Jumat, 29 Januari 2010

senja yang basah...

Senja,
aroma tanah basah,
dan diamnya alam mengajarkan berkata-kata dalam hening.
Mulai terbiasa menikmati tatap mata tanpa kata,
senyum tanpa suara,
bahkan cinta yang tersimpan menjadi embun saja di ujung daun;

ditarik oleh mesin waktu...


Hampir tiap hari ini yang terjadi, aku terjebak di balik meja kerja. Dengan monitor komputer yang terus melototiku, dan berkas menumpuk menggodaku dan seakan-akan memanggil-manggil namaku, berharap selalu mendapatkan perhatianku. Tapi pagi ini, entah kenapa, aku kehilangan selera untuk lakukan apa-apa. Sesekali melirik ke HP, yang masih on line membuka situs facebook. Rencananya mau ubah status, mau menuliskan situasi pagi ini, tapi saat membuka beranda, muncul banyak nama; yang anehnya, mereka seolah mesin waktu yang menarik-ku jauh ke belakang. Berawal dari nama, muncul beberapa peristiwa lama. Begitu banyak perubahan, begitu banyak kejadian yang terlewati, tanpa aku tahu detail ceritanya. Ada teman lama yang kini menjadi ustadz, padahal dulu begitu beringasan; ada teman yang dulu begitu pemalu, sekarang menjadi anak band; bahkan ada yang mengubah keyakinan agamanya. Bagaimana mereka bisa berubah? Ada peristiwa apa yang membuat mereka mengubah jalan hidupnya? Entahlah.

Mungkin aku yang keterlaluan menyikapi keingintahuan itu. Tapi kadang memang begitulah, otak bergerak semaunya….

Otak ini mengajakku berkelana kembali ke masa yang telah terlewati. Kadang lebih nekat lagi, dia lanjutkan cerita-cerita lama itu dengan khayalan tentang masa depan yang beranjak dari masa lalu, dengan sedikit mengubah beberapa adegan, dan rasanya itu memang tidak mungkin terjadi. Huh!

Kamis, 21 Januari 2010

TERLAHIR DI RAHIM WAKTU; kesepakatan antara kemarin, hari ini dan hari esok.


Pernahkah kita bertanya, mengapa ada “kemarin”? Mungkinkah “kemarin” itu lahir karena ada “hari ini” ? Ataukah sebaliknya “hari ini” itu ada karena ada “kemarin”? Lalu bagaimana dengan “esok”? Entahlah… yang jelas semua ini terkait dengan waktu, juga ingatan kita, ditambah pula mimpi dan rencana kita.

Waktu adalah tempat dimana “kemarin”, “hari ini”, dan “esok” tinggal. Ingatan adalah yang membuat “kemarin” itu tetap ada dalam alam kesadaran kita, sedangkan mimpi adalah rahim yang melahirkan kata “esok” dalam batok kepala kita. Bagaimana dengan “hari ini”? ia lebih mudah didefinisikan, karena ia memang mengada di dalam kenyataan kita. Selama dimensi kesadaran itu berada dalam kenyataan, maka sesungguhnya kita sedang berada dalam “hari ini”.

Bagaimana dengan “kesan” yang kadang kita beri nama dengan kata “kenangan”? Kenangan itu lahir tentu di hari lalu (kemarin), dan diselamatkan oleh ingatan kita, dari cengkeraman monster lupa. Kadang ingatan itu terpicu oleh tanda-tanda yang sengaja kita ciptakan. Entah itu berupa kata yang kita catatkan dalam buku harian, atau benda-benda yang kita nisbatkan sebagai lambang dari sebuah kejadian… atau hanya warna, yang kita sepakati sebagai perwakilan dari seluruh kesan atas kejadian-kejadian dalam satu waktu. Bahkan nama, kadang sangat berarti mewakili segenap isi hari-hari yang kita anggap penuh kenangan. Atau foto, sebuah perlambang kesombongan kita, untuk mencuri satu momen dalam hidup kita.

Yang menarik adalah, seringkali beranjak dari kenangan itu-lah, kita berandai-andai tentang hari esok. Di saat itu, terhubung ketiga-nya dalam satu tema pembahasan di isi kepala kita. Di sekarang, kita berbincang tentang masa lalu, untuk rencanakan masa depan di hari esok. Dan itu tidak lah mudah, begitu banyak nama, wajah, senyuman, tangisan, kehangatan, kebencian, kejadian-kejadian, benturan, rasa sakit, rasa bahagia, berbaur bersama…diolah oleh akal sehat, dipaksa untuk terhubung dengan alasan-alasan yang masuk akal, ataupun rencana-rencana yang terukur… untuk kemudian menghasilkan mimpi, rencana untuk hari esok. Kadang yang lahir justru ngilu, ketika hasil dari mesin produksi itu (dengan bahan baku: kenangan, diolah di hari ini, dan hasil produksinya adalah mimpi dan rencana di hari esok) tidak seperti yang kita harapkan. Bisa jadi luka itu adalah karena kenangan yang sudah terlanjur tertanam terlalu dalam, sementara hari ini dan esok sudah sepakat untuk menghapus kenangan-kenangan itu, kebayang kan… betapa perihnya ketika kenangan itu harus dicongkel keluar. Ngilu, saat tercabut akar kenangan itu… darah mengucur, tersayat rongga jiwa. Kesalahan dalam mencongkelnya bisa membuat hati tergelepar, meregang nyawa. Hiks!

Kita berharap tidak ada luka. Kenangan seberapa indah atau seberapa buruknya mestilah kita kelola dengan bijak. Agar terhubung di hari ini dengan hari esok, menjadi rencana-rencana yang rapih. Jelas, terukur, dan indah untuk kita kenang di hari esoknya lagi… Semoga.

Rabu, 06 Januari 2010

Pidato Malam di tengah Jalan Tol;

Malam;
lampu jalanan,
rambu lalu lintas,
dan gemuruh roda bersahutan
di bawah kaki kita;

ada kenangan yang coba kita congkel keluar,
ada harapan yang coba kita pungut satu persatu;
ada keheningan yang coba kita ganggu;
ada cinta yang kita rampas haknya,
dengan dalih harga diri,
dengan dalih martabat;

ada lampu mobil yang berseliweran di sekitar kita;
ada klakson yang menjerit di tepat belakang kita;
ada pesona yang lalu-lalang,
serupa penari meliuk-liuk laksana asap obat nyamuk;
ada getaran-getaran yang dipaksa untuk kita rasakan;
ada kepedihan yang nyelonong masuk,
mencubit nurani hati;
ada kebodohan yang tiba-tiba saja
terbangun begitu kokoh di pangkal otak kita,
karena kebenaran dengan semena-mena dikerdilkan
oleh kata-kata yang jujur sebenarnya tidak bermakna;

juga makna itu sendiri saling bertabrakan
membawa kepentingannya masing-masing;

makna menguasai kata ,
atau kata mengusai makna;
Pening aku!!

kebenaran dengan syak wasangka menjadi kabur
karena praduga seolah kabut begitu tebal
menutupi lukisan al-Haq;

kata-kata diboncengi,
kata-kata ditunggangi....

mestinya dahulu siapa...
mestinya dahulu mana...
performa atau kapasitas diri...
katanya performa itu cerminan dari kapasitas
namun kadang rancu kapasitas dibangun dari performa yang dipaksakan;
Aneh memang,
ketika rasa keadilan dikerdilkan oleh kepastian hukum;
ketika kepastian hukum itu sendiri menginjak-injak substansi keadilan;
lalu dahulu mana, telor atau ayam?

keheningan menjadi begitu nikmat,
ketika kata-kata justru mengkebiri kecerdasan nurani kita;

berita dengan gosip murahan nyaris serupa
lalu mau berpijak pada apa....??

berharap tabir dan tirai itu terangkat,
tapi kapan?
lambat laun, kita yang jadi agen-agen kemunafikan itu sendiri.

memang hening adalah surga,
memang senyap adalah taman indah, tempat untuk bersandar,
ketika kebohongan merimba dalam hidup kita;

berharap satu waktu,
saat hati dan diri mampu bercakap-cakap....
tanpa diganggu oleh fakta yang rancu,
dengan persepsi;
masak kenyataan lenyap yang tersisa tinggal anggapan!
masak opini dengan berita itu sendiri bercampur aduk!

jadi tolol kita
jadi bebal kita
jadi buta
meraba-raba
kehilangan kendali hati
tanpa pedoman
tanpa peta;
nyasarlah kita!!!

tersesat...dalam rimba kata-kata,
kalimat-kalimat itu mencekik nurani.

Selasa, 05 Januari 2010

Belajar Bertutur....


"mencoba belajar lagi teknik bertutur, ternyata berkomunikasi sangat berperan dalam hidup ini. Kesalahan di bidang ini, bisa membuat kebenaran tersalahkan, dan kebatilan terbenarkan..."

Berkomunikasi dengan orang lain, tidak sekedar membutuhkan kemampuan memaparkan sesuatu, melainkan juga kemampuan untuk memahami lawan komunikasi kita. Teringat 4 sifat Rosululloh: Sidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathonah (cerdas), dan Tabligh (menyampaikan). Kata tabligh (menyampaikan) itu proses bergeraknya "informasi" hingga sampai ke objek kita. Sehingga dibutuhkan daya dorong yang cukup untuk membawa informasi itu, juga daya terima yang memadai dari target komunikasi kita. Jarak yang memisahkan Komunikator dengan komunikan ini harus diisi dengan "tafahum" saling memahami.

Facebook bisa menjadi sarana yang kita pakai untuk menguji kecakapan kita memilih kata-kata. Karena di sana, ada banyak pembaca yang mungkin kita tidak kenal mereka dan mereka tidak mengenal kita. Kata-kata yang kita lemparkan ke status kita, bisa memicu pemahaman yang berbeda-beda... ini yang menjadi seru; karenanya aku sering menganggap fb itu tempat orang ber-celoteh. Banyaknya komentar bukan berarti salah atau benarnya celoteh kita, melainkan hanya seberapa menariknya kata-kata yang kita pilih. Bisa jadi semakin memicu kontroversi, semakin banyak mengundang perhatian orang... Di sinilah pentingnya motif, maksud, atau niat kita dalam menerbitkan status itu. Dengan niat baik, materi yang positif, pemilihan kata yang tepat, dan juga waktu yang tepat kita meng-upload-nya (karena ini mempengaruhi jumlah orang yang membacanya) kita bisa menebarkan nilai-nilai positif (boleh dibaca: berdakwah) dalam dunia facebook.

Wallohu a'lam.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...