Selasa, 17 September 2013

buram

aduh, udara menjadi larutan
pekat oleh adukan ketidakpastian.

anti pencitraan itu pun pencitraan,
berdalih ketulusan itu ternyata bukti ketidaktulusan,
bahkan berhenti bergerak itu pun gerakan untuk diam,
batas atas apapun itu menjadi samar.

akhirnya aku serahkan saja berkas ini padamu
di atas meja
dengan piring kotor dan gelas kosong
remah-remah roti
cinta aku sisakan
di sudutnya

sudahlah... jika ragu, abaikan saja.
ini rona pipi tanpa makna kok
bisa saja tanpa makna
mungkin bisa kau anggap tak bermakna
... padahal penuh makna. #lho

belajar dari anak-anakku

Malam ini, aku belajar banyak dari anak-anakku. Tentang bagaimana mengerti dan memahami orang lain. Sebagai orang tua, terkadang aku merasa pantas minta dipahami... seperti saat marah karena mereka meminta sesuatu di saat yang tidak tepat, seringkali kalimat ini yang muncul "... tolong ya, pahami posisi Bapak... Bapak sedang capek." Padahal ternyata, mereka justru yang mulai pandai memahamiku

Seperti malam ini, sepulang kantor aku langsung kuliah, sehingga sampai di rumah tentu kondisiku semrawut dan lelah. Haya anak sulungku, menyediakan kopi. Walaupun setelah itu dia meminta aku membantunya kerjakan tugas dari sekolah. Aku katakan "Siap..." secara sudah dapat secangkir kopi. Sayangnya, si Asa (anak ketiga) mulai cari perhatian, dia rewel dan menangis, sebenarnya ini karena aku gagal mengerti apa yang dia butuhkan. Tapi karena aku sedang sibuk dengan kakaknya, Asa aku gendong saja, dengan tetap dalam tangisnya. Yang membuat aku terkesan justru saat Asa mencoba menghentikan tangisnya sendiri, dia tidur di sebelahku dengan memeluk guling dan menutupi matanya, perlahan isaknya berhenti lalu tertidur. Aku dan Haya berhasil dengan tenang selesaikan tugas. Bagaimana dengan Bunga, dia yang mengingatkan aku untuk mandi, karena sebentar lagi akan ada pengajian di rumah. Selesai mandi pun, Bunga yang meminjamkan mushaf Qur'annya saat dia melihat aku kebingungan mencari mushaf Qur'anku.

Demikianlah, anak-anakku menunjukkan perhatiannya kepada orang tuanya. Mereka berhasil memahami kondisi orang tuanya. Haya dengan secangkir kopinya, Asa yang walau menangis memaksa tidur karena tahu kesibukan Bapak dan kakaknya, juga Bunga yang paham perlengkapan mengaji bapaknya. Jadi malu, karena aku sebagai orang tua masih sering gagal memahami mereka. Padahal mestinya sebagai manusia yang terlahir lebih dahulu dari pada mereka, aku lebih mampu memahami mereka.....

Ajari aku, Nak....

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...