Aku harus menemukan jawaban sebelum pukul 18.00 sore ini. Jika tidak maka aku resmi menjadi manusia naif. Ini tak mudah. Aku harus berpikir keras.
Mungkin aku perlu sesaat terpejam. Biarkan gelap menguasai retina mata. Lalu aku biarkan suara-suara di sekitarku berhamburan lalu bergerak menyatu. Serupa mozaik yang perlahan tersusun. Iya. Aku mulai menemukan jawaban.
Adalah semenjana, sikap yang sering aku jadikan judul puisi. Sikap pertengahan. Terlahir oleh dua tarikan yang terlihat kontradiktif. Kesalahan itu harus diperbaiki. Bukan sekedar disesali. Memperbaiki itu membangun bukan memporakporandakan. Jika ingin mengubah dengan melanjutkan dengan bangunan baru, tentu butuh kesantunan. Terkesan gamang mungkin, tapi tidak. Ini tentang kehati-hatian. Tak ada yang tak bisa kita petakan. Bahkan rasa.
Peta rasa itu kita gubah. Lalu rencana perjalanan kita susun. Ada penyesalan, ada kesadaran, ada gulita kecewa ada pula kepedihan. Namun semua tentu kita racik dengan komposisi terbaik.
Semenjana itu mungkin kearifan juga. Namun tentu aku berharap kearifan itu tidak serta merta membuat aku pantas disebut naif.
Entahlah.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Senin, 27 Juli 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar