Pagi ini, mendapat inspirasi dari kisah seorang teman. Fragmen saat ia hendak selesaikan cuti bersalin anak kelimanya, dan harus berangkat kerja esok harinya. Anak pertamanya datang menghampirinya. Lalu mohon ijin padanya, "Bunda, boleh ndak aku mau nangis...?" Bundanya kaget, "lho ada apa??"
Lalu sang anak mulai menangis, tanpa rengekan, hanya air mata.
"Kenapa kak? Cerita dong... kalau gini bunda jadi sedih... ada masalah di sekolah? Temanmu nakal? Kenapa nangis, kak?"
Sang anak hanya menggeleng. Lalu menjawab perlahan ".... bunda besok mulai kerja lagi."
Jawaban itu membuat sang Bunda ikut menangis.
Kisah romansa ibu yang harus bekerja. Aku kebingungan hendak cerita apa. Kisah ini sudah membuatku berpikir banyak. Tak semua yang aku pikirkan hari ini terjawab, namun paling tidak ada air mata. Saat mendengar cerita ini dari sang ibu, juga saat aku harus menuliskannya lagi siang ini. Air mata.
Air mata untuk keresahan, saat tata nilai dibentur benturkan. Air mata untuk banyak pertanyaan yang tak berjawab. Entahlah. Kita memang butuh Dia untuk mengambil keputusan. Semoga selalu tercurah rahmah dan hidayah-Nya.
Aamiin.
Poetoe / 14 Agustus 2015.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar