Minggu, 26 November 2023


 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Pernah Salah", Penerbit Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2023.

Alhamdulillah, semoga bisa jadi tambahan menu nutrisi literasi buat yang suka puisi. Masalah tak pernah salah, karena hidup bukan ruang sidang tempat sekadar mencari siapa yang salah.


Senin, 04 April 2022

Serial BERPUISI (beri makna puasa dengan berbagi inspirasi) hari 1 - 4 Ramadan 1443 H

 BAB 1 CAHAYA

(Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma,

Kebenaran seperti aksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Seperti 1 ditambah 1 itu sama dengan 2. Jelas dan gamblang. Dan saat dinyatakan terasa nyaman bagi yang menyampaikan maupun bagi yang mendengarkan. Sebaliknya yang mengatakan 1 ditambah 1 itu tidak sama dengan 2 akan terasa tersiksa, karena ada yang “aneh” di kepala kita.

Mungkin seperti itulah yang disebut pahala dalam terminologi agama. Kenyamanan yang dirasakan saat kita mengatakan hal yang benar, melakukan hal yang benar, juga meyakini hal yang benar. Sebaliknya perasaan tersiksa saat kita mengatakan hal yang tak benar, juga melakukan hal yang tak benar, ataupun meyakini ketidakbenaran: mungkin itu lah dosa.

 Jadi perjalanan kita menemukan kebenaran itu seperti perjalanan menuju kenyamanan. Dan kenyamanan itu dapat kita rasakan saat kita menjalani semua ini dengan bersandar pada nalar yang benar. Seperti hukum sebab akibat yang tak bisa kita hindari dalam kehidupan sehari-hari. Hati-hati akan selamat, abai dan lalai akan celaka. Sesederhana itu.

 

(Hari ke-2) Apakah kita seperti Laron?

Apakah kita seperti Laron, yang hidup sesaat saja. Dimulai dari keluar sarang di dalam tanah lalu bersiap terbang, mencari sumber cahaya. Dalam perjalanannya mereka ada yang terlepas sayapnya lalu jatuh kembali ke tanah, dilanjutkan dengan menempuh perjalanan dengan merayap, terkadang berakhir dengan maut dimangsa unggas. Ada yang berhasil terbang menemukan lampu jalanan atau lampu di teras rumah kita, tapi ia lalu terbakar, terjatuh, terlepas sayapnya dan kembali merayap di tanah, berakhir sama: dimangsa unggas atau terinjak oleh kaki kita.

Apakah kita akan setragis itu? Rasanya tidak. Kita bukan laron. Jika benar cahaya adalah yang kita cari di sepanjang hidup ini, maka cahaya itu adalah cahaya kebenaran yang tak melukai atau membuat kita terbakar. Justru sebaliknya cahaya yang kita temukan nanti adalah cahaya yang mempesona, Mungkin cahaya itu berupa pemahaman yang paripurna. Kelegaan yang tak terbandingkan.

Justru yang berat adalah perjalanan untuk menemukannya. Ada beban kemalasan yang memberati ada pula angin kencang emosi yang menghalangi, bahkan terkadang terganggu oleh jubah harga diri kita, juga berhala citra yang mengaburkan kita dari fokus pencarian kita atas cahaya itu. Kelalaian menjaga energi bisa membuat kita terhenti.

 

(Hari ke-3) Habis Gelap Terbitlah Terang

Habis Gelap Terbitlah Terang, kata RA Kartini. Ini bersesuaian dengan ayat “dari kegelapan menuju cahaya” adalah perjuangan untuk menjadi lebih baik. Dengan membaca gelap sebagai sisi awal lalu prosesnya adalah perjuangan, dan hasil akhirnya adalah cahaya.

Gelap mewakili kebodohan, penindasan, kemiskinan, kezaliman, kesepian, penderitaan, dan segala sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan cahaya adalah kecerdasan, keadilan, kemakmuran, pemberdayaan, kehangatan, kasih saying, kebahagiaan dan segala sesuatu yang menyenangkan.

Perjuangan adalah proses di antara keduanya. Berisikan pendidikan, pelatihan, pengembangan diri, konseling, parenting, kisah-kisah inspiratif, pembangun mental, peletak pondasi peradaban. Adalah pekerjaan-pekerjaan besar itu.

Hidup mungkin memang rangkaian perjuangan untuk terus beranjak dari sisi gelap menuju ke sisi terang, menuju cahaya.

 

(Hari ke-4) Hidup adalah menjawab pertanyaan

Dalam perjalanan menuju cahaya itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul serupa langkah kaki untuk terus maju di gelapnya jalanan. Lalu berusaha mencari jawaban itu seperti usaha untuk meraba dan memahami sekitar, mencari cara agar terus bergerak dekati sumber cahaya.

Hidup mungkin seperti percakapan, seperti tanya jawab. Masalah yang kita temui adalah pertanyaan yang diajukan, maka tugas kita adalah mencari jawabannya. Jika pertanyaan itu berupa tugas, maka penyelesaiannya adalah jawaban. Jika pertanyaan itu mengundang gelisah maka jawabannya adalah pencarian atas ketenangan.

Hidup seperti rangkaian pertanyaan yang terus berdatangan, dan tugas kita adalah mencari jawaban. Terus begitu, sampai maut datang hentikan hidup.

Senin, 29 November 2021

 


Setelah "Kita Dua Kurva Saling Terbuka" 2019 lalu "Kidung Para Pencari" 2020, Alhamdulillah masih bersama @elexmedia @elex.novels bersiap terbit buku ketiga "Mungkin Kita Hanya" buku antologi puisi yang kutulis antara 2020-2021 di tiga kota Magelang, Temanggung, Bekasi.

Terima kasih kak @hayarizqa_ untuk gambar covernya.

Selasa, 27 Juli 2021

 
Lautan Diri

mungkin ada lautan dalam diri
deburan riak ombak dalam napas
arusnya terus bergerak dalam nadi
hasrat dan emosi empas mengempas

ada ikan aneka warna di permukaan dangkal
terumbu karang pantulan cahaya senang dan terang
namun ada kelam di ceruk dalam
penguasa samudra jiwa di lubuk hati terdalam

mungkin ada lautan di dalam sendiri
pejam mata menahan badai
kendali hanya pada hati
bahkan layar nalar jika salah arah akan patah oleh angin

Bekasi, 24 Juli 2021


Selasa, 08 Desember 2020

Kidung Para Pencari

Setelah agak terhambat oleh pandemi COVID-19, akhirnya buku antologi puisiku yang kedua "Kidung Para Pencari" lahir di bulan November 2020, masih dengan penerbit yang sama dengan buku pertama "Kita Dua Kurva Saling Terbuka", 2019, PT Elex Media Komputindo.  

Buku ini berisi puisi puisiku di tahun 2019-2020, terbagi dalam 4 (empat) bagian : Pencarian, Cinta, Rindu, dan Syukur. Dengan cover dan ilustrasi Utin Rini seniman Yogyakarta, lulusan Seni Rupa Murni di FSR ISI Yogyakarta 2005.

Semoga dapat ternikmati nutrisi puisi dalam buku ini. Jika tertarik silakan klik: s.id/BELIKPP atau di toko Gramedia terdekat.








Kamis, 20 Agustus 2020

Simponi Lelap

gelap tempat lelah terlelap
tempat rebah dari segala gundah
tempat meringkuk dalam setiap peluk

dan hening mengeja kalimat pasif yang tidak dapat terbuka kala lampu menyala
dalam senyap kuharap jadi kalimat aktif yang berkelindan remang dan cahaya tertahan

aku tertawan kenangan sebelum kalimat-kalimat berjatuhan

Priscilla dan Putu

 De Priscilla. Kelahiran Jakarta, 25 Mei 1994. Saat ini menetap di Jakarta Utara. Menyukai literasi. Alumni Kelas Puisi Online (KPO) dan Asqa Imagination School (AIS). Beberapa puisinya di muat di media online Cacatan Pringadi, Antalogi Puisi bersama Sastra Indonesia dengan judul buku Word Imagination penerbit Ae Publising, Antologi Puisi dengan judul buku Kontemplasi Sepi bersama Prolisa, Kumpulan Quotes berjudul Berjuta Warna Berjuta Rasa bersama Sastra Indonesia, Kumpulan Quotes  Perihal 17 Hari yang Semestanya Adalah Kamu bersama At Press x maple media. Saat ini sedang belajar puisi di Competer Jakarta. IG: deborapriscilla09

      Nugroho Putu Warsito, ASN di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyuka puisi dan sastra sejak sekolah menengah, penulis buku kumpulan puisi “Kita Dua Kurva Saling Terbuka” terbitan Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2019. Saat ini aktif di Komunitas Sastra Kementerian Keuangan. Akun Instagram: @nugroho_putu.

Sabtu, 11 April 2020

Menua Bersama

dunia mungkin serupa kelereng yang terendam dalam larutan waktu di gelas semesta
selalu ada jejak masa atas apapun
yang baru jadi lama
yang segar jadi layu
yang bergaris tegas jadi kusam buram

seperti kita yang menua bersama
anakanak tumbuh mendewasa
tawa mereka mengiringi tahuntahun yang runtuh menyerah pada waktu
canda kanakkanak satu persatu terlipat di laci ingatan
tersisa mereka yang memasak bersama dan aku menunggu
sampai aroma harum makan siang itu mengajakku berdansa

teringat genggaman tangan kita 21 tahun lalu, sesaat setelah penghulu membimbing katakata janji kita dahulu
erat dan hangatnya masih sama
hanya kulit kita tak sehalus dulu
ada ruamruam kambium atas luka,
luka sembuh dibasuh suka, namun muda tetap beranjak tua.

dan aku merasakannya, ada wajahmu yang bercerita panjang tentang perjalanan kita
bahwa masih jauh, janganlah mengeluh
butuh bekal cinta dan jangan lupakan peta

tepat tengah malam, saat resmi usiamu bertambah, aku hanya menikmati wajahmu
ternyata berdiam di sebelahmu itu sudah cukup jadi energi hatiku.

Bekasi, 11/04/2020
Pukul 00.14

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...