Selasa, 31 Desember 2019

30 hari menulis puisi tanpa jeda, tema Syukur.

Bersama komunitas @nuliskeroyokan saya ikut tantangan menulis puisi tanpa jeda selama 30 hari. Demikian ke-30 puisi tersebut, semuanya dengan tema "Syukur"

tanggal satu, tentang waktu

tetesan detik tak sanggup tertahan
mengutuki waktu hanyalah penyesalan
kekalahan atas rencana
tersudut pada kenyataan

tanpa syukur semua kan sia-sia
jika pun gagal, toh harus ada yang selamatkan sisa-sisa
bukankah ini gelas setengah isi,
atau kau hanya lihat setengah kosong?

waktu pun mengunyah kita
belia pun menua
jejak langkah terhapus angin
kenangan menggigil dingin.



tanggal dua, tentang beda

tersadar perlu bersama saat benturan saling seteru
berbekal luka bergerak menyatu
di sini, ada haru atas semangat bersatu padu
di sana, ada kobar amarah atas beda berderu-deru

menegaskan kata kami lupakan kata kita
sibuk teriak hak enggan tunaikan tugas
api benci terawat dalam dendam
seolah pintu telah rapat terkunci

bukankah semua bergerak berubah
bukankah rasa itu berbalik-balik
bukankah musuh mungkin kelak kawan
bukankah benci mungkin kelak cinta

syukuri saja beda ini dengan canda
kenapa harus melawan,
buka pintu, buka jendela, semua akan baik-baik saja
berikan saja senyum atas apapun.


tanggal tiga, tentang telaga

kita duduk di tepian telaga
bersihkan wajah dari jelaga
tipu daya dan pura-pura
sembuhkan dahaga
atas jiwa yang merdeka

berhala citra lama berkuasa
benamkan nurani
bisik-bisik pun tak lagi berani
semua hanya tentang persepsi
kenyataan terabaikan
keikhlasan tergilas gerbong cari muka, dan canda penuh tanda

jiwa lelah, butuh istirah
di ceruk sunyi berkaca diri
mensyukuri detik-detik saat sendiri
di tepi telaga hati, basuh nurani.


 
tanggal empat, tentang sempat
seperti saat berjalan bersama
tiba-tiba kau berhenti
lalu sepi
kami harus tetap berjalan namun tak ada lagi tawa
kerena candamu itu dulu seolah tanda
bahwa pasti akan ada jeda
terpisah lah kita sisakan kisah
di lipatan-lipatan ingatan

seperti saat kita ada dalam satu fragmen
adegan yang penuh warna,
warna dari ceria, centil dan perhatianmu di setiap pertemuan,
tiba-tiba berubah hitam putih
karena ketiadaanmu adalah padamnya warna-warna jiwa.

seperti hari ini, berkumpul di ruang maya kita
tapi tak ada kamu
hanya setumpuk kenangan bertahun-tahun duduk bersebelahan
pada album berjilid-jilid itu tercatat sempat yang kita ikat erat dalam ingat
syukurku atas hari-hari bersama kueja lamat-lamat.

selamat jalan sahabat.


tanggal lima, tentang gema

aku hanya pencari yang berlari di bebukitan mimpi
menyusuri lekuk wajahmu
tanah lapang pipimu, telaga bening mata, juga lereng terjal hidung mancungmu

aku hanya terus mencari
karena rimba pertanyaan ini selebat rambutmu,
setiap jawaban yang kutemu hanya lahirkan tanya baru
di setiap tebing kuseru namamu
yang kudapat hanya gema manampar gendang telingaku lagi

aku memang pencari, sepanjang hari mencari-cari
jalan panjang dan penuh aral
jika hanya berbekal sesal, pasti kan terjungkal dalam gagal
maka kutabur rasa syukur di setiap langkah terukur.

sang pencari menari
di seluruh penjuru negeri
menabur benih rela dan syukur
pohon cinta dan sayang pun tumbuh subur.


tanggal enam, tentang malam

aku hanya kunang-kunang di malam kelam,
beterbangan terangi huruf-huruf dalam bait puisi muram,
mengisi di setiap spasi
memberi cahaya di setiap jeda

aku hanya kerlip terang di kanvas masa yang berharap kau rasa,
bahkan hanya tarikan nafas
atau hembusannya
sekedar ada di ruang makna setiap kata-kata kita

tapi jika pun tak kau baca, maka tutur syukur pun tetap pantas,
karena bahkan pengabaianmu atasku adalah mata air inspirasi
pada setiap tetes isi hati
pada setiap sesap harap

Muntilan, 06/12/2019
nugroho putu


 puisi tanggal tujuh,
gaduh

seperti pawai di jalanan kesadaranku
liang-liang syarafku berdeyutan
hingar bingar riuh bunyi
tabuhan gaduh bernyanyi-nyanyi

padatnya gelombang suara bersahut-sahutan
keinginan berbaris iris mengiris
tayangan kenangan benderang menantang
jadi rindu sepi, jadi rindu menepi

agar nalar punya ruang menata langkah,
membuat peta di tengah berisiknya iri dan pesta dusta
bagaimana tetap bertahan di jalan yang benar,
bagaimana tetap mampu tersungkur syukur di akhir patitur malam.

7 Desember 2019
nugroho putu

Kamis, 26 Desember 2019

berbatas jendela

mengetuk daun jendela, gegas hati terburu rindu
terbuka malas, bahkan lampu masih padam
sapamu dengan suara serak penuh jejak lelah
maka kusemburkan keceriaan, dalam salam pagiku
kau tersenyum dan matahari kau culik serta dalam cerahmu
padahal masih ada lebam sayu mata kantukmu
kutebak-tebak saja, seberapa jauh kelanamu seberapa lelah langkah kakimu
lalu senyum dan kerling manjamu
ceritakan hari-hari ini kau berlari kejar mimpi
aku pun lihat kepakan sayapmu, masih lemah tapi mulai terbiasa.

seharian berbatas jendela kita bertatap cakap.

hingga saat malam menggumpal-gumpalkan kerinduan berselimut dingin basa basi
kau berkata "aku tak bisa"
padahal langit hitam memintalkan inginku
aku hanya panggil namamu
aku hanya bisikan namamu
lalu kuingatkan, jangan bilang siapa-siapa
kalau aku sayang
sama kamu.

Muntilan, 25/12/2019
nugroho putu

Oposisi

di balik terang ada bayangan
setelah bunyi ada sunyi
ada isi ada kekosongan
di balik gempita pesta ada cinta yang sepi

pada sela-sela terlantunkan sapa
pada jeda ada gelora menggoda
pada sisa-sisa ada nyanyi rindu yang bergesa
pada pucuk-pucuk sunyi ada dekap erat mimpi

meski aku simpan, tapi terjaga
seperti nyawa terbungkus raga
detak dahsyat dalam gumam
api mimpi dalam sekam

Muntilan, 17/12/2019
nugroho putu

swa

sendiri itu sepi
suatu hari pasti kita temui
sunyi tanpa bunyi
setiap detik hanya detak jantung sendiri

jika tak kita nikmati
betapa ngeri
sepi mengiris-iris hati
tanpa permisi hari-hari berlari pergi

bernyanyilah sendiri
senandung gumam dalam bisik muram
di sela nada bubuhkan kata
pilih makna yang terangi semesta

jadikanlah bayang sebagai teman bincang
rekan canda
bergunjing tentang diri kita yang lain
lalu bersama tertawa, tersadar semua hanya tentang diri sendiri.

nikmati sepi
tak ada yang pantas diratapi
berteman secangkir kopi
selalu ada mimpi yang datang menggenapi.

Magelang, 14/12/2019
nugroho putu

Selasa, 10 Desember 2019

An

aku masih hafal garis wajahmu
seperti aku mengingat denah rumahku
bahkan dalam pejam mampu kujelajahimu
bahkan saat padam mampu kuraih lilin di rak buku

tak mudah lupa, karena tatap dekat itu berulang-ulang
seperti mengeja huruf di kitab suci
detail dan perlahan,
mata membuat jejak di setiap lekuk wajah

jika jarak menarik paksa kita dari jumpa,
maka saat pejam dalam padam kutimba kenanganmu dari perigi imagi
kusekap erat dalam ingat
hangat rindu ini dalam dekap

Muntilan, 10122019
Poetoe

Jumat, 06 Desember 2019

Peri menari

kau tahu betapa indahnya cahya lampu itu saat kau menikmatinya sambil berputaran,
sinar menjadi garis terang
seperti ular bercahaya
bintang-bintang memenuhi ruang sadar
menjadi pening yang hening

menikmati setiap lenturnya, tulang dan otot memenuhi celah sendi
setiap gerakan adalah bait-bait puisi cinta
menuliskan cerita dalam gubahan tarian utuh
menjadi rangkaian adegan dalam gerak tubuh

dalam sepi pilihlah mimpi
menjadi peri
bisa menari sekehendak hati
menjawab semua tanya
menguak tabir misteri diri.

Muntilan, 04/12/2019
nugroho putu

perlawanan cinta

berdebaran aku berkejaran
bernyanyian hujan berjatuhan
berkecipakan gelisah berlompatan
berdetakan cinta bergelayutan

wajah pagi ayu
rambut berkibaran
kain berserakan
senyum nan merdeka

bagaimana pun rasa tersekap
ia kan meronta juga
menerjang jeruji hati
menembus batas diri

berdebaran aku berkejaran
bernyanyian hujan berjatuhan
berkecipakan gelisah berlompatan
berdetakan cinta bergelayutan

2019
nugroho putu

Sepenggal suluh

aku ingin bersajak untuk senja,
tentang sisa hujan di kaca jendela
dan ketukan itu membuat senyum beterbangan
warna emas di cakrawala pun berkibaran

aku ingin berpuisi untuk senja,
tentang tanda yang tak terbaca langit
dan biarlah lagu tersudahi sebelum chorus tiba
warna gelap pun perlahan lahap suluh matahari tua.

Mertoyudan, 3/12/2019
Poetoe

Rabu, 27 November 2019

Firasat

waktu mungkin serupa garis lingkar sempurna
titik mula bertemu dengan titik akhir
dan esok pun dijemput pikiran hingga hadir di hari ini
walau hanya serupa bayangan
kelebat saja menebar buram pesan
ini tentang nanti
ini tentang kemudian hari
ini tentang mimpi berharap arti

waktu menjadi bercak warna bercampuran
berkelindan antara harap dan kenang
beraduk antara mimpi dan isi hati
terpahami sebelum terjadi
seperti pesan yang memaksa masuk ke benak
menyelusup tanpa permisi
bisik-bisik doa lirih

hidup itu rangkaian perjalanan kenyataan
dari lintas pikiran hingga terlahir di keseharian
yang terjadi seperti pernah terpikirkan
namun yang terkenang tak semuanya pernah terjadi.

jadi apakah itu firasat?

Temanggung, 28/11/2019
Poetoe

Rabu, 20 November 2019

Sang guru

ia sibuk mencari cara bagaimana paham bersemayam
karena hari-hari runyam
lapar menggigiti lambung kapal siang dan malam
hujan tanpa halang hajar mimpi perlahan tenggelam

tanpa kerja, hanya mengais tangis
anak-anak bermain di tanah lapang sampah
tawa tawa kecewa
harapan tertawan di balik langit kelam
kemiskinan seperti demam
tak tersembuhkan jika hanya diam

ia mulai dengan hamparan tikar dan papan tulis
menggoda anak-anak datang dengan mimpi berlapis
dari kata yang mereka tulis
hingga aksi berbaris-baris

ia hanya ingin kembali membuka layar
bahwa gerbang masa depan masih terbuka lebar
ia menanam benih ide-ide besar
ia menebar titik api semangat, esok kan berkibar kobar.

Magelang, 20/11/2019
Poetoe

(setelah membaca dua buku tentang para relawan pendidikan)

Minggu, 17 November 2019

Du

(1)
seperti berkenalan setelah lama saling mengenal
ketika jendela tersibak dan warta sigap ku tangkap jadi sapa
boleh kuinjak marka?
angin pun tak sediakan jawaban
harapan berlari sembunyikan kata-kata

telah kupintal proposal
terpicu oleh tanda-tanda yang kau lepaskan
dan langit menyimpannya dalam kanvas ingatan
kita sama menatap di tempat yang sama
tapi terjarak
bertukaran bahagia
berbagi kenakalan
mengeja goda pelan-pelan

dan jumpa gagal kita panen
tumbuhan perdu rindu itu terserak
tersapu badai kenyataan
tak harus jumpa memang
mungkin memang tak harus jumpa
irama lagu kita semakin cepat
seperti chorus yang terulang
dan jerit kau meminta melambat

cukup Pu!

(2)
seperti dua larutan kimia yang tak boleh bertemu dalam satu cawan,
akan ada reaksi berbahaya,
meletup, bahkan meledak.
pilih mana?

seperti karna dan arjuna
saudara yang harus berhadapan
pada baratayuda,
pertemuannya adalah api,
percik pedang beradu,
anak panah dan tombak yang tertancap,
darah anyir di tanah lapang.
masihkah ada pilihan?

jika terus begini, apa pantas dilanjutkan?
setiap sapa hanya nyala api yang didihkan air di bejana.

jendela justru dipaksa terbuka
hei...

cukup, Pu!

2019
Poetoe

Perang dingin

selalu ada bayang saat cahaya datang, sisi kelam
ruang tempat diam bersemayam
rehat picing mata dalam temaram
menepi di ceruk hitam

selalu ada dosa menanti di tepi ketaatan
seperti lupa yang menyimpan racunnya
lengah kenangan akan runyam
jejak rindu terhapus sepi yang sendu.

Muntilan, 17/11/2019
Poetoe

Ia membaca sejarahnya

bocah perempuan lari menghindari ayunan cambuk dan ketakutan memeluknya erat
gigil gemeretak gigi, jadi iringan kaki yang terayun kencang
seolah kematian mengejar di belakang
kekerasan serupa santapan
bentakan serupa nyanyian
tapi air mata tak lagi berkunjung karena nestapa telah begitu biasa

apatah cinta, jika atas namanya adalah kengerian?

apatah sayang, jika kepedihan itu datang berulang-ulang?

terbata-bata ia membaca hidup
mengumpulkan makna cinta dan sayang sendirian
serupa mozaik yang satu-satu ia susun,
entah akan selesai sampai senja yang ke berapa
ia hanya menjalani
ia hanya menilai
dengan caranya sendiri.

Temanggung, 12/11/2019
Poetoe

Sepasang kekasih

dua orang kekasih duduk berhadapan di suatu senja, dan matahari merah itu menjilati ubun-ubun mereka.

"Mas, tahu ndak cerita apa yang sedang aku pikirkan untuk aku tulis jadi cerita saat ini?"

lelaki itu mengernyitkan kening, ia menatap sang kekasih dan ia paham pertanyaan itu bermakna perintah "kau harusnya tahu apa yang sedang aku pikirkan"

maka ia terpaksa menjawab "Mungkin tentang seorang gadis yang sedang duduk di bawah senja dan bertanya pada kekasihnya tentang apa yang sedang ia pikirkan untuk ditulis jadi cerita, dan sang kekasih pun bercerita tentang sepasang kekasih di suatu senja yang sedang bercakap cakap saling menebak apa yang mereka pikirkan."

lalu mereka berdua terus bertanya dan bercerita tentang tebak-tebakan isi kepala, dan ternyata antara tahu dan tidak tahu adalah candaan hidup yang memang panggung sandiwara.

mereka suka. menemukan bahan berbincang yang tak habis-habis. bahkan sampai senja sekarat dikerat-kerat malam.

Magelang, 11/11/2019
Poetoe

Mogok berpikir

aku limbung, tiba-tiba isi kepala seperti pergi
kata-kata yang datang tak dapat aku tangkap
bahkan barista bersenyum manis itu tak sanggup aku pahami, hanya wajah manis dan bibir yang bergerak-gerak saja.

mungkin hari terlalu padat dengan pertempuran rasa.
tadi pagi cinta dan rindu saling maki di perempatan
lalu siangnya cemas dan gelisah mengeroyok harga diri di halte saat banyak anak sekolah di sana. malu maluin saja.

hasilnya aku jadi bloon. isi kepalaku raib.
ingatan berlarian.
bahkan ingatan-ingatan receh tentang berapa tarif parkir di depan indomaret atau berapa kali aku usap hidung setiap ada bulu hidungku ada yang rontok.
lupa saja, lenyap saja.

saat tak ada kata yang mampu aku tangkap
saat tak ada ingatan yang mampu aku ingat
aku mogok
sepertu truk pasir di tanjakan dan mati mesin. panik. tapi tak tahu harus bagaimana.

menunggu saja. ketidakmampuan berpikir memang mimpi terburuk.

jika rene dercartes tahu kondisi ku mungkin ia akan berseru "kau tak lagi ada! karena cogito ergo sum"

Magelang, 11/11/2019
Poetoe

Tentang duga

duga itu jelaga
gelapkan hati
gelapkan mata hati dan jiwa

prasangka baik atau buruk sama berbahaya
karena tanpa ilmu tanpa bukti
itu pasti lelahkan hati

akan ringan jika semua apa adanya saja
hanya fakta yang terbaca
jika terlintas di hati, biarkan saja di sana
jangan dikumpulkan jadi asumsi
biarkan melintas saja.

Temanggung, 11/11/2019
Poetoe

Semesta berkata

semesta seperti terus berkata-kata
untuk kita
pesan-pesan dari pencipta
menjadi pengingat atas yang kita lupa
saat kita salah arah semesta bentangkan peta

tapi tak semua kita baca
tanda-tanda itu sebagian hanya jadi bahan canda
isyarat-isyarat itu sebagian hanya dibiarkan berkarat
kesombongan membimbing kita untuk abai
rasa hebat diri membenamkan kita dalam labirin dosa

sampai kapan?

semesta seperti terus berkata-kata
untuk kita
pesan-pesan dari pencipta
menanti kita tersengat ingat
untuk kembali menunduk dalam memeluk nurani erat.

Temanggung, 11/11/2019
Poetoe

Hebat

Kau bilang lelah kupikir kau lemah.
Kau lalu dengan mudah meletakkan semua, baru aku paham kau lebih hebat dariku.
Keengganan menyerah terkadang hanya mempertontonkan kelemahan.
Rela dan ikhlas itu hebat.

Temanggung, 10/11/2019
Poetoe

Menerima kalah

saat aku tak mampu beri harapan maka pantaslah jika ditinggalkan.

jadi jangan merasa layak dikasihani
banyak yang terjadi karena tingkahku juga
tak cepat mengerti itu kesalahan
tak dalam dan bijak memahami itu titik lemah setan datang bertamu.

jika akhirnya kalah, terimalah
tanpa nalar yang kokoh aku memang lemah.

Temanggung, 08/11/2019
Poetoe

kalah

kuda liar yang lepas tali kendali
geraknya tak terbaca
melepas runtuhkan ikatan hati
kemelekatan yang tercabik paksa

kekalahanku pada monster dalam diri
gerbang yang roboh
harga diri yang rapuh
menggelepar di tanah lapang jiwa, tersembelih

tertinggal di ruang sepi
sendiri
sesenggukan menahan tangis
kata-kata tak lagi berdaya
hanya nafas dan aroma darah di padang kurusetra

Temanggung, 08/11/2019
Poetoe

Pantai rindu

jarak seperti lentera menampakan rasa yang selama ini bersembunyi dalam gelapnya norma.

jeda seperti angin menyibak rerimbunan kebiasaan yang buramkan sayang dan rasa saling membutuhkan.

jarak dan jeda yang lahirkan rindu
hingga dendang waktu menjadi nada merdu
iba dan sayang berdeburan karang hati berderak saling adu
berharap temu serupa menunggu terlemparnya dadu

nasib baik adalah sepi yang berhasil kau usir
adalah dingin sapa yang terjebak dalam hangatnya pasir
rumah kerang tangan berpegangan
lumut di karang hati bertautan

Muntilan, 06/11/2019
Poetoe

menua

saat lelah kita butuh istirah
beban kita letakkan; pasrah
mata pejam endapkan percikan pikiran,
serpihan gelisah,
remah-remah resah

waktu memperkuda kita
memaksa kita menarik pedati nasib
berputaran, tawa lalu tangis, senyum lalu sedih, suka lalu luka, pesta lalu nestapa

kulit lembut wangi bayi itu mendewasa, perlahan mengisut, keriput
tulang-tulang merapuh, tubuh membungkuk
benak menjadi bejana ingatan yang berlubang di dasarnya, menetes lah kenangan itu di sepanjang usia
tersisa hanya pesan cinta pada entah siapa.

tersadar
memang tak banyak yang kita miliki
mungkin hanya kata-kata pengakuan yang terselamatkan dalam genggam catatan di akhir setiap nafas yang terhembus

demikianlah cara takdir menyapa
demikianlah cara dunia bercanda.

Muntilan, 5 November 2019
Poetoe

Tragedi rindu

lantai dingin, kamar gelap
rindu tersekap
tersandera oleh waktu
terikat di bangku, disiksa oleh sepi yang kaku

apatah detik serupa keliaran yang tak tergembalakan?
apatah kesempatan hanya isapan omong kosong,
narasi basa basi
manipulasi atas mimpi?

embun sepi, di ujung daun ia menangis
sejuk yang tersimpan
kepedihan yang teriris-iris
terhidang pada nampan kesunyian

bawalah ke sini, apa pun yang sempat terbawa
mari kita baca bersama
mari kita eja
agar kita dan lini masa baik-baik saja.

Muntilan, 02/11/2019
Poetoe

Menunggu hujan di suatu senja

mencari nada senja di tatap mata
pantulan langit dan isi dada
bertemu di gerbang jiwa
jemari mengetuki meja
hati mengutuki rasa
ini tak seharusnya
waktu berkeluh kesah
sunyi yang bersengketa dengan gelisah

wajah marah
wajah yang tak paham mengapa rindu bisa segila ini
kita pikir badai tak secepat ini
layar tak sempat kita lipat
patah lah tiang pancang
jarak menggulung kita terlempar guncang

masih di bawah langit senja
angin beraroma hujan
dan tatap matamu tajam mencabikku
perlahan air mata runtuh bahkan sebelum hujan jatuh.

Temanggung, 29 Oktober 2019
Poetoe

Pualam sepi

terpejam
yang tersisa hanya aku dan waktu
aku dengan detak jantungku
dikurung dalam kotak-kotak: yang lalu, kini dan nanti

bayangan silam berbaris dalam temaram
menjadi satu dalam tumpukan keping-keping ingatan
aku mencari cari yang kuperlu
untuk aku peluk
menemaniku di hari ini

berharap temukanmu saat mula mula kita bertemu
saat menyapa menjadi begitu berharga
hanya curi-curi tatap saja
lalu tertunduk lagi dalam diam yang legam

kita menjadi dua titik yang saling enggan bergerak mendekat,
namun juga tak sanggup untuk menjauh
terjebaklah kita dalam lukisan luka
atas rasa yang tersekap dalam diam lalu mencemar menjadi virus yang menyakiti tubuh

cinta memang layak jadi derita
saat tak mampu kita jadikan cerita
ada di mana kita
mau seperti apa kita

terkadang pilihan bodoh itu yang kita ratapi
menjadi pualam sepi
memaku kaki di tepi
tanpa bertemu saling menggenapi.

Poetoe, 2019

Lima tahun di sini.

menjalani lima tahun di sini,
seperti menghabiskan sekaligus mengisi.

waktu itu sekumpulan detik
serupa daun berguguran satu per satu tanpa sanggup kita memungutinya,
jatuh saja, tanpa sadar menghabisi kesempatan.

terkadang seperti sia-sia,
kopi dan bincang,
musik dan kesepian,
buku dan mimpi.

tapi ternyata tidak, ini tidak sia-sia
karena menghabisi sekaligus mengisi.

dengan kopi dan bincang, lahir sinergi
dengan musik dan kesepian, lahir kehati-hatian
dengan buku dan mimpi, lahir optimisme

sejak mula hadir di sini, memang hanya ingin tetap bahagia
bertahan untuk merdeka dari jeratan kesedihan
bebas dari jeruji kebencian

Mampang
I love you all.

Sajak tentang ulang tahun

hidup ditarik pedati usia, terseret ke tanah-tanah sepi, jalanan yang tak kita kenal
ada kebimbangan, ada kegamangan
banyak yang tak termengerti
peta ini tak semua terbaca dengan benar
selalu ada kejutan, selalu ada yang baru

usia terus saja bertambah
warna-warna membercak di lini masa
cinta diam-diam
rindu mempesona bertaburan pesan-pesan yang tak terbaca

kita menua bersama
langkah kaki yang tersaruk-saruk
langkah hati yang memeluk peluk
jam dinding dingin menyimpan ingin
hanya getar bibir meminta
harap yang senyap
harap yang merayap rayap
hanya harap
tak berani menyata

kita menua juga akhirnya
walau darah muda kita tumpahkan
walau hasrat belia dahsyat meledak-ledak
kolam bergemericak
menyimpan kengerian
bersiap menenggelamkan
bersiap menggugurkan

yang tersisa hanya tanah basah
jalanan kota tua
arloji yang tak kalah tua
juga sepeda
menemani di temaram senja yang sama sejak muda dulu.

Pancoran Tugu, 11/10/2019
Poetoe

Kalahnya nalar

apakah kita hanya bidak catur yang menunggu digerakkan takdir?

apakah kita hanya nampan rasa yang menanti cinta datang dan merasuki hati?

membiarkan batara kamajaya kuasai jiwa, memenuhi isi kepala dengan ketidakmasukakalan yang nyaman mengendap di kedalaman kenangan.

pada akhirnya nalar yang kalah, terkapar di sudut kamar,
emosi mengusir narasi,
rasa menjajah makna kata.

Kemanggisan, 01/10/2019
Poetoe

Rabu, 25 September 2019

seperti bersama

dan pertemuan di depan stasiun suatu senja, tanpa jabat tangan, hanya senyuman, lalu berjalan beriringan.
kita semakin biasa seperti bersama.
kita semakin biasa bersama kata "seperti".
apakah kita pura-pura?
atau bahkan dusta?
tidak. mungkin bukan keduanya.
hanya tak selesaikan utuh kalimat kenyataannya, membiarkan menggantung, membiarkan orang-orang bebas dalam sangkaannya.
jika salah duga, ya maaf.

kita hanya butir-butir kelereng yang terserak,
berlarian tak tentu arah
bertabrakan lalu saling mengubah arah,
pada benturan berikutnya kita lalu beriringan, masih menggelinding namun saling mendekap bertukar hangat
menunggu waktu yang kan hentikan

senja jadi malam
manja berharap genggam
di sepi ruang sidang, pertemuan dan sapa tanpa curiga mengungkapkan semua
negeri ini butuh kita yang tak jengah dengan kata-kata terbuka
basa basi itu jelaga demokrasi
metafora kita jadi sudut gelap sebunyikan kebenaran.

maka bergenggamanlah,
sembunyikan hangat dari angin malam,
cinta pun kita seduh kembali dalam sajian tatap yang pekat,
walau ada sisa rayu yang tersesak
tak semua sanggup terungkap
ternyata kita masih tak mampu berprosa apa adanya, masih memuisi dalam kias-kias yang temaram.

Bekasi, 24092019
Poetoe

Menikmati berita dengan kaca mata cinta

waktu terhidang di sajian pagi, berdua kita berhadapan
sambil bertatapan kita nikmati semangkuk waktu itu perlahan
berteman secangkir hasrat yang hangat
tangan kita bergenggaman, dengan kaca mata cinta menikmati berita pagi
betapa nyawa seperti kawanan anak itik di tepi telaga maut
sangat dekat, sekali langkah lalu lompat.
sudah.

perlawanan hanya basa basi mimpi yang berambisi tampil di panggung kenyataan
bergantian
bentak membentak
teriak meneriaki
elok tubuh kebodohan yang tanggalkan baju kepura-puraan
satu-satu
bugil tanpa tabir
jujur yang terlambat hadir adalah aib kedunguan yang berdendang sumbang

maka sudahilah,
lelah jiwa rindu pelukan
letih hati harap kecupan
berkelindan kita dalam pagi yang beranjak siang.

Halte pancoran tugu, 25092019
Poetoe

Pembunuhan rindu

bagaimana kau bunuh kerinduanmu?
apakah dengan mengabaikan suara-suara dalam detak jantungmu, yang terulang ulang itu?
ataukah dengan memenuhi liang ingatan dengan kata-kata bising, hingga tak lagi ada ruang untuk nama yang menanam janin rindu itu dapat tinggal lebih lama dalam jiwa.

entahlah, bagaimana kau bunuh kerinduanmu itu.

aku mungkin tak kan mampu ikuti jejakmu, karena membunuh rindu itu serupa membunuh sisi nyawaku yang lain.
aku akan menjadi makhluk sebelah
dengan sisa rasa yang terseret di lini masa
perih yang sayat menyayat
pedih yang ratap meratap

rindu pun aku kuliti lalu aku lipat di sela sela saku.
ia tak mati,
hanya megap megap saja.

Tebet, 25/09/2019
Poetoe

bekal benar yang nanar

hiruk pikuk dan gaduh iringi langkah kami penuhi jalanan
pekikan dan teriakan menjadi nyanyian jalanan
dan sekantung kebenaran aku ikat di dalam tas jiwa.

berbaris
bergandengan tangan
berderap langkah
menutup jalanan, bahkan jalan tol tak lagi bisa dilalui

kebenaran dalam tas berdenyutan
seperti berharap aku lepaskan
tapi siraman water canon, gas air mata memburamkannya
kata-kata menyembur tak terkendali
semakin jauh jarak memisah, makna tersengal kehabisan napas.

berbaris
bergandengan tangan
berderap langkah
bahkan saat mobil dinas plat merah lewat, kemarahan tanpa arah pun menyala
batu
tongkat kayu terayun
kaca pecah berhamburan
darah pengemudi tanpa dosa
tak jelas lagi
tentang apa ini

kebenaran dalam tas pun bergetar
sesenggukan ia menangis
semua jadi sumbang
berbiaklah bimbang
masih dalam barisan, aku bernyanyi dalam isak
air mata seperti tanpa cinta
kesepian yang sempurna.

Bekasi, 25092019
Poetoe

Senin, 23 September 2019

Pak Anto.....

adalah muara tempat bertemunya kenyamanan
sandaran hati sebagai sahabat
perisai karier atas tugas
menyatu dalam mata air nasehat sebagai orang tua di belik jiwa

adalah pengingat betapa pentingnya berencana
karena gagalnya berencana adalah berencana untuk gagal
semua hal seperti pernah dipikirkan
terjawablah ketenangan itu lahir dari pengetahuan yang penuh dan utuh atas risiko

adalah mesin produksi atas canda verbal
bermain dengan kata kata dan makna
hingga tanpa sengaja acara ngopi bersama kita
menjadi serupa pelatihan tes potensi akademik

adalah pilar keluarga di ruangan seksi kita
bekerja sama sebagai keluarga
saling menyapa sebagai saudara
saling berbagi segenap hati.

terima kasih pak Anto.

F4ntastik Ningrat
Seksi Waskon IV
KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan
23092019

Senin, 02 September 2019

Hai

siapa yang sanggup putuskan untuk jatuh cinta?
atau untuk tidak jatuh cinta?

bertahan dalam pijakan nalar, dengan mengulang-ulang terma logika berharap tetap tak terjatuh dalam kubangan rasa, tapi apa daya

pesona itu seperti pasukan yang mengurungku, dalam indahnya senyum, gemulainya gerak tubuh, lembutnya kata, tajamnya tatap mata, lengkap.

aku terdesak.

siapa yang sanggup putuskan untuk jatuh cinta?
atau untuk tidak jatuh cinta?

senja kucoba akhiri dengan satu putusan
menghampirinya,
nafasnya terdengar seirama dengan detak jantungku, perlahan berkejaran, detakku bertambah cepat, sementara nafasnya melambat.
senyum.

Ugh.

semua kata minggat
tercekat

"Hai"

Bekasi Timur, 02092109
Poetoe

Sesat sasar di rimba kata

kawan, kau tersesat
ini rimba kata memang berbelukar metafora
aku tahu kau kehilangan arah
makna yang kau cari lenyap di rerimbunan semak tanda baca.

kawan, kau tersesat
karena cara memandang objekmu keliru
yang kecil mestinya kau teliti, justru kau baca sambil lalu
yang besar mestinya kau mundur untuk utuh menyentuh, justru kau dekati hingga hilang makna umumnya.

kawan, kau tersesat
kehilangan fokusmu karena kebisingan yang kau ciptakan sendiri
kau terlalu pintar ciptakan masalah-masalah baru dari satu masalah yang sejak lama tak juga kau selesaikan.

kawan, kau tersesat namun seperti tak sadar dalam sasarmu
jadi mesti bagaimana aku selamatkanmu?

Jatibening, 02092019
Poetoe

Nyanyi muram lelaki bersayap

mungkin kau bosan saat berulang aku bilang aku sayang
padahal memang benar dan benderang
tanpa basa basi

mungkin kau enggan saat aku ajak kau terbang di langit senja
padahal sungguh aku butuh
karena di bumi kita tak bisa saling rasai

mungkin kau muak saat aku katakan cinta
padahal benar, aku tempayan yang tumpah penuh olehmu
bertahan tak mengatakannya hanya bunuh diri karena bisa meledak aku olehmu

mungkin kau memang tak sudi sekedar berbagi senyum
mungkin memang ketaklayakanku untukmu demikian mutlak
tak terbantahkan

mungkin.

(Lelaki bersayap itu duduk muram di atas atap halte Pancoran Tugu, di samping kantorku)

02092019
Poetoe

Pertarungan kata

Kita butuh terpejam sesaat, setelah kata-kata berhamburan dalam bincang sore itu.
Teringat dulu saat Rasul dibebani pesan wahyu, dan titipan kata-kata yang berat itu, maka Tuhan perintahkan tugas tambahan untuk terbangun tengah malam, sujud dan berdoa.
Pertarungan butuh bekal dan amunisi, juga dalam pertarungan kata-kata, butuh endapan pikiran yang bernas dan jernih hati. Pejam dan rapal dzikir adalah energi.

Kita butuh sandaran jiwa, dalam lepas tengah malam, agar sempat istirahkan hati, walau sekejap.
Diam itu ada terang benderang pelita, seperti momentum emas saat mozaik teka teki hidup itu tiba-tiba tersusun. Klik. Semua menjadi mudah.

Sakinah jiwa, muthmainnah hati, bashirah pikiran. Paripurnalah kontemplasi dan meditasi ini.

Aamiin.

Bis transjakarta, 02092019
Poetoe

Minggu, 01 September 2019

Bang Jampang

ia pengembara di lini masa peran dan fungsi
berkibaran awan mengiringi
jabatan demi jabatan datang dan pergi
hanya sisa tanya di akhirnya, jejak apa terukirkan?

ia memulai semua dari kata nyaman
kantor adalah rumahmu jua
jika teras rumahmu nyaman untuk nikmati kopimu, maka kantor pun mestinya begitu
jika meja makan di rumahmu tempat asyikmu berbincang maka demikian pula kantormu

maka pepohonan dirapikan, kantin gelap disulap jadi kafe, masjid meluas, gudang kosong menjadi ruang-ruang bincang yang tenang

dalam nyaman otak dibiarkan berkreasi diam-diam

ia dan penugasan serupa joki dengan sang kuda
seliar apapun kan coba ia taklukan
tak mudah untuk katakan tak bisa, karena penyangkalan tugas hanya menutup pintu kemungkinan menuju sukses
katakan iya saja, lalu memeras tenaga untuk meraihnya

kita punya otak kenapa tak dioptimalkan?

lalu berlarianlah kuda berpacu
debu beterbangan
melecut dalam ringkik
kendali erat tergenggam
hanya titik yang dituju yang terlihat
hanya titik yang dituju yang terlihat

lalu memerciklah residu juang itu
menjadi kembang api dalam seduh kopi, nyanyian bersama, sajian berbuka di setiap pekan, berbagi ke sekitar tanpa henti, terus bergerak, terus bergerak

ini hanya aksi dari reaksi atas kenikmatan yang telah terlimpah
ini hanya bukti pengabdian
hanya tak ingin menyerah
hanya tak ingin berhenti
karena berhenti bisa membuat kita mati.

KPP Pratama Mampang Prapatan, 02/09/2019
Poetoe

tangis pagi

terjaga pada isak pagi dan sisa lelah yang tak sempat terbasuh
dihidangkan secangkir kopi dan berita dalam nampan basa basi,
tapi apa cukup?
kesepian terlalu pekat
serpih-serpih kebencian
remah-remah gelisah

bahkan percakapan pun tak mampu genapi rasa ini
hanya menjadi dengung kumbang di pangkal benak
berloncatan saling tabrak

2019
Poetoe

Mencari jejak kenangan

mencarimu di jejak jejak lama
di atas tanah basah, rerumputan juga putung rokok
pada akhirnya semua kan menyampah
ada, terpakai, lalu jadi sisa

bahkan cinta??

mungkin pula atas segala rasa
dari percik api kecil
menjadi gelora api penuh percaya diri
lalu kembali tunduk tahu diri
hanya pejam tatap bara perlahan padam dalam senyap

2019
Poetoe

Rabu, 21 Agustus 2019

Pencarian

Hidup adalah pencarian yang tak henti-henti
Sejak mulai terjaga, lalu beranjak ke gunung-gunung batu
Gurun dan angin kering
Pasar dan hiruk pikuk dunia
Adalah mencari-cari
Adalah tanya-tanya
Adalah termenung dan picingkan mata hati

Hidup adalah pencarian yang seolah tak berujung
Sejak fajar terbit, dan lalu lintas bernyanyian
Waktu berdetak cepat, roda angkutan umum berderu merdu
Orang-orang lalu lalang
Tawar menawar dan jajakan nurani
Hampir-hampir semua mati
Sekaratnya keyakinan

Bukankah kita para pejalan malam yang sibuk mengembara mencari isi atas kekosongan hati?
Bukankah kita para pemimpi yang giat mengisi cerita dalam isi kepala sendiri, seolah nyata, seolah nyata?
Bukankah kita adalah barisan kesepian yang sepakat gaduh untuk mengisi sisa sisa napas kita sendiri?
Bukankah kita bangsa pejalan kaki yang tak pernah mengerti di langkah mana hidup ini akan berakhir?

Dan pada akhirnya kita akan tersadar, semua bermula dari sepi kan kembali sepi
Ruas garis panjang, dengan mula gelapnya rahim ibu, dan berakhir di gelapnya liang pemakaman
Akankah kita tersadar saat semua telah terlambat?


Bekasi, 23/08/2019
Poetoe

Senin, 19 Agustus 2019

Hari Lahirnya buku "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka"


Kita hidup di ruang yang gempita. Gaduh dan penuh raung informasi. Bertebaran data bahkan tak semua dapat kita tangkap. Percakapan ada di mana-mana dan kapan saja. Seorang yang duduk di warung kopi dan berbincang dengan teman-temannya bisa saja ia saat itu juga sedang berbincang dengan teman-teman lain di jejaring sosialnya. Percakapan nyata lalu maya, maya kembali ke nyata, bahkan sesekali bercakap dalam waktu yang sama. Hanya mata yang berperan ganda, sesekali menatap lawan bicara detik yang lain ia membaca percakapan di layar gawainya. Demikianlah kita di hari-hari belakangan ini.

Dalam riuhnya percakapan, potensi perseteruan itu tentu sangat tinggi. Karena beda itu keniscayaan. Konflik dalam bincang adalah wajar, selama tidak memicu perselisihan yang telah berbumbu kebencian dan ekspresi perlawanan baik dengan fisik ataupun hanya kata-kata. Semestinya hal ini tidak terjadi.

Untuk menghindari perselisihan yang tidak perlu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah kita “membawa gelas yang tak penuh” sehingga bersiap untuk menerima beda pandangan dari lawan berbincang kita, dengan istilah lain jadilah “kurva yang saling terbuka”. Terkadang ada ketakutan “membuka” diri, karena khawatir kebenaran yang telah diyakini akan terganggu. Namun hal ini sebenarnya tak perlu. Karena perbincangan yang sehat, adalah pintu ilmu dan pengetahuan. Mestinya dalam bincang kebenaran yang kita yakini akan terus teruji dan justru semakin menggumpalkan keyakinannya.

Seperti yang dicanangkan pemerintah di tahun ini, SDM unggul Indonesia Maju, maka tema unggulnya SDM ini layak sering kita perbincangkan. Bicara tentang potensi manusia maka kita tepat jika lalu berbincang tentang “cara berpikir”. Pembelajar sejati lahir dari tradisi belajar yang sehat, tradisi belajar yang sehat lahir dari tradisi perbincangan informal di warung-warung kopi yang terbuka, demokratis dan egaliter. Seperti membangun himpunan dari banyak kurva-kurva yang sama terbuka. Pikiran-pikiran sehat dan segar akan saling berkelindan, menciptakan pemahaman yang hangat dan harmonis. Mereka hidup sakinah di rumah pikiran bangsa kita.

Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2019, satu hari setelah perayaan HUT RI yang ke 74 secara resmi buku kumpulan puisiku dengan judul "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka" terlahir di muka bumi. Ini adalah buku perdanaku, walau terlambat 4 tahun dari waktu yang pernah aku citakan, bahwa pada usia yang ke 40 tahun aku bisa terbitkan satu buku. Dan saat mulai diterbitkannya buku ini, usiaku sudah hampir 44 tahun. Buku ini mewakili ide-ide keterbukaan dalam pemikiran yang menjadi bekal dalam menjalani proses belajar yang panjang, bahkan dalam bincang-bincang di warung-warung kopi. Semoga bermanfaat.

bercakap itu seperti bersantap
pemenuhan atas nutrisi hati juga nutrisi diri
karena kita tak bisa sendiri
jika pun sendiri, kita tetap butuh bercakap
meski bercakap pada diri

percakapan intim tentang apa pun
tentang ketakutan yang tak terdefinisi
tentang nada jiwa yang terlewat
hingga biramanya tersendat

interlude yang belum waktunya
atau kau ingin bercakap dengan kalimat bersayap
sehingga makna kita biarkan muram di sudut buram
dan kita tenggelam dalam metafora

antara kita hanya persepsi yang mungkin tak sama kita mengerti
duduk saja kita berdua dalam remang yang tak berkesudahan
jika letih, tatap saja mataku
jendela jiwa ini tak pernah berdusta
meleburlah kita sebagai kurva yang saling terbuka.

Poetoe, 2019

Selasa, 13 Agustus 2019

Subtance over form


Salah satu kendala dalam belajar adalah kesalahan dalam men-stabilo materi ajar kita. Kesalahan menggarisbawahi uraian atas masalah yang kita pelajari. Mungkin ini serupa kesalahan saat kita zoom in satu objek, yang membuat kita salah fokus, berujung pada kesalahan dalam mendefinisikannya.  Hasilnya kita tidak bisa menemukan solusi yang tepat atas masalah tersebut, atau bahkan bisa menjadi pemicu dari tindakan yang keliru, sehingga bukannya terselesaikannya masalah tapi justru menambah masalah baru.

Seperti pada satu kejadian, saat mantan kader partai dakwah mengadakan kegiatan di wilayah dakwah tempat dulu ia pernah ditugaskan di sana saat masih aktif sebagai kader partai, ia ditegur oleh struktur partai dakwah di wilayah tersebut, karena dianggap mengambil wilayah garapan mereka. Struktur tidak mau objek dakwah di wilayah tersebut dibawa ke ormas tempat baru mantan kader ini. Hal ini menjadi menarik jika kita mengingat kaidah dalam materi tarbiyah kita: “ad-dakwatu qobla kulli syai” bahwa dakwah itu menjadi prioritas kita. Teguran struktur pada kasus di atas menjadi ambigu, sebenarnya partai ini pendukung dakwah atau justru menjadi penghalang dakwah?

Ada satu kaidah dalam ilmu akuntansi “ Subtance over form ”, bahwa lebih mengedepankan subtansi masalahnya dari pada kemasan formalnya. Dalam materi tarbiyah, dakwah adalah tujuan utama, dalam perjalanannya dibutuhkan banyak sarana dan cara, salah satunya adalah partai politik. Subtansinya adalah dakwah, politik adalah kemasannya. 

Sepertinya kesalahan berpikir inilah yang sedang terjadi. Fokus dan mengedepankan cara sampai melupakan substansi tujuan yang terabaikan. Kasus di atas hanyalah salah satunya. Kita bisa melihat kasus lain dengan kaca mata ini. Seperti bagaimana kader partai dengan banyak gebrakan dalam dakwah siyasiyah (dakwah politik) harus dikeluarkan dari keanggotaan partai hanya karena masalah-masalah teknis. Contoh lain yang lebih terasa adalah pemberhentian kader dakwah dari institusi dakwah pesantren hanya karena ia keluar dari keanggotaan partai, bahkan ada imam masjid yang diganti oleh pihak DKM dengan alasan bergabungnya dengan ormas yang dianggap berselisih dengan institusi partai dakwah.

Ketaatan tiba-tiba saja menjadi monster. Kader dibiarkan berlama-lama dalam kepura-puraan bodoh sebagai wujud ketaatan terhadap struktur partai. Kepura-puraan bodoh yang dimaksud adalah: membiarkan banyak pertanyaan tak terjawab, karena mengejar jawaban adalah perlawanan atas ketaatan. Sistem yang otoriter, kental kedzaliman. Jika ini adalah sistem dalam mesin dakwah bernama partai dakwah maka sudah terbayang out put yang akan dihasilkan dari mesin serupa ini. Adalah kader-kader dakwah yang penuh ketaatan, miskin narasi, tunduk dan patuh, berpotensi tersesat secara berjamaah. Dan inilah yang terjadi. 

Tiba-tiba saja, fakta-fakta janggal tentang :
1.       dakwah yang dinomorduakan setelah politik,
2.       kedzoliman terhadap kader yang terang-terangan,
3.       pemanfaatan ketaatan kader untuk kesuksesan sebagian kecil petinggi itu
terasa wajar di kalangan kader partai dakwah.

Ada yang salah. Itu sangat nyata. Tapi masih banyak yang tak merasakan. Betapa hebat mesin pencetak robot prajurit ini bekerja.

Wallahu a’lam.

Jumat, 26 Juli 2019

Balada siang

kau tahu bagaimana siang ini bercerita tentang kita
tentang kesepian yang mencari cari peran
tentang kesetiaan yang mengembangkan maknanya
juga tentang rindu yang tak pantas

masihkah kau ingat bagaimana pembatas jalan itu menjadi saksi
menunggu kita seolah jaring nelayan menanti hati ini tertangkap
sedang rahasia ini kapan pula kan tersingkap
wajah kita serupa buku-buku yang mengharap terbaca

bagaimana bisa disudahi
jika tanda birama atas masa tak lagi berbatas
hanya lupa
hanya pedih yang menyerpih

kita hanya barisan kesedihan
menggelar pawai
di jalan-jalan kesendirian
arwah-arwah pun beterbangan

Kemang, 25/07/2019
Poetoe

Rabu, 24 Juli 2019

Malam purnama

seperti malam saat purnama nyaris kehilangan cahaya
dan serigala jalang bernyanyi di atas jalan layang
berkejaran hasrat dalam putaran roda mobil
waktu beku seperti pembaca puisi yang kaku

di parkiran stasiun itu binar-binar mata menjadi kunang-kunang
bahagia itu warna yang tak mudah kau sembunyikan
lalu menjadi kupu-kupu warna biru
menyesap madu di bangunan kota tua, kering.

bersenandung di remang-remang
membangun kepalsuan berbekal kerinduan
cinta yang tersekap dalam dekap senyap
hanya membara di ruang-ruang diam

aku dan kau di bawah purnama
menemani kesepian yang terkepung riuh
mencandai dusta yang membiasa
mentertawakan keinginan yang berguguran tersapu kenyataan

aku dan kau meraung gaungkan bimbang
menatap langit pucat
dan angin kencang menyayat
melukai harga diri menciderai pilar hati.

Pancoran, 22/07/2019
Poetoe

Penandak memberi tanda

bergerak dalam irama
liuk liuk daun tertiup angin
melempar ujung mata seolah ujung cemeti
mengisi setiap birama dengan energi sepenuh hati

menangisku dalam rima
kesedihanku lebur dalam nada
langkah kaki hentak hentak bumi
gundah hati pun menepi

cerita yang usang
cinta yang purna
hanya sisa sisa
bagaimana bisa bertahan

menarilah dalam taburan detik yang berguguran
waktu tak terhenti, mengalir deras masa
bekas yang tersisa hanya genang kenangan
jejak yang tertinggal hanya air mata


Bekasi, 20/07/2019
Poetoe

Simponi pejalan malam

para pejalan malam bergegas ke atas bukit
bersenandung bait bait mimpi
berbekal sekantung doa dan air mata
mana makna mana makna

para pejalan malam menebar kata kata di sepanjang lini usia
seperti benih tersemaikan
menjadi lintas pikir ide dan gagas
menggumpal jadi niat lalu tekad

para pejalan malam merapal mantra cinta
lalu wajah wajah dan lambaian tangan mengiringi
walau ada aral iri juga dengki
pula jebakan angkuh dan kesombongan

para pejalan malam berhenti di puncak bukit
menatap rembulan yang pucat
membiarkan bulir bulir keringat yang menetes
tak semua sanggup kita ingat
tak semua mampu kita pahat jadi kenangan

berguguranlah di tanah basah
senyum hangat dan lekat tatap
genggam juga rengkuh
luruh saja di tanah basah bersemak perdu.

tapi yakinlah itu tak sia sia

Bekasi, 20/07/2019
Poetoe

tertambat padamu

detik melambat
suara suara senyap
tombol pause dan mute
ditekan sekaligus

alis mata
senyum manis
pijar menyala
indah bermekaran

tertambat
tak lagi ada hebat
semua lenyap
genangan pesonamu merekat ikat

Juli 2019
Poetoe

Panggung terbuka

lampu terang melumat wajah kita
benderang; bahkan nyaris bayangan tak punya ruang
tanpa pura-pura
tanpa basa basi
jalang saja
apa adanya

kata kata kasar melukaimu melukai kita
merobek sibak tabir
kebenaran dilahirkan
kebenaran terbit
nyanyian kejujuran
tarian ketulusan mengiringinya

nada nada sederhana jelas detak iramanya
tanpa crescendo yang berlebihan
bosan kita oleh genitnya kerumitan
mual kita oleh centilnya lawakan nalar

berdirilah kita
para kroco yang tabuhkan lagu lagu merdeka
di tengah panggung terbuka
dan langit menganga
dunia pun tertawa

Bekasi, 05/07/2019
Poetoe

Selasa, 02 Juli 2019

tiba tiba

tiba tiba aku ingin melihatmu, seperti ujung daun yang menunduk oleh beban embun dan kembali bergoyang ke arah cahaya mentari
seperti dulu, aku masih tak sanggup buktikan
terlalu banyak kata-kata yang haus ditebus oleh kenyataan
terlalu lama waktu memenjara kita

tiba tiba aku rindu, terseduh dalam cangkir teh hangat pagi itu
dan waktu bisu
dan aku malu
seperti angin yang bertiup lalu

tiba tiba aku ingin bertemu, seperti ada bisikan bahwa kau harus aku sapa
seperti curiga
bahwa dunia akan mencideraimu lagi
bahwa warta akan mendustaimu lagi

tiba tiba aku sepi
sangat sepi

Tugu Pancoran, 03/07/2019
Poetoe

Minggu, 30 Juni 2019

Puisi-puisi Poetoe bulan Juni 2019



1.
Belle
(terinspirasi cerita Beauty And The Beast)

ketika kota hanya baris kata-kata
kaya, terang, sukses, gemerlap, dan uang
maka miskin, gelap, gagal, dan cinta kehilangan makna
meringkuklah pada ceruk buku

menjadi aneh adalah penyelamatan
membebas atas jerat nilai
menghindar dari jebak citra
membiasakanlah pada ketidakbiasaan mereka

dan monster itu pun dapat kau tekuk
kelembutan penuh lekuk tanpa sudut
jauh dari bentur
ia pun tersungkur

merdekalah dari tipu rupa
tarian tarian bahagia
suasana ada dalam genggam hati
cara pandang ada dalam kuasa diri

buktikan saja

Bekasi, 22/06/2019
Poetoe



 2.
dasar ajar

nampan hati terisi watak dasar
namun jiwa butuh ajar
ada ikatan
ada gelora bebas merdeka

hidup hanya lepas tangkap
burung-burung nasib beterbangan
ikan-ikan takdir berlompatan di lautan waktu
mana sangkarmu mana jaringmu

lalu tawa dan senyum bangga
juga rawa dan rimbun nestapa
masa tua siapa sangka
bahagia bisa pula tersungkur kubangan duka

dalam jiwa memang tertanam
ilham taat juga ronta ingkar
hanya yang sucikan
ia yang termenangkan

Bekasi, 22/06/2019
Poetoe


3.
Jalan di sisi

alam terbentang manjakan mata
keindahan di jauh ke depan
kenyamanan berencana

namun langkah hanya setapak
jika tak tundukkan hati
lubang sesal menanti

benarlah, bahwa rusaknya karena lupa ukuran
sekedar jalani
itu tenangkan hati

hidup itu juang juga rintang
juang meraih mimpi
rintang adalah batas diri

mari sini
genggam hati ini
aku hanya butuh kau jalan di sisi

Bekasi, 22/06/2019
Poetoe


4.
Vin

ia di kereta
di telan senja
aku eja makna
baris-baris kata

jarak jadi nada
berdendangan pada birama
hanya ingin membersama
lalui gawai semoga tak sia sia

ia di kereta
hinggap di tengah malam
kubayangkan di stasiun
berjalan penuh harap

masa depan ia seret
menyeberang rel
mimpi berterbangan di sisi sisi
doa doa berkibaran

21/06/2019
Poetoe

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...