Jumat, 13 November 2015

Cerita tentang dua hati

Ini tentang dua hati yang terpisahkan oleh dua tubuh yang berbeda. Namun keduanya merasa dulu berasal dari satu hati. Karena demikian sakit saat jarak ditambahkan. Juga saat batas norma yang dengan dingin menebaskan jeda.  Bahkan jarak dan norma seolah duo yang kompak saling bekerja sama mencegah dua hati itu menyatu. Saat norma mulai melunak,  justru jarak mengembang,  hingga pertemuan tentu menjadi kelangkaan. Demikian halnya saat jarak mendekat justru norma yang menebal. Sehingga terkadang keduanya duduk berdekatan namun tanpa ada percakapan personal yang diberi kesempatan. Hanya duduk diam. Sesekali tatapan beradu pandang. Tanpa kata. Dan kedua hati berusaha menyapa dalam diam. Berusaha pancarkan sinyal agar terbaca oleh pasangannya. Biasanya lali senyum tipis sebagai tanda telah mengertinya pesan sepi itu.

Pesan dimengerti begitu saja. Tanpa ada kesempatan klarifikasi atas kebenarannya. Awalnya memang mereka berdua galau, berharap bisa meminta penegasan atas rasa masing-masing, namun tak ada ruang dan waktu yang mendukung. Klarifikasi itu hanya menjadi harapan saja. Tersisa hanya diam. Hanya diam.

Namun diam ini justru menjadi pupuk yang baik untuk tumbuhan rasa ini. Karena ia menyuburkan. Hingga menumbuhkan rasa ini menjadi tidak sekedar penaklukan, penguasaan, kepemilikan dan hasrat sekedar untuk selalu bersama. Melainkan tumbuh menjadi lebih dewasa, keinginan untuk menjaga, harapan bahagia bersama, memahami, meleburkan diri dalam ingin yang sama.

Demikianlah dua hati itu masih terpisahkan, namun jarak dan batas tak melemahkan energi mereka, justru sebaliknya, menguatkan, menjadikan keduanya sebagai sumber energi baru. Yang tak berkesudahan.

#tentangduahati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...