi lebih jelas klasifikasinya, hingga akhirnya kita bisa temukan motivasi dan cara yang tepat untuk meninggalkannya. Juga menemukan kebaikan-kebaikan lain yang bisa menggantikan kekeliruan masa lalu kita.

Asyhadu allaa ilaha illalloh.
Astaghfirulloh
Asalukal jannata wa a'udzubika minannaar.
Allohuma innaka affuun tuhibbul afwa fa'fuanniy.

Poetoe, 18 Ramadhan 1436H.

Istighfar itu solusi

Kenapa istighfar menjadi solusi? Ternyata kekuatan mohon ampun atas kesalahan itu memang luar biasa.

Dalam istighfar terkandung pengakuan atas kesalahan diri. Jadi tak cepat salahkan orang lain.

Karena cepat salahkan orang lain itu berbahaya. Butakan mata hati untuk berbenah diri. Sibuk congkel aib orang.

Walau kadang cepat salahkan orang ini bersembunyi pada dalih mengkoreksi, sikap kritis. Memang batasnya tipis. Hati yang lebih tahu.

Mungkin SOP mengkritik itu kalau sudah serius evaluasi diri dulu. Jadi kritik terasa berkualitas, bukan sekedar sangka saja.

Paling nyaman memang perbanyak istighfar, ulang-ulang permohonan ampun ini. Biarkan hati menikmati guyuran rasa bersalah itu.

Menunduklah hati sedalam dalamnya, jika lalu jiwa melompat ke arah yang lebih baik itu pastikan pijakan hati bersih itu memadai.

Jelang 10 hari terakhir, perbanyak istighfar. Semoga kita beroleh ampunan dariNya, hingga tak celaka kita di bulan suci ini.
Aamiin.

Poetoe, 19 Ramadhan 1436 H.

Selasa, 30 Juni 2015

Laa Tahzan

Mungkinkah hidup itu perjuangan kita untuk menghindari kesedihan?

Bukankah Dia melarang kita bersedih, dengan firmanNya Laa tahzan innalloha ma'anaa?

Karenanya waktu yang kita jalani adalah ritual mengumpulkan mozaik kebahagiaan di sepanjang jalan hidup. Serpihan senyuman, kelakar sederhana, tawa terbahak, puas, bangga, dan bahagia yang paripurna.

Sebaliknya, di sepanjang perjalanan itu kita hindari duri kesedihan, jelaga perih, percik sakit hati, kabut galau dan gundah gulana.

Seperti saat aku minta kau tak menangis, memintaku pun tak dengan kata. Hanya tatapan dekat pada kelopak mata. Berharap sayap kupu kupu itu mengerjap lalu tetesan air mata itu kau ubah jadi senyuman.

Poetoe. 2015

Samar menjadi remang

Kehilangan fokus; mungkin karena sikap semenjana yang berlebihan....
Mengabaikan garis garis tajam itu.
Yang terbangun adalah samar.
Samar yang menyebar menjadi remang...

Mungkin yang kubutuhkan adalah sortasi.
Keberanian memilah
Memberi batas
...sedikit mengkategori.

Karena motif batik yang kau kenakan senja ini terlalu bias sebenarnya,
terselamatkan oleh garis wajahmu yang tajam.
Mungkin demikianlah aku seharusnya
Perlahan kembangkan keyakinan,
hingga tak lagi ada ruang untuk keraguan.

Chapter baru aku mulai,
Semenjana tak boleh tak berkesudahan....

Karena ada yang harus ada.
Kau tahu itu. Kau tahu itu.


Evaluasi Tengah Ramadhan 1436 H

Mencoba terapkan teoriku di awal Ramadhan kemarin,
1. Ilmu praktis, berfikir mikroskopik, detail. Target bekerja efisien dan efektif. Aku merasa masih gagal. Banyak tugas belum terselesaikan secara optimal.
2. Cara pandang strategik, berfikir lebih makro agar tepat arahkan mata panah tujuan. Ini juga masih mengkhawatirkan. Jelang usia 40 aku mengulang ulang kesalahan masa lampau.
3. Seni, agar cita rasa hidup ternikmati... itu pun rasanya belum berhasil, buktinya masih sering tertabrak badai stress.

Evaluasi hari ini, nilai raportku masih buruk. Untunglah terselamatkan oleh rehat yang berkualitas di ujung senja. Saat semesta bermain sejenak di telaga kekhawatiran. Walau sejuknya melukakan, namun perlahan tabir itu justru tersibak. Ternyata aku sedang memasuki bab baru dalam membacaimu.

Dalam jalanan gelap, aku butuh suluh dan lentera-Nya.

Sabtu, 27 Juni 2015

Catatan dini hariku, sepulang ronda

Catatan dini hariku, sepulang ronda:

Beberapa guru tidak menjadi pemimpin, bukan karena tak mau namun memang mengaku tak mampu.

Guru bicara ilmu. Objektif, normatif. Jelas mana benar mana salah. Sementara pemimpin harus berani ambil keputusan. Terkadang mungkin salah.

Menjadi pemimpin bisa jadi tak disukai, bisa jadi salah langkah. Terkadang memang harus berani pertaruhkan mana yang lebih tak berisiko.

Pemimpin yang masih sibuk dengan citra dirinya tak layak dipanggil pemimpin. Panggil saja ia pesolek. Topeng.

Pemimpin itu mestinya berjiwa besar. Memandang utuh atas semua. Hingga menelan seluruh masalah kecil di depannya menjadi lenyap.

Bukannya abaikan yang praktis dan efektif, namun pemimpin akan lebih perhatikan strategik dan visi jauh ke depan.

Bahkan idealnya, pemimpin itu: praktis agar efektif, strategis agar terarah, dan juga seni dengan penuh cita dan rasa.

(Terinspirasi obrolan di saat ronda)

Rabu, 24 Juni 2015

Menerjemahkan gelap

Lalu mulailah aku menerjemahkan gelap. Saat menyengaja pejamkan mata untuk waktu yang lama. Karena dalam gelap retina mata lebih bebas membaca setiap batas ruang. Otak pun diam, rela menerima pesan apa pun dari mata. Karena ia telah kenyang dengan nutrisi khayalan dari bilik angan dan mimpi.

Demikianlah keheningan mencipta rimanya sendiri. Berlari dari terang, menghindar dari menang, menyelinap dalam gemerlap yang menyilaukan. Karena diri terlampau lelah menyalahkan orang lain, bosan untuk selalu mengalahkan, jenuh untuk selalu mencari dalih membela diri, enggan untuk terus berlari dari caci, berlindung dengan citra, merias diri sedemikian rupa agar indah nama baik agar rupawan harga diri.

Rebahlah ia istirah saja di tanah lapang nurani. Terlentang pasrah. Kendali atas nama telah dilepas. Biarlah saja apa kata orang. Biarlah saja opini berkembang. Karena diri telah terlalu letih. Tak lagi ingin melompat lompat menggapai ingin. Namun justru merunduk rendah, tiarap, bahkan berendam dalam parit dalam. Abaikan kedengkian, moksakan ambisi.

Dengung... lama... denging lama.
Diam.

poetoe.

Remah remah

Menjadi remah-remah saja adalah proses belajar. Belajar menghindar dari penyakit hati.
Terlalu sering nampak dan ingin hebat itu berbahaya. Kadang keinginan bersegera menyalahkan itu menggoda. Lalu biasanya asyik sibuk membangun citra diri.

Memang nikmat bermain di wilayah terang, menang, sukses, dan populer. Namun bahayanya mengancam. Merasa pantas menang itu mudah menjadi meremehkan. Lalu tumbuh menjadi pongah.

Gejala awalnya demikian lembut, hanya rasa tak nyaman mendapat kritik, atau kadang rasa direndahkan. Rasa direndahkan itu bukti diri merasa tinggi. Bahkan rasa berhasil merendah itupun benih tinggi hati.

Karena sebenarnya kita memang butuh di bawah untuk melihat lebih banyak. Benar-benar di bawah bukan sekedar merasa.

Padahal kesombongkan apa yang pantas kita pertontonkan?
Merasa pintar, sementara ketidaktahuan kita jauh lebih banyak dari pengetahuan kita.
Kesalahan kita terlampaui banyak. Karena benarnya kita pun beranjak dari kesalahan-kesalahan kita masa lalu.
Kedekatan kita padaNya pun bermula dari kesadaran atas banyaknya dosa-dosa kita.
Aib kita terlampau banyak. Dan hanya karena Dia tutupilah kita masih memiliki harga.

Saat jelang senja di bulan puasa, adalah tepat untuk memohon ampun.
Sebagai hamba hina, rendah dan kotor. Mengiba padaNya Yang Agung, Tinggi dan Suci. Mengiba.
Kita hanya remah remah dari keagungan Cahaya-Nya. Meleburlah saja....

Poetoe...

Sabtu, 13 Juni 2015

Dini hari

Demikianlah dini hari selalu saja punya cara ingatkan kita, mungkin karena sepi memang kolam yang tepat untuk berendam diri. Mencermati segala khilaf dalam melangkah. Tak ingin ingatan akan kekeliruan itu menjadi sekedar kubangan sesal saja. Harus beranjak menjadi bagian dari langkah kebaikan yang menyusuli setiap keburukan; bukan sebaliknya.

Dan dini hari mungkin serupa perigi, yang sediakan segarnya air dingin, juga kesunyian yang anteng. Tempat nyaman bermuaranya renungan atas apapun yang telah lalu. Karena mengingati sesuatu, atau mengenang peristiwa lalu, jika salah momentum justru akan memperburuk. Karena bisa saja justru semakin mencengkeramkan sesal yang mengental lalu sibuk menyalahkan diri dan kondisi, atau sebaliknya justru semakin sibuk mengarahkan mata panah pencari kesalahan ke orang lain.

Karenanya kita memang butuh saat dini hari. Saat evaluasi serius atas diri sekaligus saat menyusun rencana secara tartil, dan mengakhirinya dengan lantunan doa. Sebagai ekspresi ketidakberdayaan hamba atas hasil usaha kita nanti.

Demikianlah dini hari mengajari kita.

Minggu, 31 Mei 2015

Terpejam

Kumulakan pada gulita
Lalu pendar pendar bulir cahaya
Perlahan menyatu dalan rongga benak....
Terangkai dalam alunan kenangan
Kenangan yang mengendap bukan karena lama
Melainkan rekat oleh pemahaman
Makna yang tumpah dari simbol simbol yang saling terkait....

meleburmu
meleburku

Reaksinya berkejaran seolah tak berakhiran.

Tertahan dalam ingatan

Mungkin memang bukan hilang, bukan pula perpisahan, saat ia masih ada dalam ingatan. Selama apa pun, sejauh mana pun jarak, masihlah dekat saat ia tersimpan dalam benak sebagai ingatan.

Terkadang ingatan demikian menakjubkan. Karena demikian detail tergambar. Bahkan sesekali disertai rasa yang demikian sama, bahkan aroma. Dan semua itu tak lalu bisa kita sengaja dan rencanakan. Karena ia bisa saja tiba tiba teringat.

Demikian juga padamu. Kuharap apa pun yang pernah terjadi antara kita menjadi bagian dari ingatanmu. Mengental kekal dalam benak. Sehingga di suatu masa entah kapan, kan terbukti dan teruji bahwa ini memang tak berkesudahan.

Senandika-kah?

Masih Rumit

Apakah lalu terlalu rumit jika kita tak berhenti pada yang sekedar terucap, sekedar terlihat, sekedar terlintas? Bukankah dunia tempat segala kesementaraan? Dan mudahlah kita tertipu pada yang "sekedar" itu?

Lalu ada yang menjawab "iya. Memang jadi terlalu rumit."

Terdiam. Mungkin aku masih terjebak pada dimensi kata. Belum juga beranjak.

Keterpisahan dan kepulangan

Tersadar bahwa kelahiran adalah keterpisahan hamba dari Dzat Tuhannya, dan kematian adalah perjalan pulang.... kepada Nya.

Pantaslah bayi terlahir selalu menangis karena enggan terpisah dengan Kekasihnya, sedang kematian khusnul khotimah itu justru dijalani dengan senyuman.

Bercermin

Dan cermin kita gunakan untuk melihat kekurangan kita....

Maka dari merekalah aku baca tentangku : tak segera beranjak dari masalah, sering mengeluh, berpikir tak efektif, tidak realistis, dan aneh.

Terima kasih.

Saatnya segera beranjak, jauhi keluhan, berpikir lebih sederhana dan taktis, lebih realistis, dan cobalah menjadi seorang biasa.

Bismillah.

Mencari Ci....

Ini perjalanan... pengembaraan.
Bukan panjang jarak bukan  panjang masa.
Namun terasa panjang
Karena rute yang tak biasa.

Mengeja setiap detik
Menjejak setiap senti
Menebar rahsa
Mencari sumber mata airmu

arus sungai ini hanyalah hilirmu
Ialah ekspresi dari cerminan isi
Di balik topengmu sungguh tak terbaca
Mengelakmu karena enggan setelah terbaca aku kan beranjak....
Padahal mata air pastilah lebih jernih dari arus di hilir.

Pengembaraan mencarimu
Perjalanan memahamimu
Panjang namun kusuka
Sedemikian suka
Hingga tetes darah dan keringat tak terasa.

Ci.
Ci.
Ci.

Jumat, 22 Mei 2015

Topeng wajah topeng persepsi.

Semua kita kenakan topeng, mungkin. Itu jika topeng kita maknai sebagai peranan yang kita ambil. Bukan hanya peranan melainkan juga persepsi orang lain atas diri kita yang sengaja ingin kita bangun. Lalu apakah lalu kita hipokrit saat mengenakan topeng? Mungkin itu bergantung pada seberapa beda persepsi yg kita bangun itu dengan substansi kenyataan yang ada dalam diri kita.

Walau ada yang berdalih tidak masalah jika berbeda, selama anggapan atau persepsi yang kita inginkan itu justru lebih rendah dari pada substansi kenyataan yang ada dalam diri kita. Karena itu artinya rendah hati kan? Entahlah benar atau tidak.

Namun ada pula yang berdalih untuk tetap kenakan topeng, karena menurutnya isi yang sebenarnya dirinya tidaklah menarik. Ia khawatir mereka yang melihat saat ia tak kenakan topeng akan beranjak meninggalkannya.

Dengan alasan yang manakah kita masih kenakan topeng? Atau adakah rencana membuka topeng? Kapan? Ataukah sebenarnya memang sudah tak lagi kenakan topeng?

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...