Kamis, 16 September 2010

ulang tahun??

Tentang umur kita, yang kata orang bertambah setiap kita ulang tahun... sebenarnya adalah hasil kesewenang-wenangan kita sebagai manusia terhadap waktu. Kita mengkerdilkan waktu, dengan mengikatnya dalam satuan-satuan yang sengaja kita ciptakan. Dalam detik, dalam menit, dalam jam....

Kita yang menetapkan sekarang tanggal berapa, jam berapa, menit dan detiknya juga... lalu kita sendiri pula yang menetapkan bahwa ini adalah hari kelahiran kita. Aneh kan?

Yang lebih menarik adalah jumlah waktu yang kita jalani ternyata tidak berarti lalu meningkat nilai kemanfaatan kita terhadap orang lain [atau dunia -dengan cara pandang yang lebih nggaya]; buktinya banyak orang2 yang jauh lebih muda, ternyata jauh lebih "hebat" dari kita. Lihat saja para penemu itu, rata-rata mereka sukses di umur 30-an... duh, dah lewat deh... hiks... Bahkan banyak yang mati muda, dan hingga hari ini namanya begitu dekat dengan kita... artinya, secara kemanfaatan dia tetap "mengada". Sedang kita, [jangan-jangan] hanya eksis di FB... itu pun "cenderung" narsis... hiks

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? dengan sisa umur kita....??

Seperti pesan Agama: "sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain", maka... jadikan setiap waktu yang kita miliki, itu dapat kita jalani dengan penuh "arti". Ledakkan potensi diri, di setiap waktu, di setiap tempat, di setiap situs/website yang kita kunjungi... di setiap sms yang kita kirimkan, di setiap update status kita.. di setiap komentar yang kita kirimkan...

Karena hidup ini adalah rangkaian waktu, yang detiknya berguguran satu demi satu... tanpa bisa kita hentikan....

[ditulis sesuai pesanan Bunda Ismayani Susana, mbakyu-ku yang sedang ulang tahun hari ini]

Rabu, 15 September 2010

mengelola emosi [ekspresi keimanan]

Beberapa hari ini, emosi keimanan teruji. Di Ciketing belum juga usai, muncul hal baru di Springfield. Kesemuanya memicu "adrenalin". Memang benar kata Prof. Dr. Mukti Ali (bapak perbandingan Agama) bahwa tidak ada yang lebih membuat kita emosional kecuali itu tema agama, tema tentang keyakinan. Berarti memang sudah wajar reaksi hati itu muncul. Masalah kita sekarang adalah bagaimana mengelolalnya.

Menahan diri itu serupa berlayar di lautan penuh ombak. Ini adalah tentang bagaimana aku (ego) itu mampu menguasai diri (self). Ada beberapa resep (aku mencomotnya dari beberapa sumber):

1. Lakukan objektifikasi; dudukan masalah secara rasional. Pikirkan sebanyak mungkin kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan jika gelora hati itu kita biarkan menerpa jiwa. Tapi biasanya, kita menjawab... ya gimana dong, namanya juga lagi emosi... hehehe... karena itu perlu cara kedua;

2. Pastikan kita tetap dalam barisan; biasakan kita bergerak bersama. Kita butuh teman dalam mengelola emosi kita. Nasehat mereka itu yang kadang lebih mujarab, karena mungkin mereka memandang kita secara lebih transeden. Ingat, ketika badai menghantam kapal, seorang nahkoda tak mungkin bisa selamatkan kapal jika ia bekerja seorang diri. Harus ada para awak kapal, yang secara profesional bekerja sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Entahlah, tapi paling tidak... memikirkan dua hal di atas, membuat saya lebih tenang malam ini. Emosi sih iya... tapi berharap ekspresi kemarahan kita itu tidak memicu masalah baru. Bukankah kita sedang mencari solusi?

Wallohu a'lam

Senin, 13 September 2010

tentang Reuni

Kadang kita mengenal kata “lupa” sebagai fitrah manusia yang cenderung merepotkan kita, padahal sebenarnya “lupa” adalah bagian nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Terbayang, jika kita hidup tanpa pernah lupa, betapa penuhnya otak kita. Jika penuh oleh kenangan indah mungkin tak mengapa, tapi bukankah kenangan itu ada pula “mimpi buruk”?... dan pada kenyataannya, mimpi buruk justru lebih sulit dilupakan. Kita tidak akan berbincang tentang lupa, namun justru sebaliknya tentang ingatan. Tentang aktifitas kita yang membawa kita ke “belakang”, dan kita sering menyebutnya dengan nama “reuni”.

Reuni itu...
Reuni adalah sarana berkomunikasi dengan masa lalu. Kita dipertemukan kembali dengan orang-orang yang pernah bersama kita di hari-hari lalu. Dengan bertemu, lalu berbincang, mau nggak mau... otak kita berfikir tentang hari-hari dulu. Otak terlempar ke belakang, kadang rasa pun terbawa. Yang seringkali mengganggu adalah masalah-masalah kita di hari lalu kembali muncul. Kadang hati tiba-tiba saja ngilu. Menyesali langkah-langkah keliru kita di masa lalu. Padahal apa untungnya coba? Tapi namanya juga rasa, sapalah yang bisa menyalahkan? Jadi ada benarnya juga, jika reuni itu dianggap sekedar kegenitan kita bermain-main dengan ingatan akan kenangan.

Mungkin masalahnya ada pada “menyesalinya saja”, jika kita sempurnakan dengan “memperbaikinya”, maka reuni itu kita perlakukan sebagai sarana menjemput kembali pengalaman masa lalu yang berserakan, untuk kita susun kembali dalam kerangka solusi, dan perbaikan di sana sini. Jadi reuni bukan untuk mencongkel luka lama, melainkan mengobati luka sebagai bagian dari peningkatan kualitas hidup kita. Seperti firman Allah, dalam Surah Al-Hasyr, ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Beberapa teman berpendapat, "reuni" itu penting dalam rangka menyambung silaturahiem. Hmmm, dengan dalih ini... berarti "reuni" itu bisa menyelamatkan kita dari status "Orang-orang fasiq" dan "orang-orang yang merugi" seperti firman Allah dalam QS Al-Baqoroh, ayat 27 "(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya [-silaturahiem] dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." Ayat ini menjelaskan penggalan ayat sebelumnya tentang orang-orang Fasiq. Namun jangan lupa, re-silaturahmi tidak memandang posisi kita sekarang. Semoga bukan jadi ajang pamer pencapaian, karena Allah menciptakan kita berbeda-beda... QS Al-Hujuraat ayat 13, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Berarti paling tidak, ada dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal saat berangkat ke "reuni": (1) Semangat menjadi lebih baik, bukan sekedar genit dengan "rahsa" menyesal atau pun ber-asyik dengan kenangan saja; dan (2) semangat menyambung hati dengan silaturahiem seperti yang Allah perintahkan, bukan ajang saling berbangga diri, saling mencela dan merendahkan, insya Allah akan membuka pintu rezeki, kasih sayang dan keberkahan kita. Amien...
Wallohu a'lam

[beberapa komentar tentang Reuni coba aku tampung/kliping di sini http://arisankata.blogspot.com/2010/09/versi-di-status-putu-baca-status-teman2.html]

Jumat, 10 September 2010

energi "saling memaafkan" di hari fitri...

Kata "maaf" itu adalah sumber energi. Energi bagi kedua belah pihak, baik yang mendapatkan maaf, maupun yang memberikan maaf. Mengapa demikian? Mari kita lihat.....

Seorang yang mendapatkan maaf dari seseorang, adalah serupa terangkatnya beban yang selama ini mengganjal. Ia akan menjadi lebih "ringan", karena ada kelegaan dalam hatinya. Ia menjadi lebih bebas, bisa jadi ia akan lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya. Tiba-tiba saja ia menjadi "tercerahkan". Lalu lahir "solusi" atas masalah2 yang ia hadapi, yang selama ini "mumpet" karena terhalang "perasaan bersalah". Inilah luar biasanya mendapatkan maaf dari orang lain.

Demikian hal-nya, bagi orang yang memberikan maaf. Sedetik setelah, kalimat "aku memaafkanmu." atau gerak hati yang merelakan, memaafkan kesalahan orang lain, maka saat itu juga jiwa terasa lebih luas. Karena ia sedang membuang beban dalam dadanya... beban itu bernama kesal, benci, sakit hati, dendam, cemburu, dan banyak rasa2 lain yang lahir dari kesalahan orang lain yang menimpa diri kita.... Dengan kata "maaf", penyakit2 hati itu terangkat; seperti kuman yang terusir oleh antibiotik bernama "maaf".

Jadi wajar, jika di hari raya ini... saat begitu banyak kata "maaf" berhamburan... saat begitu banyak hati saling memaafkan, senyum yang rido, tatapan mata yang memahami sisi kemanusiaan orang lain, dan melantunkan kata "maaf" ke seluruh penjuru bumi... lihat saja di beranda facebook kita, sms, di masjid, di halaman rumah kita, di telepon, di radio, di Tivi.... maka terasa energi yang dahsyat itu memenuhi rongga jiwa kita. Kita menjadi begitu bahagia. Penuh inspirasi, bahkan kadang menjadi begitu melo dengan menitikkan air mata saking bahagianya....

Ini adalah gelombang energi "saling memaafkan".

Mari kita canangkan, hari2 yang penuh kata maaf. Pastikan kita dalam barisan ummat yang penuh semangat "saling memaafkan" tersebut, dan biarkan energi dahsyat itu membenamkan jiwa kita; dan bergetar hati kita, penuh rasa bangga dan bahagia. Wallohu a'lam.

Selasa, 07 September 2010

Marotibul Fikri..

Ini adalah tulisan seputar "cara pandang" kita terhadap sesuatu.

Latar belakangnya adalah bahwa: cara yang salah dalam memandang sesuatu bisa jadi mengubah arah dan tujuan sesuatu itu dilakukan. Contoh yang terfikirkan olehku saat ini adalah: cara pandang kita terhadap politik dan dakwah.

hmm... ini menjadi tema yang sensitif. Hehe, jadi khawatir aku terjebak pada percakapan batin yang keliru, namun ini juga bagian pemikiran yang telah melalui proses endapan dalam hati; jadi rasanya sudah siap di-dhahirkan dalam satu tulisan.

Dalam khasanah berfikir khas "tarbiyah", bahwa politik adalah bagian dari cara dakwah. Artinya, aktifitas politik adalah salah satu sarana yang dapat kita pilih sebagai salah satu cara ber-dakwah. Karena dakwah dalam pengertian yang luas adalah langkah beranjak dari "kegelapan" ke terangnya "cahaya"; dari kemiskinan ke kesejahteraan; dari kebodohan menuju ke masyarakat yang cerdas; dari kebiadaban menuju ke keberadaban... dan sebagainya.

Maka politik menjadi langkah yang sangat masuk akal, karena dengan aktifitas politik-lah kemiskinan itu dapat ditumpas, kebodohan itu dapat dilawan, dan kebiadaban bangsa itu dapat dilenyapkan; diganti dengan kesejahteraan, kecerdasan, dan keberadaban.

Aktifitas para pekerja dakwah yang juga aktifis politik, sering kali teruji dalam satu kondisi yang terdistorsi dalam dua sisi ini [politik dan dakwah]. Idealnya sih tidak ada masalah; kalau memang dapat kita dudukan secara proporsional. Namun kenyataannya, ada masalah di sini. Buktinya, banyak kesalahan-kesalahan informasi, berkembang biaknya sangkaan di antara sesama pekerja dakwah.

Penulis tidak ingin terjebak pada sekedar men-diskripsikan masalah ini, tanpa memberikan satu solusi, hingga yang terjadi justru... tulisan ini menimbulkan masalah-masalah baru. Na'udzubillahi min dzalik...

Bisa jadi, akar masalahnya adalah tidak tertibnya rukun berfikir kita [boleh dibaca: marotibul fikri]. Untuk kasus di atas, tertib berfikirnya adalah sebagai berikut: bahwa dakwah adalah tujuan, dan aktifitas politik adalah sarana yang dipilih. Konsentrasi kita pada tujuan kita, yaitu Dakwah. Ini adalah niat, motivasi, juga narasi besar kita dalam segala aktifitas kebaikan yang akan kita lakukan. Sedangkan aktifitas politik adalah salah satu sarana yang kita pilih. Fokus pada kata "sarana"; politik adalah sekedar sarana. Sehingga, cara berfikir kita inilah yang mewarnai seluruh aktifitas dakwah kita, juga aktifitas politik kita [jika diperkenankan dua hal ini dijadikan satu "dikotomi"].

Apa yang perlu dilakukan? Kita perlu lakukan "evaluasi", terhadap seluruh aktifitas kebaikan kita. Sudahkah sesuai dengan marotibul fikri kita? Jangan-jangan kita sudah terjebak; secara teori kita katakan bahwa kita sedang berdakwah lewat politik, namun dalam gerak hati kita, bergumam dengan mantab bahwa: ini adalah langkah-langkah politik kita melalui jalan dakwah yang telah kita pilih. Khawatir saja, ternyata telah lahir cita-cita baru dalam dada ini, mimpi-mimpi baru, tujuan-tujuan baru... untuk sekedar sukses di kancah politik ini...

Cara pandang kita terhadap dua hal ini [politik dan dakwah] terkesan sederhana saja, namun hati-hati... salah meletakkan tata urutannya, bisa mengubah secara drastis arah perjuangan kita; dan yang lebih mengerikan adalah terurainya jalinan ukhuwah yang selama ini begitu kokoh dan disegani oleh seluruh penduduk bumi ini...

Wallohu a'lam.

Minggu, 05 September 2010

Islam itu egaliter

Mengapa perselisihan antar kelas selalu saja terjadi?

Buruh-buruh miskin berdemo menggugat para orang-orang kaya; dari jaman renaisance sampai hari ini; bahkan di negeri kita sudah terjadi berulang kali, amuk masa berbuat kerusuhan nasional. Pejararahan menjadi ajang discount 100% di mall-mall yang akhirnya dibakar... Mereka seakan marah terhadap kemapanan, marah dan benci terhadap kesejahteraan segelintir orang. Padahal, mereka pun sebenarnya mau jika diberikan kekayaan yang sama... entahlah! dari sebelah mana kita uraiakan benang kusut ini.

Permasalahan ini sudah sering dibahas oleh para pakar. Bahkan ide-ide bertabrakan, Kapitalisme dilawan dengan Sosialisme. Tapi keduanya masih berdasarkan pada paham "materialisme"...

Padahal inilah masalahnya, kita tidak menggunakan sudut pandang yang benar dalam menyikapi perbedaan kelas. Teringat penggalan ayat di surah Al-Hujurat ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Penekanannya pada "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" ukurannya adalah ketakwaan saja, bukan pangkat, harta, atau darah bangsawan... Islam begitu egaliter.

Nilai egaliternya Islam ini sekarang hanya menjadi materi-materi ceramah para muajih/ustadz, tidak menjadi nilai yang mengejawantah di tengah masyarakat. Terbukti betapa kita pun ikut terbawa, menilai sesuatu itu berdasar ukuran-ukuran duniawi... dan menyebalkannya lagi, kita sering berdalih ini adalah hal yang manusiawi...

Padahal, sejatinya... nilai-nilai inilah yang diusung Islam ketika turun di tanah arab waktu itu. Dan para pembesar Quraisy itu menentang Islam terlebih pada ketakutan mereka bahwa nanti setelah Islam menjadi agama Bangsa Arab, mereka akan kehilangan kemuliaannya.

Saatnya kembali berbenah, kembalikan nilai-nilai egaliternya Islam ini dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sering-seringlah kita gumamkan dalam hati kita: "Inna akromakum 'indallahi atqokum" agar nilai itu ter-internalisasi dalam hati kita, dan kita bisa memandang apa pun di muka bumi ini dengan ukuran yang memang Allah ijinkan. Bukan dengan ukuran duniawi yang "cemen" itu.

Wallouhu a'lam.

Kamis, 02 September 2010

membaca ayat sebagai "kesan" bukan sekedar "pesan"

Mereka, para Shahabat Rosulillah itu membaca "Ayat-ayat Allah" dan juga sabda Rosulullah SAW, tidak sekedar sebagai "pesan" melainkan juga "kesan".

Pesan itu berjarak, ia bergerak dari pemahaman (aktifitas otak) ke pemahaman yang lain; sedang kesan itu lebih dekat, akrab, karena ia bergerak di ranah hati, rasa, juga aktifitas jiwa.....

Bukti mereka (para Shahabat itu) membacanya dalam kerangka "kesan" adalah:
1. Abu Bakar seringkali tak sanggup meneruskan bacaan Al-Qur'annya tanpa air mata... ia begitu detail mem-visualisasikan makna yang terkandung di dalamnya;
2. Ali bin Abi Thalib, dengan indahnya abaikan rasa sakit ketika ia sedang shalat;
3. Abu Darda' yang gumamkan kata "jannah...jannah" pada saat berhadapan dengan hunusan pedang dan mata tombak pasukan musuh... seakan Surga itu bergelantungan di kelopak matanya....
4. dan masih banyak contoh lainnya....

Saatnya hadirkan segenap hati, saat kita lantunkan ayat-ayat SuciNya; hingga jiwa tak lagi dahaga... terpuaskan secara ruhani, sebagai hamba yang selalu merasa begitu banyak mendapat limpahan Cinta-Nya secara utuh dan menyeluruh...

Wallohu a'lam.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...