Kamis, 31 Maret 2016

sajak matahari

matahari
cahaya yang berbicara
penuhi retina
aku kecap setiap detailnya

matahari
menemani bilik jiwa
yang kehausan
rindu pada sapa Tuhan
lewat bisik lirih nurani
rebus aku
hingga tanggal setiap jengkal nakal
luruh tunduk saja
tak bersisa

matahari
terbang menujumu moksa.

pancoran, 31/03/2016
poetoe 

takut dan sabar

mungkin demikian:

bahwa ketakutan itu karena ketidaktahuan, sementara sabar itu karena pengetahuan.

seperti takut oleh gelap adalah karena tak terlihat sekitar, karena tak tahu apa yang akan terjadi.

sedang sabar terbangun karena pengetahuan kita akan kondisi jauh ke depan, sehingga lebih mudah saat jalani kesulitan hari ini.

....

Kopi Sepi

dan seperti biasa, saat malam mengunyah sebagian kegaduhan itu,
tersisa aku yang duduk memandang dinding. saja.
juga secangkir kopi yang hampir 4 jam lalu terbiar saja di atas meja.
mana mahkota kebanggaan itu, saat pujian itu mulai ternikmati,  ini berbahaya
sanjungan itu mematikan
bahagia atasnya adalah bibit pongah
mana air? aku butuh guyur seluruh kepalaku
agar padam.
agar padam bara di dada.

aku tenggak juga akhirnya, walau rasa kopi itu mulai beraroma asam
mungkin saja ada jilatan cicak saat terbiar tadi
masih sambil menatap dinding
seperti mau menyesali seluruh yang mengendap di genangan kenangan
tapi malu
mana sanggup air mata ini bersihkan jelaga sesal ini?
pasti bekasnya pekat dan legam.
aku berdosa dengan dahsyat dan berulang ulang, pastilah demikian dalam warna jelaga itu terukir dalam bingkai jiwa.

dan malam, saat jarum dalam jam dinding hitam itu perlahan menegak lurus,
aku bisu dalam sedu
aku ngilu dalam isak
walau tanpa air mata, tanpa air mata
karena lelaki mestilah cukup aku bungkam semua dalam kerut di dahi saja.
di dahi saja.

tengah malam, bekasi, 30/03/2016 pukul 00.09
poetoe. 

Dunia: panggung lawakan

dunia memang panggung lawakan terbesar
penghuninya bercanda dengan dahsyatnya
ada yang sibuk membangun citra untuk lalu terluka saat iya dilecehkan... lucu
jika tak ia bangun citra itu tentu tak perlu ia takut dilecehkan
ada yang sibuk banting tulang dan harga diri demi harta
untuk lalu terluka saat harta raib dari genggaman...
jika tak ia miliki tentu tak perlu takut terluka...

lucu.

seperti bocah yang mendekati nyala api lalu saat menyentuhnya ia menangis kesakitan.... lucu.

dulu kupikir orang yang senyum-senyum sendiri itu gila, padahal mungkin ia yang waras, lalu sibuk  menahan tawa saat melihat kita melawak di sepanjang hari.
kita konyol dan pandir.
pandai membuat menjadi seakan penting hal hal yang sejatinya tak penting
kita berpura-pura sibuk bekerja, padahal sejatinya sedang mengumpulkan luka saja....

haha...
lucu.

kantin lala, 29/03/2016
poetoe

Senin, 28 Maret 2016

Gimbal, RIP


Senja, aku mau cerita tentang kepedihan
karena ada berita kematian yang baru kudengar
kematian seseorang yang entah siapa
tubuh kurusnya sempat aku sapa kemarin lusa
terbaring saja di samping jembatan

Kepedihannya masih tersisa
seperti paruh burung waktu yang mematuki tengkorak ingatan
betapa sepi jiwa tanpa nalar sehat?
tubuh renta dengan rambut gimbal yang akrab duduk duduk saja di sana
tatapan matanya masih saja malu, bahkan saat terakhir aku sapa....
berusaha tak hendak berserobok
jika benar itu malu, aku jadi rasakan pedih itu semakin melebar

Senja, aku ngilu oleh senandung itu
senandung kehilangan yang berpeti peti
saat tak ada lagi yang dipertaruhkan karena hilang itu demikian sempurna
seolah tak lagi ada lalu tak ada lagi nanti
dan matahari senja memberi makna pada rasa
dan gulita lah
.... sesiapa kita bisa saja. bisa saja.

bekasi,  28/03/2016
poetoe. 

isti'daadu

Tiga hari ini buruk kualitas rehat malamku. Banyak yang terpikir saat jelang tidur, hasilnya tak jadi terlelap.

Salah satunya adalah tentang kualitas hati, belakangan ini nilainya jatuh. Indikasinya berat untuk ibadah, ringan untuk maksiyat.

Padahal Ramadhan semakin dekat. Jika tak beranjak, bisa kehilangan momentum bulan bonus.

Salah satu caranya mungkin harus lebih jeli membaca potensi kesibukan pada kebaikan. Katanya itu akan menutup peluang untuk bermaksiyat. Seperti saat membawa lentera,  kegelapan otomatis akan sirna.

Kebaikan dalam bentuk apa pun. Seperti senyum dan keriangan pagi, bantuan kepada orang lain sekecil apa pun, kerelaan untuk memaafkan kesalahan orang lain, tentu juga kebaikan berupa ibadah rutin kepada-Nya.

Dan kenyataannya, setiap kebaikan itu meringankan, melegakan. Dan sebaliknya yang memberatkan hidup kita adalah sikap negatif kita.

Seperti saat kita komplain atas sesuatu, jika kita sampaikan datar saja tanpa rasa sakit hati, hasilnya akan nyaman untuk keduanya. Berbeda saat komplain itu dibarengi dengan suasana hati yang terluka, ini potensi konflik.

Tapi bagaimana hindari sakit hati ini? bukankah manusiawi?

Memang sudah fithrah kita untuk dapat terluka, namun sebenarnya dapat kita hindari. Salah satu caranya, dengan identifikasi sebab sakitnya.

Bisa jadi sakit itu karena kita menilai diri kita lebih tinggi, sehingga tak pantas diperlakukan seperti yang kita terima saat ini. Betulkah kita tak pantas diperlakukan seperti itu?

Bisa pula karena ada perasaan kita lebih benar,  dan mereka salah. Sehingga pantaslah kita marah, karena kita pada posisi benar. Apakah memang begitu, yang benar pantas marah kepada yang salah? Bukankah dulu para nabi pembawa risalah kebenaran itu tetap berlaku lemah lembut kepada objek dakwah yang tentu dalam posisi yang salah?

Bisa pula sakit hati kita, karena anggapan remeh dan rendah atas mereka. Padahal bukankah kita setara, dan semestinya tak ada tempat untuk meremehkan dan merendahkan itu?

Demikianlah yang terpikir olehku di tiga malam ini. Di bawah silau sinar matahari pagi, aku akhiri saja celoteh ini. Abaikan saja.

APTB (bekasi-Jakarta) Senin, 28/03/2016
Poetoe

ijlis huna...

Aku mulai dengan menukil ayatNya, dari surah Al Hasyr ayat 18 dan surah As Shof ayat 4, keduanya ayat tentang urgensi manajemen. Barisan yang rapi dengan perencanaan yang detail dan terukur.

Kedua ayat itu menenangkan, menjadi dasar mengatur langkah, mengukur kapasitas, juga berhitung atas risiko.

Karena itu, duduklah di sini.  Kita memang butuh ada dalam satu majlis. Proses penyatuan hati itu butuh tatap muka langsung. Amanah yang tak terselesaikan secara tuntas, akan mengendap dalam kerak otak, dan menjadi endapan kecewa yang sesekali akan muncul memenuhi segenap wajah kita.

bekasi, 25/03/2016
poetoe


terhubung

Percayakah, saat kau bersungguh sungguh pikirkan seseorang maka ia akan merasakannya? lalu memikirkan hal yang sama dengan apa yang kau pikirkan...?

Mungkin saja, sebenarnya aku bahkan percaya karena memang beberapa kali aku pernah mengalaminya. Yang menarik ini akan berbeda saat kita coba memberikan sinyal kepadanya justru bisa sebaliknya. Mungkin karena tak lagi alami. Sehingga alam tak lagi membantu energi pikiran kita.

Cobalah sejenak duduk saja berlama lama malam ini. Berpikirlah mendalam tentang sesuatu. Pejamkan mata sejenak. Malam dengan sunyinya tentu akan sangat mendukung. Tema yang kita pikirkan pun cobalah  yang fokus, dilengkapi dengan kemungkinan kemungkinan yang diakibatkan, sehingga polanya jadi lebih lengkap.

Seperti pilihan yang pernah kita ambil, ada konsekuensinya, juga dosa dan kesalahan,  apalagi jika tentang amanah yang terabaikan.  Membuat tubuh gemetar oleh sesal yang terlihat berlebihan, padahal menurutku sih pantas saja.

Duh, semakin tak bisa lagi tertidur. Sisa malam ini rasanya hanya berisi dengan tema yang kerutkan dahi.

bekasi, 25/03/2016
Poetoe.

Kamis, 24 Maret 2016

nun

Ketika ketulusan lah yang kau bilang bisa menjadi dasar ketakbersudahan, aku spontan bertanya "kalau aku...? tuluskah menurutmu?"

Tak kuduga, wajahmu terhenyak seperti kaget. "Tulus itu seperti ikhlas dan juga sabar, saat dinyatakan justru perlu dipertanyakan pembuktiannya."

Lalu aku tak lagi berharap pertanyaanku akan berjawab. Kubiarkan saja langit mendung di atas sana seolah mentertawai kami.

Aku penuh. Seperti bahagia yang tak lagi bersyarat. Bersamamu aku demikian merdeka. Karena bahkan untuk rindu yang sering dibilang indah namun membelenggu itu pun tak lagi aku rasa. Aku nyaris tak lagi peduli bagaimana jarak dan waktu itu menceraikan kita.

Kau tahu, saat bersama dengan orang lain terkadang ada basa basi yang kita pakai sebagai kedok untuk menutupi ketidakcocokan itu. Namun berbeda denganmu, aku bugil tanpa tabir, berbeda minat pun biasa saja. Bahkan saat dalam bincang itu aku bertanya, kau dengan ringan berkata "aku tidak mau jawab." dan aku merasa cukup. Kami berdua berpandangan lalu lepas tertawa.

Mungkin demikianlah Dia mempertemukan. Berharap selalu tumbuh bersama. Memahami dan memaklumi tanpa henti.

Jakarta, 24/03/2016. Senja.
Poetoe.

Selasa, 22 Maret 2016

senandung Ci

aku dan sesuatu di kepalaku tak bersinergi
menyimpan nyeri di pangkal otak
lalu terlelap pun berselimut mimpi buruk

"jangan lari dari masalah rambut gondrongmu dengan memotongnya..."

aku dan bisikan dalam hatiku berselisih
menciptakan percikan dalam rongga jiwa
lalu dalam diam pun hati gaduh oleh perbincangan

"setan sudah terlalu banyak di muka bumi ini, aku tidak mau jadi bagian dari setan. Karena jadi manusia yang menakutkan pun sudah mengerikan...... "

dan hujan pun menghajar bumi,
keengganan atas metafora itu terabaikan
karena hidup memang lantunan puisi panjang
sepanjang jalanan basah dan genangan air
betapa cinta mungkin saja terbebas dari belenggu rindu.

Jakarta, 23/03/2016
Poetoe

kita dalam birama

kita menjadi bagian dari nada
yang berlarian dalam birama waktu
adalah birahi atas gema
untaian dengung yang menggumpal dalam bilik telinga
kita berkejaran
bertautan namun tak saling mengalahkan
abai atas urutan
mana dahulu mana belakangan
cepat dan liar pun ternikmati
terlebih lembut dan pelan

dan rasa menjadi melodi
juga hasrat menjadi dentam perkusi...

mana chorus?
kutunggu di penghujung birama

bekasi, 21/03/2016
poetoe

Cerita untuk Senja

Senja, aku punya cerita....
tentang pengembara yang mengendarai naga
perjalanannya panjang,
ia bersama sang naga mengisi masa dengan beterbangan di langit yang melogam
kau mungkin tak percaya, maka tengoklah ke atas....
jika ada bayangan hitam di sela awan maka itulah mereka
meliuk liuk sesekali merobek gumpalan uap air itu,  tersibak.... dan rambut sang pengendara tampak basah
berkilatan oleh cahaya maghrib...

Senja, duduklah sejenak di sini
ini kisah tentang pengembara yang berkendara naga,
dan naga tak sepenuhnya jinak
sehingga terbangnya terkadang tak berpola
sesekali kendali terlepas,
bahkan lalu semburkan angin panas... api membakar sang pengembara.

Senja, panasnya api dari semburan nafas naga tak membuat pengembara mati,
namun cukuplah menjadi luka bakar serius
pakaiannya jadi compang camping
wajahnya melegam.

Pengembara tetap berjuang kembali kendalikan,
terlempar namun kembali berpegangan
terbakar namun kembali guyur dengan dinginnya awan....

Perjalanan panjang, nafas tersenggal,
luka bakar melebar.

Setia pada perjuangan,  hidup memang tak semua hanya dinikmati.

APTB (jakarta bekasi) 21/03/2016
poetoe


kebersahajaan

Saat luang, sambil nikmati kopi, terlintas tentang kebersahajaan dan pencapaian. Terkadang gelora saat berhasrat untuk pencapaian tertentu, kita lalu abai pada kebersahajaan dalam bersikap. Kesadaran atas itu justru kita dapat setelah mencapai 'pencapaian-pencapaian'. Setelah kesadaran bahwa aku bisa maka bagus jika lalu muncul kesadaran lain, ini hanya sekedar "dibuat bisa" oleh yang Maha Bisa. Lalu lahirlah ketundukan, serupa kebersahajaan dalam bersikap.

Ketundukan ini bagi para pejuang yang berjiwa besar adalah hal yang menjadi prioritas mereka. Jika ada kesempatan menunduk ia akan menunduk sedalam mungkin, jika ada ruang untuk bersembunyi maka ia akan meringkuk dalam sudut gelap, sembunyikan prestasi prestasinya. Dan ketundukan itu tak membuat ia lalu hilang dari popularitas, karena justru sebaliknya.  Karena kebersahajaan dan ketundukan ini objek pencitraan yang paling empuk.

Jadi seolah siklus yang berputar saja, anti pencitraan itu membuat mereka sembunyikan kapasitasnya dengan merendah secara performance fisik. Tapi di sisi lain gaya merendah itu menjadi objek pencitraan yang paling bagus. Ini jadi seperti persamaan matematika yang kedua sisinya berupa variabel bebas. Kedua saling mempengaruhi.

Siang yang luang menjadi semakin benderang. Aku mulai terkantuk kantuk dalam kening berkerut.

Bekasi, 19 Maret 2016
Poetoe


Jumat, 18 Maret 2016

terhubung secara utuh

Ada seorang yang terhubung denganku secara formal maupun informal, ikatan hukum maupun ikatan hati, gerbang bahagiaku, karena jika aku tak nyaman bersamanya maka tak nyamanlah seluruh hariku.

Dengannya aku terhubung secara fisik maupun psikis,  dan banyak waktu yang sudah dan akan kami habiskan bersama.... sangat banyak waktu.  Aku mencintainya dengan segala jenisnya sesuai tahapannya. Ada terpesona, ada tergoda secara hasrat, ada keinginan kuat untuk memiliki, ada tenang saat bersama, ada kebutuhan untuk berbanyak cakap dan menatapnya, ada mimpi menjalani sisa hidup ini bersamanya.

Aku mengingatimu sangat, justru saat tak ada di sisimu.

Muntilan, 12/03/2016
Poetoe.

#tetap tak sadar, namun bahagia.

seperti benda yang sama namun kita melihatnya dari sudut yang berbeda.

salah satu sisi, adalah pengharapan atas perhatian lebih, sisi lainnya adalah kesadaran atas ketidakpunyaan wewenang.

bukankah kesadaran itu memang tragedi atas nikmatnya ketersesatan?

seperti seorang pemuda yang merasa seolah pahlawan, mengingatkan penderitaan gelandangan tua yang meringkuk di pinggir tempat sampah. bagi sang gelandangan pemuda ini bukanlah pahlawan, karena ia hanya membawa kesadaran atas penderitaan, setelah sebelumnya ia nyaman di lantai dingin dan kotor tanpa perasaan dirinya menderita dan pantas dikasihani.

jadi benarkan? kesadaran adalah tragedi atas nikmatnya ketersesatan dalam ketidaktahuan.

demikianlah bagaimana logika si bodoh itu saat mencoba mengusir sang pencerah yang datang membawa sekantong kesadaran.

"pergi... kamu hanya menaburkan garam pada lukaku ini... pergi."

gelandangan itu meringkuk lagi, menikmati aroma sampah dan lembabnya lantai trotoar itu. ia bergumam... "aku bahagia, aku bahagia.... aku bahagia. titik. jangan ganggu!"

bekasi, 8/03/2016

poetoe.

Semenjana pada birama emosi

Pada akhirnya kebaikan hatilah yang memukau. Kemampuan hadapi krisis dan tetap tidak melanggar kaidah mengungkap aib dan menyakiti hati, tak semua bisa lakukan itu. Karena terkadang kita justru berdalih kondisi terdesak itulah sebagai sebab kita memaki dan menjatuhkan lawan.

Kemampuan tetap "semenjana" dalam bersikap ini yang mengagumkan, seperti ada rentang batas emosi yang konstan. Sehingga dalam berbagai kondisi tetap bisa tersenyum manis, kata kata terjaga, paling saat benar benar menyentuh ambang luka senyum itu bersama tatap memelas dan air mata.

Tetaplah semenjana, dalam semua irama. Aku masih belajar, perlahan ingin ikut dalam birama emosi itu.

Bekasi, 19/03/2016
Poetoe.

Minggu, 06 Maret 2016

terbacakan

Lalu pagi, kau tenggelamkanku dalam tatapan.
Sarapan kita adalah percakapan tentang hati
"kau tidak sedang tergoda orang lain kan?"
aku tersenyum, menggeleng.

Ini persoalan bagaimana membaca, kejelian dan ketelitianmu dalam membaca garis wajahku adalah ekspresi cinta yang indah.
Kuda liar itu mengikik sembari bergegas menjejak bumi. ....
Hanya senyummu yang mampu mengikatnya,
tatapan lekat tanpa sekat itu menjadi pengendali.

Dan ini semua memang saling kait, rentang waktu, usia, kematangan, ilmu, dan spiritualitas.... jika tak cukup bekal maka akan kembali tergerus, kembali tercebur dan tenggelam.

Doakan aku ya.

jakarta, 7/03/2016
poetoe



senjakala harapan

merajut senja, bermula pada kata yang  bertautan
jawab berjawab, dan senyum dalam debar harap yang pemalu
seperti sisi gelap rembulan yang tak terbaca oleh matahari

jalanan apa ini, semua serupa baru untukku
bahkan wajah cerah yang kau bawa
terasa baru dan nyaman untuk aku simpan
jaga dalam ceruk ingatan terdalam
bagaimana memainkan kebetulan yang ternyata terencana

lalu buku yang kita sandingkan dengan bergelas kopi....

seperti nukilan itu "bahwa terkadang kita harus perankan orang lain sebelum..akhirnya kita kenakan jati diri kita yang sebenarnya."

demikianlah,  lalu hujan deras menghajar.
deras teramat deras... hingga jejak kaki terhapus. dan senja memisahkan....

"mengapa kedua insan yang teramat saling mencintai  justru tak dipertemukan dengan mudah. sebaliknya pasangan yang tak terlalu mencinta justru dengan mudah dipertemukan?"

kalimat tanya yang menghiba jawaban.

bekasi.  6 Maret 2016 -jelang tengah malam
poetoe


simpul bahagia

Aku memang sengaja, membuat simpul-simpul itu. Mungkin karena aku memang tak suka percikan saat interaksi itu menjadi benturan. Karena itu maka tak sekedar simpul yang aku butuhkan melainkan juga semacam pelumas.

Akhirnya inilah terlihat, ada beberapa tempat kujadikan sarana duduk sesaat sambil berbincang. Seolah hanya nikmati kopi bersama, padahal banyak yang sedang direncanakan. Ini seperti interlude dalam sebuah lagu, tanpanya komposisi itu menjadi kacau. Dalam jalani hidup ini kita memang butuh helaan nafas.

Lalu terlahir komunitas-komunitas kecil itu, dengan pembahasan yang beragam. Seolah acak padahal berpola. Karena garis-garis itu bergerak pada kurva yang sama. Mungkin demikianlah mengapa niat memiliki posisi penting dalam hidup kita. Niat walau tak terucap tetap saja menjadi arah kemana mata panah itu akan kita lepaskan.

Aku hanya berusaha, lakukan apa yang harus lakukan namun juga berusaha mencari cara bagaimana aku bisa menikmatinya. Karena rasanya demikianlah cara untuk tetap bahagia dalam jalani hidup.

Semoga niat baik itu selalu terjaga, dan tak lalu bergeser menjadi  keburukan. Aamiin.

Bekasi, 5 Maret 2016. Dini hari.
Poetoe



Rabu, 02 Maret 2016

percakapan senja

Aku mulai dari....
"kata yang menggumpal di atap benak, kau panaskan agar mencair...."

"keheningan dalam riuh lalu lintas ini menjadi bongkah batu baranya...."

"cukuplah aku pejamkan, mendidih rongga otak dan gumpal kata itu menetes..."

"..mungkin hasilnya tak seperti yang kau minta, karena ini tetesan kata serupa embun..."

"namun kau boleh nikmatinya... kecaplah...
akan kau rasai maknanya.

Pastilah itu tentang sebuah prosa yang bernas makna. Tentang ilmu yang serupa Suluh,  menerangi, membahagiakan, ...."

"layaknya Suluh maka dunia kita meluas karena gelap terusir ke pinggir, ketidaktahuan yang banyak tak terkira itu perlahan dilumat oleh terang cahya...."

"jadi duduklah sini bersamaku, nikmati sajian ini secara sabar.

Di sini tak ada pribadi yang telah mati terikat oleh stempel diri 'aku itu emang kayak gini'....

karena di sini memang rumah para pembelajar,  yang mengenal ketakbersudahan cinta juga proses belajar panjang itu...."

"tak ada saling menyalahkan tak ada saling ungkap kekurangan karena saling menjadi guru itu tak lalu boleh menggurui...."

"jalani saja... kita sama sama buta peta. Hanya suluh kecil ini, yang kita pegang bersama ini yang menuntun kita...."

"jika kau masih ragu maka berhentilah. Lalu pejamkan matamu. Ini semua memang tentang diri kita. Kita bersama toh memang hanya di sini. ...

di logos kecil bernama dunia ini. Kelak saat kembali ke logos besar itu kita memang sendiri.

Jadi tak mengapa bermanja manja pada sepi saat sendiri. Dan itu pun yang aku nikmati belakangan ini."

"Kuncinya walau sendiri kau harus yakinkan bahwa kau bahagia. Karena bahagia itu memerdekakan.

Saat sepi usir gerak benak yang mengatakan riuh dan hangat itu indah.. . tapi sebaliknya bahwa sunyi itu lah kenikmatan...."

"Sebaliknya saat dalam kehangatan dan kebersamaan yakinkan bahwa kita bahagia dalam kondisi ini.

Kurasa demikianlah aku pahami makna syukur itu."

"Angin malam menampar, aroma belukar terbongkar... menyeruak... aku bersegera berdiri. Menghardik sepi.

hayuk temani aku nikmati kopi, mungkin itu terapi hati yang saat ini aku butuhkan."

jakarta-bekasi, Maret 2016
poetoe


 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...