Minggu, 27 September 2015

Jenjang Marah

Mencoba tidur siang di saat panas terik, malah bermimpi seperti mimpi - mimpi masa kanak kanak dulu, saat terserang sakit. Mimpi saat aku sakit memang selalu serupa. Padahal saat ini aku merasa tidak sedang sakit. Dalam mimpiku aku seperti ada dalam dunia yang serba cembung. Sebuah perjalanan, yang seolah selalu saja salah arah. Dalam mimpi itu ada gelisah, ragu, tapi juga harapan temukan jalan pulang.  Padahal seperti biasa, hingga terbangun aku tak pernah benar-benar sampai rumah.

Sebenarnya mungkin ini dipicu oleh kejadian sebelum tidur. Asa, anak ketigaku rewel, menangis dengan alasan yang tidak jelas. Biasanya aku jadi ikut marah. Namun terhadap Asa aku memang lebih hati-hati. Aku menahan diri. Hasilnya memang menyiksa. Dada berdegup sangat kencang. Kepala jadi cenat cenut.

Yang terpikir olehku saat itu justru tentang jenjang atas marah. Yang berjenjang seperti juga Dusta.

Marah yang pertama marah dengan diikuti ekspresi fisik yang kalap. Seperti memukul meja, atau mengajak berkelahi.

Marah yang kedua adalah marah dengan wujud kata kata. Bisa berupa cacian atau makian, juga kata - kata kasar.

Sedang yang ketiga, marah dalam bentuk diam. Marah dalam bentuk diam. Ditahan saja. terlihat bijak namun sebenarnya berbahaya bagi kesehatan.  Karena darah demikian pokok untuk kehidupan. Sementara gara-gara marah yang ditahan jantung bisa berdenyut lebih keras, dan rawan serangan jantung yang lebih parah.

Bagaimana bisa selamat dari bahaya marah.??

Mungkin dengan menutup kemungkinan kita "marah" maka kita bisa terhindar dari marah. Bahkan sekedar  marah dalam hati.

Awalnya tentu dengan memahami bagaimana marah itu bisa terlahir...

Jika marah kita terlahir karena ketersinggungan karena merasa harga diri kita diabaikan, maka untuk menghindari marah adalah dengan meredefinisikan harga diri kita. Karena mungkin saja kita yang terlalu tinggi menilai harga diri kita.

Jika marah kita terlahir karena merasa kita di posisi yang benar sementara mereka di pihak yang salah, lalu muncul rasa bahwa kita memang pantas marah. Maka saatnya kita pelajari ulang perjuangan para nabi dulu. Sejak mula jalankan tugas kenabian, tentulah mereka sangat yakin posisinya sebagai penyebar kebenaran, namun lihat betapa sabarnya mereka terhadap umatnya yang masih tak percaya.

Jika marah kita karena reaksi spontan saja, maka ingatlah bahwa terkadang yang menyiksa kita di belakang hari dengan sesal yang menggumpal adalah reaksi spontan kita yang emosional.

Demikianlah, semoga aku bisa dijauhkan dari rasa marah di setiap jenjang itu. Aamiin.

Poetoe / 27 September 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...