Jumat, 31 Desember 2010

hmm...

aku akan bisikkan "hmmm..." sampai ke pangkal otakmu...
aku kirimkan lewat jaringan internet....
bergerak cepat...
menembus batas-batas indrawi..
menyelinap dalam CPU-mu
cepat merembes ke partikel dalam keyboardmu
dan menyentuh jari2mu...
masuk melalui pori2..

dan bisikan itu sekarang telah ada dalam tubuhmu...
tercampur dalam darahmu
bergerak perlahan
seirama denyut jantungmu...
semakin kau berlari.. denyut jantungmu semakin cepat...
maka semakin cepat pula bisikan itu mencapai rongga otakmu...
dalam benakmu, ia bersemayam
mencerap semua yang kau fikirkan
bahkan sekedar niatan nakal itu... terbaca demikian gamblang
bisikan itu beranak pinak di sana
berkembang biak

sebagian menetes ke gendang telinga...
ikut menjadi bagian dari apapun yang kau dengar
sebagian menyelusup ke retina mata...
mencerap segala warna yang kau tampung di sana

dan yang paling tua dari bisikan itu....
merembes ke dasar dalam
hingga menyentuh dasar kalbumu...
menjadi bagian dari segala kenangan itu
bahkan sekedar niat kecil pun.. terwarnai oleh bisikan itu
" hmmmmmm....."
sekali lagi...
" hmmmm....."

semoga kisah perjalanan "hmmm" itu bisa membuatmu berhenti membencinya

Rabu, 22 Desember 2010

sakit jiwa-ku


Entahlah, ini jenis sakit apa....

yang jelas, saat kantuk datang secara akut.... aku kehilangan nyaris separuh akal sehat-ku. Bagaimana tidak, saat berbincang kalimat yang muncul tidak sesuai dengan yang aku orderkan dari otak... yang terfikir dalam otak pun tidak termenej dengan benar, kadang tumpang tindih; dan anehnya yang sering muncul adalah kata tanya... sampai kepala berdenyut tidak karuan, karena berjejalan kalimat tanya, tanpa sempat aku jawab satu demi satu.

Ini sangat menyiksa. Langkah yang biasa aku tempuh, adalah meletakkan kepala ke bantal, mata terpejam, mencoba terlelap... walaupun jarang bisa berhasil. Otak tidak mau berhenti bekerja. Hiks...

Dalam kondisi seperti ini, saat ini, aku mencoba bertahan. Bahkan tidak sekedar bertahan, aku mencoba berfikir tentang "kenapa" ini terjadi?
ada beberapa kemungkinan:
1. Luka secara fisik dalam rongga kepala-ku, atau syarafku... [serem nih... semoga sih tidak]
2. Luka psikologis, masa lalu yang memerikan bekas sayatan dalam jiwa yang menyebabkan ketidakstabilan emosi.
3. Ada jarak antara harapan dan kemampuan. Ada keyakinan yang terbangun dalam hati, sebuah ukuran2 yang ideal untuk seorang "putu"; padahal yang terjadi, jauh arang dari api.... lalu lahirlah kecewa; kecewa itu berkumpul menjadi mimpi buruk, menjadi luka psikologis dalam jiwa....
hiks...

Entahlah, mana yang benar....

namun malam ini, aku bertekad untuk mencari tahu, dan mencari resep untuk mengobatinya... Ini sangat mengganggu. Hiks....
Rasanya kemungkinan yang ketiga yang cukup kuat. Ekspektasi-ku terhadap diriku mungkin memang berlebihan. Seperti beberapa kata yang katanya kau benci untuk aku ucapkan: "aku tidak boleh sakit, aku tidak boleh bodoh, aku tidak boleh lemah..." Kata-kata motivasi yang mungkin menjadi negatif ketika yang terbangun justru ekspektasi yang berlebihan terhadap diri ini.

Wallohu a'lam.

Senin, 20 Desember 2010

Khoirunnasi anfa'uhum linnaas...

Diriwayatkan dari Jabir, Rosulillah bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. Tabhrani dan Daruquthni. Dishahih kan al-Albani dalam “Ash-Shahihah”)

Rasanya kita semua yakin betul atas kebenaran hadits di atas. Namun terkadang kita masih terjebak dalam perasaan "sakit hati", atau "tersinggung" saat ada orang lain memanfaatkan kita. Lho, padahal dengan dimanfaatkan orang lain berarti kita menjadi semakin baik....

Terkadang kita berdalih bahwa, dimanfaatkan kan berbeda dengan bermanfaat... hehe, entah lah. Namun mungkin saja, berbagai permasalahan kita itu timbul dari rasa "berhitung" atas nilai manfaat kita terhadap orang lain. Contoh, saat kita menolong orang lain, dan orang yang kita tolong itu terlihat [terkesan] tidak berterima kasih terhadap kita... kita lalu sakit hati. Kita merasa, bahwa kita sedang dimanfaatin. Dan yang lebih parah, kita terjebak pada perasaan menyesal telah memberi pertolongan... hiks, na'udzubillahi min dzalik! bisa-bisa musnah sudah pahala yang perlahan-lahan kita kumpulkan, terserak, tersapu ombak "pamrih" yang didorong oleh penilaian terlalu tinggi terhadap diri kita. hiks!...

Jika mau berbincang lebih jauh, ternyata konsep berharap bermanfaat untuk orang lain, tanpa peduli penilaian orang lain terhadap diri kita inilah yang seringkali tanpa sengaja kita sebut sebagai "kepahlawanan". Dan kepahlawanan inilah yang diharapkan bisa menyelesaikan berbagai macam krisis yang melanda bangsa ini.

Terbayang jika, setiap kita sibuk lakukan sesuatu, dengan tidak berharap untuk dapatkan sesuatu [kecuali pahala tentunya, jika pahala masuk dalam batasan ini kita secara tidak langsung akan terbawa dalam pembahasan bab tasawuf]. Masyarakat yang terwujud adalah, masyarakat yang penuh pengorbanan, berlomba-lomba tunaikan kewajiban, dengan memberikan hak-hak orang lain. Tidak perlu lagi ada demonstrasi yang menuntut hak, karena seluruh hak telah terpenuhi, atau jika pun belum, masyarakat tersebut tidak fokus pada tuntutan hak, karena mereka fokus pada kewajiban, mereka fokus pada apa yang bisa dikorbankan, bukan fokus pada apa yang akan mereka dapatkan. Masyarakat dalam mimpiku ini selalu sibuk memikirkan kebutuhan orang lain, namun kebutuhan mereka pun terpenuhi oleh orang lain, karena mereka saling berbagi beban. hmmm.... indah sekali rasanya...

Jumat, 10 Desember 2010

godaan untuk tinggal di permukaan

Ketika berbincang dengan seorang teman yang menawarkan bisnis MLM, seperti biasa.... diceritakan bagaimana membangun "mimpi dan keinginan" kita, untuk divisualkan di sekitar kita, agar terbangun kekuatan bawah sadar. Bisa saja itu mobil, rumah mewah, atau bahkan pesawat. hiks... kok malah jadi sedih. Seperti ditarik kembali menjadi "manusia permukaan". Sebenarnya tidak ada yang salah dalam bisnis ini, namun ini masalah cara pandang. Ketika yang dijadikan motivasi adalah hal-hal duniawi, rasanya kok jadi menyempitkan motivasi hidup kita.

Mungkin ini terlalu lebay, bagaimana ketakutan ini ada dalam hati. Takut jika ada yang menyelinap di hati, satu keinginan atas hal-hal "cemen", yang bisa saja merusak orientasi hidup kita. hiks... seperti kata Iwan Fals, bahwa "Keinginan adalah sumber penderitaan..."

Sabtu, 04 Desember 2010

pahami diri

meletakkan kepala kita "secara serius" dalam sujud, menyerahkan "secara utuh" segala masalah kepada-Nya, dan jalani ketaatan "secara total" solusi Ilahi yang telah dituntunkan... adalah cara indah selesaikan "galau hati" ini. Semoga....
[status fb-ku tanggal 5 Desember 2010]

Selain pahami diri sebagai manusia, ternyata kita juga harus mengerti ruang dan waktu yang kita huni. Karena setiap tahapan hidup yang kita lewati, butuh penyikapan yang berbeda. Dan seringkali masalah yang timbul adalah langkah yang dipilih tidak sesuai dengan tahapan hidup itu.... Wallohu a'lam.
[status fb-ku tanggal 3 Desember 2010]

Rabu, 27 Oktober 2010

ekstrimisme, bencana banjir dan cara bertutur...

Akhir pekan kemarin, aku mengikuti acara diskusi yang menarik, bersama anak-anak muda di Mustika jaya dan Bantar Gebang. Temanya ekstrimisme dalam Islam. Di sana kami mencari tahu, apa itu ekstrimisme, apa bibit-bibit pemicu ekstrimisme itu, dan juga sebenarnya ada nggak sih ketentuan syari'at tentang ekstrimisme dalam Islam...

Seru. Banyak ide, banyak hal-hal baru. Anak-anak muda itu begitu bersemangat. Jadi terharu... Mungkin kami memang tidak mendapatkan kata simpulan yang "jelas", namun paling tidak kami bisa lebih memahami, bahwa ekstrim itu sesuatu di luar mainstream. Sesuatu di luar "arus besar". Sesuatu yang "lebay", "berlebih-lebihan". Secara ekstrim memahami Islam, kita bisa tersesat.

Esok harinya, bencana banjir datang. Yang menarik adalah, munculnya hujatan-hujatan di media kepada Pemda DKI, juga sanggahan dari pak Gub yang tidak kalah seru... hihi, jadi berbalas serang. Menjadi lahirnya konflik.... bertemunya dua kubu ekstrim. hiks... yang menyedihkan konflik itu justru mengaburkan substansi masalah kita, yakni kemiskinan dan kebodohan.

Ternyata ini memang masalah "cara bertutur", ketika datang kritik dan kita justru sibuk menyanggah, maka yang datang adalah badai cacian. Lalu kita sibuk saling berbantahan, lupakan substansi "kritik" yang sebenarnya adalah "pertanyaan" tentang solusi penyelesaian masalah. hiks...

Jika tradisi berbantahan ini yang lahir maka berat betul beban hidup kita.
Kepada teman-teman yang senang "berkonflik", saya himbau tinggalkan hoby itu. Karena itu tidak sehat, untuk diri kita juga dunia. Karena berbantahan bisa menjauhkan kita dari solusi. Jangan senang bermain di ranah ekstrim, ayuk kita dorong kebenaran itu sebagai mainstream hidup. Kata orang tua dulu... "sing sak madya" jadi indah hidup ini dalam kebersamaan, tanpa benturan-benturan yang tidak perlu.

Wallohu a'lam.

Selasa, 12 Oktober 2010

berprasangka baik atas salah duga ini....

Prasangka orang mungkin cara indah Alloh menjaga kita. Kadang muncul persepsi yang di luar dugaan, hiks.... Saat yg tepat evaluasi diri.... Jangan risaukan persepsi, namun fokus pada substansi.

Kadang kita tergoda menuduh "anggapan" orang itu sebagai "fitnah", padahal tentunya berbeda, antara ketidakmengertian dan kesengajaan dalam membangun pengertian yang keliru. Tidak sengaja keliru, dan menyengaja untuk keliru tentu saja itu berbeda...

Jadi aneh memang, ketika mencoba lebih akrab dengan ketidakmengertian itu sendiri....
Kedepankan prasangka baik, bahwa ini hanya masalah keliru dalam mengerti saja, atau memang ada yang harus dievaluasi dari langkah2ku ini... yg memicu persepsi keliru itu. Hiks... banyak dosa-ku. [saat yang tepat, baca ulang pelan2.... Surah Ash-Shof, ayat 2-3.]

Kepada entah siapa, yang telah memicu alat fikirku belakangan hari ini... kuucap terima kasih.
Berbenah memang kadang butuh "rangsangan".
Jazakumulloh.

Kamis, 16 September 2010

ulang tahun??

Tentang umur kita, yang kata orang bertambah setiap kita ulang tahun... sebenarnya adalah hasil kesewenang-wenangan kita sebagai manusia terhadap waktu. Kita mengkerdilkan waktu, dengan mengikatnya dalam satuan-satuan yang sengaja kita ciptakan. Dalam detik, dalam menit, dalam jam....

Kita yang menetapkan sekarang tanggal berapa, jam berapa, menit dan detiknya juga... lalu kita sendiri pula yang menetapkan bahwa ini adalah hari kelahiran kita. Aneh kan?

Yang lebih menarik adalah jumlah waktu yang kita jalani ternyata tidak berarti lalu meningkat nilai kemanfaatan kita terhadap orang lain [atau dunia -dengan cara pandang yang lebih nggaya]; buktinya banyak orang2 yang jauh lebih muda, ternyata jauh lebih "hebat" dari kita. Lihat saja para penemu itu, rata-rata mereka sukses di umur 30-an... duh, dah lewat deh... hiks... Bahkan banyak yang mati muda, dan hingga hari ini namanya begitu dekat dengan kita... artinya, secara kemanfaatan dia tetap "mengada". Sedang kita, [jangan-jangan] hanya eksis di FB... itu pun "cenderung" narsis... hiks

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? dengan sisa umur kita....??

Seperti pesan Agama: "sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain", maka... jadikan setiap waktu yang kita miliki, itu dapat kita jalani dengan penuh "arti". Ledakkan potensi diri, di setiap waktu, di setiap tempat, di setiap situs/website yang kita kunjungi... di setiap sms yang kita kirimkan, di setiap update status kita.. di setiap komentar yang kita kirimkan...

Karena hidup ini adalah rangkaian waktu, yang detiknya berguguran satu demi satu... tanpa bisa kita hentikan....

[ditulis sesuai pesanan Bunda Ismayani Susana, mbakyu-ku yang sedang ulang tahun hari ini]

Rabu, 15 September 2010

mengelola emosi [ekspresi keimanan]

Beberapa hari ini, emosi keimanan teruji. Di Ciketing belum juga usai, muncul hal baru di Springfield. Kesemuanya memicu "adrenalin". Memang benar kata Prof. Dr. Mukti Ali (bapak perbandingan Agama) bahwa tidak ada yang lebih membuat kita emosional kecuali itu tema agama, tema tentang keyakinan. Berarti memang sudah wajar reaksi hati itu muncul. Masalah kita sekarang adalah bagaimana mengelolalnya.

Menahan diri itu serupa berlayar di lautan penuh ombak. Ini adalah tentang bagaimana aku (ego) itu mampu menguasai diri (self). Ada beberapa resep (aku mencomotnya dari beberapa sumber):

1. Lakukan objektifikasi; dudukan masalah secara rasional. Pikirkan sebanyak mungkin kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan jika gelora hati itu kita biarkan menerpa jiwa. Tapi biasanya, kita menjawab... ya gimana dong, namanya juga lagi emosi... hehehe... karena itu perlu cara kedua;

2. Pastikan kita tetap dalam barisan; biasakan kita bergerak bersama. Kita butuh teman dalam mengelola emosi kita. Nasehat mereka itu yang kadang lebih mujarab, karena mungkin mereka memandang kita secara lebih transeden. Ingat, ketika badai menghantam kapal, seorang nahkoda tak mungkin bisa selamatkan kapal jika ia bekerja seorang diri. Harus ada para awak kapal, yang secara profesional bekerja sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Entahlah, tapi paling tidak... memikirkan dua hal di atas, membuat saya lebih tenang malam ini. Emosi sih iya... tapi berharap ekspresi kemarahan kita itu tidak memicu masalah baru. Bukankah kita sedang mencari solusi?

Wallohu a'lam

Senin, 13 September 2010

tentang Reuni

Kadang kita mengenal kata “lupa” sebagai fitrah manusia yang cenderung merepotkan kita, padahal sebenarnya “lupa” adalah bagian nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Terbayang, jika kita hidup tanpa pernah lupa, betapa penuhnya otak kita. Jika penuh oleh kenangan indah mungkin tak mengapa, tapi bukankah kenangan itu ada pula “mimpi buruk”?... dan pada kenyataannya, mimpi buruk justru lebih sulit dilupakan. Kita tidak akan berbincang tentang lupa, namun justru sebaliknya tentang ingatan. Tentang aktifitas kita yang membawa kita ke “belakang”, dan kita sering menyebutnya dengan nama “reuni”.

Reuni itu...
Reuni adalah sarana berkomunikasi dengan masa lalu. Kita dipertemukan kembali dengan orang-orang yang pernah bersama kita di hari-hari lalu. Dengan bertemu, lalu berbincang, mau nggak mau... otak kita berfikir tentang hari-hari dulu. Otak terlempar ke belakang, kadang rasa pun terbawa. Yang seringkali mengganggu adalah masalah-masalah kita di hari lalu kembali muncul. Kadang hati tiba-tiba saja ngilu. Menyesali langkah-langkah keliru kita di masa lalu. Padahal apa untungnya coba? Tapi namanya juga rasa, sapalah yang bisa menyalahkan? Jadi ada benarnya juga, jika reuni itu dianggap sekedar kegenitan kita bermain-main dengan ingatan akan kenangan.

Mungkin masalahnya ada pada “menyesalinya saja”, jika kita sempurnakan dengan “memperbaikinya”, maka reuni itu kita perlakukan sebagai sarana menjemput kembali pengalaman masa lalu yang berserakan, untuk kita susun kembali dalam kerangka solusi, dan perbaikan di sana sini. Jadi reuni bukan untuk mencongkel luka lama, melainkan mengobati luka sebagai bagian dari peningkatan kualitas hidup kita. Seperti firman Allah, dalam Surah Al-Hasyr, ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Beberapa teman berpendapat, "reuni" itu penting dalam rangka menyambung silaturahiem. Hmmm, dengan dalih ini... berarti "reuni" itu bisa menyelamatkan kita dari status "Orang-orang fasiq" dan "orang-orang yang merugi" seperti firman Allah dalam QS Al-Baqoroh, ayat 27 "(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya [-silaturahiem] dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." Ayat ini menjelaskan penggalan ayat sebelumnya tentang orang-orang Fasiq. Namun jangan lupa, re-silaturahmi tidak memandang posisi kita sekarang. Semoga bukan jadi ajang pamer pencapaian, karena Allah menciptakan kita berbeda-beda... QS Al-Hujuraat ayat 13, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Berarti paling tidak, ada dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal saat berangkat ke "reuni": (1) Semangat menjadi lebih baik, bukan sekedar genit dengan "rahsa" menyesal atau pun ber-asyik dengan kenangan saja; dan (2) semangat menyambung hati dengan silaturahiem seperti yang Allah perintahkan, bukan ajang saling berbangga diri, saling mencela dan merendahkan, insya Allah akan membuka pintu rezeki, kasih sayang dan keberkahan kita. Amien...
Wallohu a'lam

[beberapa komentar tentang Reuni coba aku tampung/kliping di sini http://arisankata.blogspot.com/2010/09/versi-di-status-putu-baca-status-teman2.html]

Jumat, 10 September 2010

energi "saling memaafkan" di hari fitri...

Kata "maaf" itu adalah sumber energi. Energi bagi kedua belah pihak, baik yang mendapatkan maaf, maupun yang memberikan maaf. Mengapa demikian? Mari kita lihat.....

Seorang yang mendapatkan maaf dari seseorang, adalah serupa terangkatnya beban yang selama ini mengganjal. Ia akan menjadi lebih "ringan", karena ada kelegaan dalam hatinya. Ia menjadi lebih bebas, bisa jadi ia akan lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya. Tiba-tiba saja ia menjadi "tercerahkan". Lalu lahir "solusi" atas masalah2 yang ia hadapi, yang selama ini "mumpet" karena terhalang "perasaan bersalah". Inilah luar biasanya mendapatkan maaf dari orang lain.

Demikian hal-nya, bagi orang yang memberikan maaf. Sedetik setelah, kalimat "aku memaafkanmu." atau gerak hati yang merelakan, memaafkan kesalahan orang lain, maka saat itu juga jiwa terasa lebih luas. Karena ia sedang membuang beban dalam dadanya... beban itu bernama kesal, benci, sakit hati, dendam, cemburu, dan banyak rasa2 lain yang lahir dari kesalahan orang lain yang menimpa diri kita.... Dengan kata "maaf", penyakit2 hati itu terangkat; seperti kuman yang terusir oleh antibiotik bernama "maaf".

Jadi wajar, jika di hari raya ini... saat begitu banyak kata "maaf" berhamburan... saat begitu banyak hati saling memaafkan, senyum yang rido, tatapan mata yang memahami sisi kemanusiaan orang lain, dan melantunkan kata "maaf" ke seluruh penjuru bumi... lihat saja di beranda facebook kita, sms, di masjid, di halaman rumah kita, di telepon, di radio, di Tivi.... maka terasa energi yang dahsyat itu memenuhi rongga jiwa kita. Kita menjadi begitu bahagia. Penuh inspirasi, bahkan kadang menjadi begitu melo dengan menitikkan air mata saking bahagianya....

Ini adalah gelombang energi "saling memaafkan".

Mari kita canangkan, hari2 yang penuh kata maaf. Pastikan kita dalam barisan ummat yang penuh semangat "saling memaafkan" tersebut, dan biarkan energi dahsyat itu membenamkan jiwa kita; dan bergetar hati kita, penuh rasa bangga dan bahagia. Wallohu a'lam.

Selasa, 07 September 2010

Marotibul Fikri..

Ini adalah tulisan seputar "cara pandang" kita terhadap sesuatu.

Latar belakangnya adalah bahwa: cara yang salah dalam memandang sesuatu bisa jadi mengubah arah dan tujuan sesuatu itu dilakukan. Contoh yang terfikirkan olehku saat ini adalah: cara pandang kita terhadap politik dan dakwah.

hmm... ini menjadi tema yang sensitif. Hehe, jadi khawatir aku terjebak pada percakapan batin yang keliru, namun ini juga bagian pemikiran yang telah melalui proses endapan dalam hati; jadi rasanya sudah siap di-dhahirkan dalam satu tulisan.

Dalam khasanah berfikir khas "tarbiyah", bahwa politik adalah bagian dari cara dakwah. Artinya, aktifitas politik adalah salah satu sarana yang dapat kita pilih sebagai salah satu cara ber-dakwah. Karena dakwah dalam pengertian yang luas adalah langkah beranjak dari "kegelapan" ke terangnya "cahaya"; dari kemiskinan ke kesejahteraan; dari kebodohan menuju ke masyarakat yang cerdas; dari kebiadaban menuju ke keberadaban... dan sebagainya.

Maka politik menjadi langkah yang sangat masuk akal, karena dengan aktifitas politik-lah kemiskinan itu dapat ditumpas, kebodohan itu dapat dilawan, dan kebiadaban bangsa itu dapat dilenyapkan; diganti dengan kesejahteraan, kecerdasan, dan keberadaban.

Aktifitas para pekerja dakwah yang juga aktifis politik, sering kali teruji dalam satu kondisi yang terdistorsi dalam dua sisi ini [politik dan dakwah]. Idealnya sih tidak ada masalah; kalau memang dapat kita dudukan secara proporsional. Namun kenyataannya, ada masalah di sini. Buktinya, banyak kesalahan-kesalahan informasi, berkembang biaknya sangkaan di antara sesama pekerja dakwah.

Penulis tidak ingin terjebak pada sekedar men-diskripsikan masalah ini, tanpa memberikan satu solusi, hingga yang terjadi justru... tulisan ini menimbulkan masalah-masalah baru. Na'udzubillahi min dzalik...

Bisa jadi, akar masalahnya adalah tidak tertibnya rukun berfikir kita [boleh dibaca: marotibul fikri]. Untuk kasus di atas, tertib berfikirnya adalah sebagai berikut: bahwa dakwah adalah tujuan, dan aktifitas politik adalah sarana yang dipilih. Konsentrasi kita pada tujuan kita, yaitu Dakwah. Ini adalah niat, motivasi, juga narasi besar kita dalam segala aktifitas kebaikan yang akan kita lakukan. Sedangkan aktifitas politik adalah salah satu sarana yang kita pilih. Fokus pada kata "sarana"; politik adalah sekedar sarana. Sehingga, cara berfikir kita inilah yang mewarnai seluruh aktifitas dakwah kita, juga aktifitas politik kita [jika diperkenankan dua hal ini dijadikan satu "dikotomi"].

Apa yang perlu dilakukan? Kita perlu lakukan "evaluasi", terhadap seluruh aktifitas kebaikan kita. Sudahkah sesuai dengan marotibul fikri kita? Jangan-jangan kita sudah terjebak; secara teori kita katakan bahwa kita sedang berdakwah lewat politik, namun dalam gerak hati kita, bergumam dengan mantab bahwa: ini adalah langkah-langkah politik kita melalui jalan dakwah yang telah kita pilih. Khawatir saja, ternyata telah lahir cita-cita baru dalam dada ini, mimpi-mimpi baru, tujuan-tujuan baru... untuk sekedar sukses di kancah politik ini...

Cara pandang kita terhadap dua hal ini [politik dan dakwah] terkesan sederhana saja, namun hati-hati... salah meletakkan tata urutannya, bisa mengubah secara drastis arah perjuangan kita; dan yang lebih mengerikan adalah terurainya jalinan ukhuwah yang selama ini begitu kokoh dan disegani oleh seluruh penduduk bumi ini...

Wallohu a'lam.

Minggu, 05 September 2010

Islam itu egaliter

Mengapa perselisihan antar kelas selalu saja terjadi?

Buruh-buruh miskin berdemo menggugat para orang-orang kaya; dari jaman renaisance sampai hari ini; bahkan di negeri kita sudah terjadi berulang kali, amuk masa berbuat kerusuhan nasional. Pejararahan menjadi ajang discount 100% di mall-mall yang akhirnya dibakar... Mereka seakan marah terhadap kemapanan, marah dan benci terhadap kesejahteraan segelintir orang. Padahal, mereka pun sebenarnya mau jika diberikan kekayaan yang sama... entahlah! dari sebelah mana kita uraiakan benang kusut ini.

Permasalahan ini sudah sering dibahas oleh para pakar. Bahkan ide-ide bertabrakan, Kapitalisme dilawan dengan Sosialisme. Tapi keduanya masih berdasarkan pada paham "materialisme"...

Padahal inilah masalahnya, kita tidak menggunakan sudut pandang yang benar dalam menyikapi perbedaan kelas. Teringat penggalan ayat di surah Al-Hujurat ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Penekanannya pada "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu" ukurannya adalah ketakwaan saja, bukan pangkat, harta, atau darah bangsawan... Islam begitu egaliter.

Nilai egaliternya Islam ini sekarang hanya menjadi materi-materi ceramah para muajih/ustadz, tidak menjadi nilai yang mengejawantah di tengah masyarakat. Terbukti betapa kita pun ikut terbawa, menilai sesuatu itu berdasar ukuran-ukuran duniawi... dan menyebalkannya lagi, kita sering berdalih ini adalah hal yang manusiawi...

Padahal, sejatinya... nilai-nilai inilah yang diusung Islam ketika turun di tanah arab waktu itu. Dan para pembesar Quraisy itu menentang Islam terlebih pada ketakutan mereka bahwa nanti setelah Islam menjadi agama Bangsa Arab, mereka akan kehilangan kemuliaannya.

Saatnya kembali berbenah, kembalikan nilai-nilai egaliternya Islam ini dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sering-seringlah kita gumamkan dalam hati kita: "Inna akromakum 'indallahi atqokum" agar nilai itu ter-internalisasi dalam hati kita, dan kita bisa memandang apa pun di muka bumi ini dengan ukuran yang memang Allah ijinkan. Bukan dengan ukuran duniawi yang "cemen" itu.

Wallouhu a'lam.

Kamis, 02 September 2010

membaca ayat sebagai "kesan" bukan sekedar "pesan"

Mereka, para Shahabat Rosulillah itu membaca "Ayat-ayat Allah" dan juga sabda Rosulullah SAW, tidak sekedar sebagai "pesan" melainkan juga "kesan".

Pesan itu berjarak, ia bergerak dari pemahaman (aktifitas otak) ke pemahaman yang lain; sedang kesan itu lebih dekat, akrab, karena ia bergerak di ranah hati, rasa, juga aktifitas jiwa.....

Bukti mereka (para Shahabat itu) membacanya dalam kerangka "kesan" adalah:
1. Abu Bakar seringkali tak sanggup meneruskan bacaan Al-Qur'annya tanpa air mata... ia begitu detail mem-visualisasikan makna yang terkandung di dalamnya;
2. Ali bin Abi Thalib, dengan indahnya abaikan rasa sakit ketika ia sedang shalat;
3. Abu Darda' yang gumamkan kata "jannah...jannah" pada saat berhadapan dengan hunusan pedang dan mata tombak pasukan musuh... seakan Surga itu bergelantungan di kelopak matanya....
4. dan masih banyak contoh lainnya....

Saatnya hadirkan segenap hati, saat kita lantunkan ayat-ayat SuciNya; hingga jiwa tak lagi dahaga... terpuaskan secara ruhani, sebagai hamba yang selalu merasa begitu banyak mendapat limpahan Cinta-Nya secara utuh dan menyeluruh...

Wallohu a'lam.

Jumat, 27 Agustus 2010

Doa syukur-ku memilikimu...

waktu, aku, dan cinta
bergerak bersama, walau kadang berbeda arah

waktu bergerak terus maju;
hingga suatu saat hantarkan aku di stasiun kematian

aku mengendarai sang waktu,
kadang terlempar ke belakang oleh kenangan,
kadang terpental ke depan oleh impian...

dan cinta,
bergerak tidak linier
bahkan sering menembus batas hati

dan padamu, dik
cinta ini aku tautkan;
hingga boleh kau seret ia kemana kau suka
dalam kemasan sakinah, mawadah dan rahmah;
dalam ketenangan, gelora, namun juga kasih dan sayang....

hingga ke "Jannah" kelak, kita masih tetap bersama.
Amien....

Kamis, 26 Agustus 2010

stasiun waktu;

Waktu mengunyah semua kejadian,
esok hari menjadi hari ini,
hari ini menjadi kemaren,
kini menjadi konon...

Dan otak kita serupa saringan,
memilah semua menjadi berbagai jenis,
ada yg terlupakan,
ada yg berlalu saja,
ada pula yang mengental menjadi kenangan yang mengendap di pangkal otak kita....

Yang sering tak kumampu, adalah melenyapkan kenangan2 gelap itu...
Menjadi mimpi buruk, yang rutin...
bahkan kadang muncul walau hanya sesaat aku pejamkan mata [pahsuju]

Di sudut ruang membuka kembali kotak kenangan dari stasiun stasiun hidup yg dilewati, 'kisah kelasik untuk masa depan' [eko widodo gustany]

Dan setiap mencoba beranjak, selalu saja terasa ada yg tertinggal... Dan termenung....entah di stasiun yang mana? [pahsuju]

Seperti pemulung sang waktu memunguti sampah2 ingatan dikoridur ruang tunggu stasiun yg akan membawa pada masa depan [hirzul]

(dicopy-paste dari statusku di facebook, lalu dibumbui komen dari beberapa teman...)

Minggu, 22 Agustus 2010

Jihad

Apa sih sebenarnya pengertian Jihad?

Mencoba menjawabnya dengan membaca ulang sirah sahabat; bagaimana mereka menyikapi ketakutan dalam hatinya, ketika terjebak dalam satu kondisi, yang kematian menjadi begitu akrab.... dengan keimanan mereka, hasilnya luar biasa. Mereka lenyapkan ketakutan itu, bahkan beberapa dari mereka melihat surga di pelupuk mata mereka, padahal kematian begitu dekat.

Denting pedang, perisai, anyir darah, dan nyali menjemput atau menghindari maut, menjadi nada dari simponi besar itu....

Mungkin jihad itu memang... usaha mengoptimalkan seluruh potensi; lakukan sesuatu dengan segenap kemampuan, hingga menembus batas kemampuan kita.... Wallohua'lam.

menyikapi benturan menjadi bagian dari kebangkitan

tabi'at kita memang, merasa lebih nyaman ketika kita lebih rapih; rapih dalam berencana, rapih dalam laksanakan tugas, rapih dalam evaluasi tugas-tugas lalu.

Seperti ketika kita merencanakan sesuatu, kita berhitung, pertimbangkan semua kondisi yang mungkin akan terjadi. Bahkan bila perlu, menimbang-nimbang kejadian di masa lalu sebagai bahan masukan dalam mengantisipasi kejadian yang mungkin terjadi. [Fiqh Sejarah].

Tak lupa juga, kita melihat kejadian-kejadian yang belakangan ini terjadi. Karena bisa jadi mempengaruhi keputusan yang kita ambil. [Fiqh Waqi'/Fiqh Realitas]

Lalu saat kita mencoba bangkit, semestinya kita pakai cara yang paling lembut dalam menyikapi benturan [Fiqh Sunnah]

Berharap banyak belajar hari ini; namun tetap saja ada sesal dalam dada. Perlu lebih bersungguh-sungguh dalam mengoptimalkan segala potensi. Wallohu a'lam.

Senin, 16 Agustus 2010

Tentang Al-Qur'an;

Belajar tentang Ta'riful Qur'an: "Kalamullohil Mu'jizu wal munazzalau 'ala qolbi Muhammad SAW, wal manqulu bittawaturi, wal muta'abadu bi tilawatihi."

Al-Qur'an itu:
(1) Kalam Allah; adalah cara Allah berkomunikasi dengan hambanya

(2) Mu'jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan karakter ummat akhrir zaman yang membutuhkan pedoman yang jelas dan gamblang, menuntun hidup, yang menjelaskan struktur penataan hidup bermasyarakat yang universal dan integral....

(3) Diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW; menjadi bukti kebutuhan kita untuk mempelajari seluruh kehidupan Rosulullah SAW, jika ingin belajar tentang Al-Qur'an;

(4) Diriwayatkan secara mutawattir; Al-Qur'an turun secara bertahap, dengan latar belakang Asbabun Nuzul yang kontekstual, sehingga dalam memahami Al-Qur'an kita juga perlu belajar tentang syirah Sahabat secara utuh pula;

(5) Membacanya bernilai ibadah; membaca setiap huruf dalam Al-Qur'an adalah bernilai satu kebaikan...

[setelah membaca "Modul Tarbiyah Islamiyah" di bab "Ta'riful Qur'an"; berharap semakin termotivasi untuk lebih akrab dengan Al-Qur'an...]

Selasa, 10 Agustus 2010

Ramadhan, mau kita isi apa?

ramadhan 1431 H; saat tepat berbenah.

Ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk mengisinya:
1. Tarkiyah [peningkatan diri]
paling tidak ada peningkatan kualitas hubungan kita dengan Alloh, semakin akrab dengan Al-Qur'an...

2. Tazkiyah [menyucikan diri]
proses perenungan diri yang maksimal, menjadi sarana yang tepat berbincang dengan diri; bermetamorfosis dari ulat yang penuh maksiat menjadi Kupu-kupu yang penuh manfaat dan produktifitas tinggi...

3. Tausi'ah [ekspansi kebaikan]
melakukan menebaran benih-benih kebaikan di setiap kesempatan; dengan perencanaan yang matang dan koordinasi dengan semua potensi kebaikan yang ada di sekitar kita...

oleh-oleh dari ust. DH Al-Yusni, saat tarhib di Bantargebang.

Jumat, 06 Agustus 2010

negeri di genangan luka

ketika anak panah terlanjur terlepas, kita sesali dan salahkan si busur atau kita cepat lihat luka yang ditimbulkan anak panah itu dan bersegera mengobatinya......

biarlah anak panah itu ada yang mencabutnya
dan biarkan luka itu sembuh dg sendirinya...

tapi ngilu dan perih luka yang ditimbulkannya tak mudah pulih.... seperti derit mata kapak terseret merobek lantai kapal.... bagaimana sanggup menunggunya sembuh dengan sendirinya?

sebagaimana hidup di negeri ini, luka itu akan disembuhkan luka luka yg baru...

dan hidup di negeri luka itu... bertahan, nyeri dan geraham dikatupkan; menanti belatung2 itu datang, menghisap setiap perih yang tersisa dalam koreng jiwa...

Hanya sepotong bunga api yg mungkin saja bisa mengeringkan luka itu
dan bunga api bernama revolusi itu menyelimuti luka suka dan luka duka kita
ahoi...hari ini masih banyak yg mati

[ini adalah sajak yang lahir di facebook; percakapan antara aku dan bung Edhi Prayitno Ige]

Selasa, 03 Agustus 2010

rasa bahagia....

Mungkin dirimuh juga pernah merasakan....

Ketika udara yang kita hirup tiba-tiba saja berubah lebih segar; cahaya matahari menjadi lebih terang, dan kicau burung tiba2 saja terdengar....

Aku memang pernah merasakannya, dulu... bahkan sebenarnya sering aku rasakan.

Ketika senyum di bibir ini tak lagi kuasa aku sembunyikan; dan semua wajah yang aku temui pun seakan terus tersenyum; tiba-tiba saja ada kupu2 beterbangan... banyak bahkan, mereka memenuhi taman hati kita; tidak ada lalat, karena tiba-tiba saja aroma bunga semerbak menembus lubang hidung, dan nafas seakan penuhi dada dengan semangat yang menghentak-hentak...

Mungkin kita semua memang pernah merasakannya...
mungkin pula ini yang kita anggap sebagai rasa bahagia; entahlah...

Yang jelas, aku ingin... rasa ini, terus ada; di sepanjang hari-hari kita.
mau kan??

Senin, 02 Agustus 2010

bukan hanya uang, keringat, bahkan darah pun mengalir untuk Al-Ghanniy

Hari Ahad, tanggal 1 Agustus 2010, adalah awal bulan Agustus yang indah.

Di Perum Bumyagara dan Graha Harapan, khususnya di blok F dan blok A, ada aktifitas yang menarik. Diawali perbincangan di Lapangan Voli Blok F [yang menjadi tempat solat berjamaah pengganti, selama Masjid Al-Ghanniy direnovasi] ba'da Sholat Shubuh, dan pak Enda -ketua pembangunan masjid Al-Ghanniy- mengumumkan rencana kerja bakti untuk para jama'ah Masjid Al-Ghanniy di pukul 07.00 pagi. Lalu kesibukan itu pun di mulai, bapak-bapak dan anak-anak laki2 bersama bersihkan puing2 bangunan masjid lama, sedangkan ibu-ibunya sibuk bersiap sajikan minuman dan makanan kecil. Hasilnya, menjadi menu yang cukup beragam. Ada kopi, teh panas, sirup dingin, juga aqua gelas; makanannya juga seru: pisang goreng, pisang molen, tempe, tahu dan aneka gorengan lainnya....

Dengan peralatan seadanya, para jamaah membongkar tembok masjid lama. Memang sejak awal sudah ada kekhawatiran akan terjadi kecelakaan kerja, karena memang prosedur standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) banyak yang dilanggar. Dan kekhawatiran tersebut terbukti, saat kaki pak Wahid tertimpa puing. Demikian juga pak Buhori, hingga menghasilkan 4 jahitan di kepala, lalu mas didi f 10a , tertusuk paku cukup dalam;pak Agus f 7 juga kena paku dan jamaah lainnya yg mungkin terkena "kecelakaan kecil" lainnya seperti pak enda dan pak suryanto .. :)insyaalloh menjadi saksi ... alhamdulillah semua kejadian tersebut cepat mendapat penanganan medik yang memadai.

Ternyata memang bukan hanya uang, keringat, bahkan darah pun mengalir untuk Al-Ghanniy. Alloh pasti Melihat kesungguhan jama'ah, dalam membuktikan "rasa memiliki" masjid tercinta "Al-Ghanniy". Karena semua berharap, ibadah di bulan Ramadhan tahun ini dapat dijalani di bangunan baru masjid ini.... semoga.

Perjuangan memang belum selesai, masih perlu banyak dana, tenaga, juga perhatian yang besar dari kita semua, agar pembangunan masjid Al-Ghanniy ini dapat terus dilanjutkan. Tetap Semangat, Alloh pasti Bersama Kita....

Jumat, 30 Juli 2010

Dosa itu apa...

jelang ramadhan, kok jadi keingetan dosa.

Begitu banyak, mengental di bilik kenangan. Dosa-dosa yang konon saat itu terjadi, aku justru menikmatinya. Hiks... Menyesalnya di kemudian hari, dan nadam itu bisa menjadi begitu sakit.

Sebenarnya terbuat dari apa "rasa berdosa" itu? Mungkin berawal dari pemahaman atas pelanggaran, lalu pelanggaran itu justru terjadi dengan pengingkaran pada awalnya. Dan di kemudian hari, ketika kesadaran itu datang... perih yang menyayat hati. Lalu kebingungan untuk memperbaikinya. Mungkinkah masih bisa diperbaiki? dan kekhawatiran jika nanti datang lagi "panggilan" untuk melakukan dosa itu... aku tak sanggup menolaknya. Hiks...

Berharap bisa, temukan cara yang efektif menghindarinya, dan kekuatan untuk menolaknya saat ia datang menggoda.. Semoga.

Selasa, 27 Juli 2010

teranggurkan...

tawa sumbang di tepi pematang,
lelaki usang paruh baya....
kehilangan kewarasan,
setelah gempita kota menelantarkannya...
gelar sarjana jadi tiada makna;

menggelandang bertahun-tahun tanpa kerja,
berarti pula tanpa sandang dan pangan yang layak...
perlahan-lahan... raiblah kemanusiaannya.
menjadi kucing,
menjadi kucing garong,
menjadi tikus,
menjadi tikus got....

dan
semua berakhir di sini...
di tepi pematang,
lelaki usang paruh baya....
kehilangan kewarasan.

Jumat, 16 Juli 2010

Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang di suatu pagi





"Pagi gelap, seakan matahari telat terbit padahal ia hanya sembunyi di balik mendung; walau gelap, orang2 tetap bergerak cepat, jd ingat bagaimana dayang sumbi kalahkan sangkuriang, memutar balik hubungan casualitas, aktivitas pagi kita pengaruhi kokok ayam bahkan fajar terbit lebih dini...."


Itu tadi adalah status-ku di FB. Kata seorang teman, kok "gak nyambung". Bener sih... ini memang sekedar catatanku setelah berlarian mengejar omprengan. Yang terfikir olehku kok malah Dayang sumbi-Sangkuriang atau Roro Jonggrang-Bandung Bondowoso. Kenapa?

Karena di dua kisah itu, Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang sama-sama ingin mempercepat pagi dengan melakukan aktivitas pagi lebih dini, dan akhirnya ayam jantan berkokok, dan fajar pun terbit. Kan aneh, karena yang sebenarnya terjadi itu sebaliknya. Fajar terbit, ayam jantan berkokok, barulah kita mulai aktivitas pagi.....

Hehehe... semakin nggak jelas ya. Ini memang sekedar apa "yang terfikir" di suatu pagi. Antara waktu, matahari, jarum jam di alroji kita, dan aktivitas kita.... jika ternyata Matahari memang bergerak lebih lambat, akankah kita salahkan jarum jam kita atau gerak mataharinya? Lalu kapan sebenarnya jam 7.30 pagi itu? karena matahari atau jarum jam kita? Atau jangan2 ada Roro Jonggrang dan Dayang Sumbi di suatu tempat... dan dia berusaha mempercepat datangnya pagi....

[catatan ngaco, dari seorang pegawai; yang akhirnya telat datang ke kantor, sama telatnya dengan sinar matahari yang tertahan mendung tebal menggantung]

Kamis, 08 Juli 2010

Rumah Kata itu Rumah kita....


Ada fenomena, dalam suatu keluarga, setelah beberapa tahun berjalan bersama, kok tiba-tiba saja menjadi "garing". Suami semakin sibuk, dengan berdalih mencari nafkah, berharap mendapat cukup perhatian dari Istri setibanya di rumah. Sementara Istri pun berharap perhatian lebih dari suaminya, setelah capek mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga. Alhasil, keduanya bertemu dalam satu perselisihan. Atau jika tidak, mereka bertemu dalam kondisi yang sama-sama tidak menyenangkan. Muka cemberut, mata kuyu, bibir manyun... lengkap lah sudah.

Demikian halnya sang anak; terus mencari perhatian kedua orang tuanya... kadang sampai ia putuskan untuk berbuat "nakal" demi mendapatkan perhatian dari ayah ibunya, walaupun tentu.. perhatian itu berupa bentakan dan cubitan... mereka rela, yang penting dapatkan sentuhan dari orang tua mereka.

hiks..

Semuanya berawal dari komunikasi yang terganggu. Tidak ada sarana yang memadai untuk para anggota keluarga itu mencurahkan isi hatinya. Ibarat air, dalam selokan yang mampet, tentu saja meluap... menjadi marah, kesal, benci!

Jika anda masih ingat, bagaimana Rumah Kata dibangun, bagaimana lintasan kata dalam hati, dalam lesan, juga dalam otak kita... dapat dikelola secara serius. Ya di Rumah Kata-lah tempatnya...

Di manakah Rumah Kata itu? Rumah Kata ada di sini, di rumah kita. Ya, di rumah kita.

Teruslah belajar, bagaimana berkata-kata. Bagaimana mengelola kata itu dalam kehidupan di rumah tangga kita. Bagaimana pola komunikasi yang selalu mesra antar pasangan. Bagaimana orang tua bisa selalu merasakan apa yang dirasakan anaknya... hmmm
rasanya indah sekali.

Jumat, 18 Juni 2010

QS 2: 208

Mengunyah perlahan QS 2:208, betapa Islam itu menelan bulat2 seluruh hidup kita, memang semestinya WAWASAN KEBANGSAAN itu mewarnai setiap AGENDA DAKWAH kita; hingga lahir-lah Dai yang Pejabat, Dai yang Birokrat, Dai yang Pedagang, Dai yang Seniman, Dai yang Direktur, bahkan Dai yang Pramuka!! Saatnya setiap kita ambil bagian dari pengelolaan Bangsa ini.

Jika mau buktikan bahwa Islam memang rahmatan lil'alamien, rasanya memang sudah saatnya kita lebih luas memandang amanah sebagai "kholifah" di bumi ini. Bahwa semestinya kita mengambil peranan lebih luas untuk berkonstribusi lebih jauh dalam pengelolaan urusan Bangsa ini. Dalam semua sektor; IPOLEKSOSBUDHANKAM. Tentu menjadi konsekuensinya adalah bahwa kerja dakwah ini menjadi lebih berat. Ruang lingkupnya menjadi lebih luas, dan ini membutuhkan perencanaan yang matang. Paling tidak, di bidang SDM-nya, kita butuh "ragam kompetensi".

Kamis, 10 Juni 2010

bersamamu dalam waktu

uff.. betapa waktu terlipat-lipat oleh kenangan dan ingatan kita; hiks!

Waktu memang terus bergerak, namun otak kita... yang bermodalkan ingatan juga kenangan sesekali menarik kita ke belakang; dan dengan mimpi dan harapan kita justru terlempar jauh ke depan... hanya dengan tetap bersamamu aku berharap mampu bertahan di hari ini....

Jumat, 04 Juni 2010

sportifitas gaya ibu Susetyo Utami

Salah satu pesan ibu yang masih sangat teringat adalah "Jangan lari dari akibat yang sebabnya telah kita lakukan..."

Kalimat ini saya simpan; karena rasanya pesan ini bisa menjadi pilar penting dalam menjaga diri kita dari sikap curang. Karena keinginan lari dari akibat yang sebabnya telah kita lakukan adalah bibit dari 'kecurangan'. Karena kita melawan hukum kasualitas, hukum sebab akibat.

Masih teringat dulu, kalau kita tidak mau belajar sungguh-sungguh saat menghadapi ujian, maka kata ibu "jangan kaget kalau nanti hasil ujiannya mendapat nilai buruk". Anak yang sering menyontek, sesungguhnya diawali dari ketakutannya mendapatkan nilai buruk, sementara ia memang kurang bersungguh-sungguh untuk belajar... kalau memang tidak belajar dengan benar, jadi wajar dong kalau nanti kita dapatkan nilai buruk...

Ini prinsip sportifitas yang indah, cikal bakal lahirnya integritas. Jika kita memahami betul hukum kasualitas, dan menerima hukuman itu adalah hal yang sewajarnya untuk seorang yang melakukan kesalahan, maka tak ada lagi orang2 yang sibuk membela diri, sibuk menyembunyikan dosa2nya, mencoba lari dari hukuman atas kesalahan yang memang telah ia lakukan.

Rabu, 12 Mei 2010

merencanakan kebaikan

Kebaikan memang harus direncanakan; dikondisikan... sehingga yang menjalankannya menjadi nyaman, dan yang meninggalkan kebaikan itu menjadi malu dan sungkan. Namun seringkali, kita justru malu dan sungkan merencanakan kebaikan itu; dan berdalih enggan disebut riya' dan pamer; hmmm... jika kebaikan itu begitu populer, wajar dan biasa banget... maka untuk apa malu?

Kalimat di atas, pernah saya jadikan status di FB; sebenarnya terinspirasi oleh kegigihan seorang teman dalam memopulerkan tradisi "Qiyamul Lail". Dia begitu sering meng-update statusnya di FB dengan ajakan-ajakan agar besok dini hari bangun untuk sholat malam. Bahkan tidak hanya itu, rajin sekali ia meng-SMS kami, mengingatkan untuk Qiyamul Lail.

Kebiasaan itu, mendapatkan respon yang berbeda-beda. Ada yang memujinya, namun ada pula yang mengganggap hal tersebut adalah "lebay". Saya cenderung ikut yang pertama. Bagi saya, inilah "dakwah". Bagaimana membumikan nilai-nilai kebaikan. Semakin sering tradisi Qiyamul Lail itu kita bahas dalam update status FB kita -misalnya- akan semakin populer tradisi ini... menjadi satu hal yang wajar. Jika sudah demikian, maka para pelaku kebaikan itu menjadi lebih nyaman... tidak perlu khawatir bersombong dengan kebaikannya, karena "kebaikan" menjadi begitu biasa dan wajar. Demikian sebaliknya, orang-orang yang meninggalkan kebaikan itu akan merasa tidak nyaman, dan sungkan.

Lihat deh, bagaimana tradisi Jilbab yang menjadi semakin modis dan populer; atau merokok yang sekarang menjadi semakin tabu dan "nggak nyaman" banget. Ini adalah peran "dakwah" tadi.

Ya... Kebaikan memang perlu direncanakan, juga dikondisikan. Ayo, kita populerkan kebaikan... sehingga orang baik menjadi begitu "keren", dan orang-orang jahat nampak sebagai "pecundang". Semoga....

Senin, 10 Mei 2010

petualanganku, petualanganmu, dan petualangan kita....


Dulu aku pernah membagi dua cara "belajar", (1) Pengamatan, yakni proses input data dari seluruh kejadian di muka bumi ini, dan (2) Perenungan, yakni proses pengolahan data. Hari ini, aku memilih kata "petualangan" mungkin dia berperan sama dengan proses pengamatan, yakni proses input data. Kata ini terfikir olehku, setelah beberapa hari ini aku menjalani satu petualangan yang cukup beragam, sementara dirimu tidak. Ada kekhawatiran, menjadi kurang berimbang; dan tentu menjadi potensi masalah di kemudian hari.

Petualanganku ini menjadi "beragam", karena hampir setiap dua pekan, aku mendapat tugas Dinas Luar dari kantor. Sehingga banyak kota-kota besar di Indonesia aku kunjungi. Belum lagi ada jadwal mengajar di akhir pekan, yang sering kali memaksa aku bertemu dengan karakter-karakter manusia dari segala jenis, dan ini tentu bisa disebut sebagai bagian dari petualangan. Semua itu tidak dialami olehmu.

Mengejar ketertinggalan itu, aku tawarkan beberapa solusi. Pertama, tentu kita harus luangkan waktu khusus, untuk menjalani "petulangan" bersama. Sehingga porsi petualanganku, dan petualangan kita bisa berimbang... atau dengan cara meleburkan "petualanganku" ke dalam "petualangan kita".

"Bagaiamana caranya...?"
Adalah dengan rajin bercerita tentang apa yang aku alami. Sedetail mungkin. Aku juga sisipkan "kesan" yang aku tangkap dalam setiap petualangan itu. Berharap dirimu bisa ikut merasakannnya....

Mungkin hasilnya akan berbeda, namun ini adalah ujian untuk kemampuanku berkomunikasi. Hehehe... aku harus penuh ekspresif, dan dirimuh juga kudu imajinatif.

Setiap bepergian tanpamu, aku ingin terus bingkiskan "cerita-cerita" itu. Tentang apa pun. Bahkan hanya tentang aroma rumput yang berbeda di setiap kota yang pernah aku kunjungi... aku ingin kau juga merasakannya.

Kamis, 29 April 2010

belajar dari Muhammad Yunus


“Suatu hari cucu-cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan” - dikutip di "The Independent", 5 May 1996 -Muhammad Yunus-.

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan kesempatan menikmati satu seminar yang diadakan di kantor. Di akhir sesi, sang pembicara memutarkan film pendek tentang Muhammad Yunus -peraih Nobel- dari Bangladesh. Melihat perjalanan perjuangan dia dalam melawan kemiskinan, memberikan banyak pelajaran. Dia begitu bersungguh-sungguh dalam mempelajari ekonomi kemiskinan, dan terus berusaha menjadi bagian dari pengentasanan ummat manusia dari kemiskinan.

Bermula dari pertemuannya dengan seorang pengrajin yang miskin yang begitu tekun dalam bekerja; sehingga hasil karyanya demikian bagus, namun tetap saja miskin karena harga jualnya sangat murah. Mengapa harga jualnya menjadi begitu murah? karena ternyata dia terjebak dalam hutang dengan bunga yang tinggi. Jadi ia tidak memiliki nilai tawar dalam penetapan harga produksinya. Artinya, dia miskin karena sistem yang tidak mendukung. Bukan karena kemalasannya. Fakta inilah yang menjadi latar belakang Muhammad Yunus membuka Grameen Bank - Bank untuk rakyat miskin -.

Seharusnya orang miskin lah yang patut mendapatkan pinjaman, bukan hanya orang kaya yang dapat memberikan jaminan. Pada tahun 1976, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Hinggal saat ini, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari 3 miliar dolar ke sekitar 2,4 juta peminjam. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok ini mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

Bagaimana dengan kondisi kita? Masih ada tetangga kita, yang harus bekerja banting tulang tanpa bisa menikmati hasil kerja keras-nya, karena mereka terlilit hutang dari para rentenir. Mereka menjadi "ketergantungan". Rasanya hutang ribawi ini nyaris sama dengan NARKOBA, menjalar merusak roda perekonomian kita. Menggerogoti "kesejahteraan" yang menjadi mimpi kita.

Apa yang bisa aku lakukan? paling tidak, lewat Yayasan LAZDAS INDONESIA peran kecilku dapat tersalurkan. Menjadi satu jawaban nanti di yaumil hisab; Wallohu A'lam

Rabu, 28 April 2010

mencari tahu apa itu "bosan"


Seorang teman menulis kata "boseeen" di statusnya. Ketika aku tanya "kenapa tuh?". Dia jawab, bosen dengan keadaan di sini...

Percakapan yang biasa-biasa saja. Tapi jadi terfikir, bosan itu memang hal yang menyebalkan. Sesuatu yang menyebalkan yang bisa saja kita alami. Jika demikian, kenapa tidak kita cari tahu apa sebenarnya "bosan" itu, sehingga kita bisa mengantisipasinya. Kesannya sepele, tapi bayangkan kalau bosan itu dirasakan untuk hal-hal yang pokok. Bosan terhadap tugas-tugas penting kita. Contoh, seorang suami yang tiba-tiba bosan pergi bekerja, atau sebaliknya istri yang tiba-tiba bosan mengurus anak. Atau seorang kiper yang bosan menangkap bola... atau seorang manusia yang bosan bernafas.. wah bahaya kan?

Saat pulang kantor bersama istri tadi, sempat aku tanyakan ke dia, sebenarnya apa sih bosan itu? ada beberapa kata yang melatarbelakangi kata bosan; ada "keadaan yang berulang","monoton", "keadaan yang tidak menyenangkan", "sesuatu yang tidak menarik".

Awalnya mungkin memang karena sesuatu itu terulang berkali kali. Namun itu saja tidak cukup, karena sesuatu yang berulang, jika didukung suasana hati yang menyenangkan tentu menjadi tidak masalah.

Jika selalu terulang, dan mungkin juga tidak menarik... masih bisa juga tidak menimbulkan kebosanan, jika saat sesuatu itu ditinggalkan, ada hal yang sangat tidak menyenangkan; sehingga perulangan itu menjadi satu keniscayaan untuk menghindari suasana yang tidak menyenangkan itu. "bernafas" misalnya.

Menghubungkan kata "terulang" dan "menyenangkan" itu ada ritme. Yaitu irama hidup. Irama inilah yang menyebabkan satu lagu menjadi indah, perulangan itu justru menjadi tempat buat nada untuk ber-improvisasi. Jika hidup kita membosankan maka saatnya kita bangun kembali irama hidup kita. Kita mungkin bisa belajar dari bunyi drum, suara bas, dan hentakan perkusi... karena merekalah yang menjaga irama dalam satu lagu. Para penjaga irama lagu itu biasanya tidak suka menonjol, walau begitu sesekali mereka harus berani ber-improvisasi, melompat "sedikit" dari tatanan normal. Tidak untuk beranjak meninggalkan, hanya sekedar memberi warna yang berbeda.

Irama dalam menjaga hidup kita dari kata bosan, sering kali terdistorsi seiring berjalannya waktu. Perlahan-lahan keindahan irama yang kita mainkan menjadi sumbang, karena pengulangan itu bertubi-tubi menggilas kita.

Teringat firman Alloh dalam surat Al-Insyiroh ayat 7-8: "maka apabila telah selesai dari satu urusan, lanjutkan dengan bekerja keras untuk urusan yang lain; dan hanya kepada Tuhanmu-lah engkau berharap". Dalam memainkan ritme itu kita tidak boleh berhenti, seperti riak ombak yang konstan memukul pantai, berlapis-lapis... satu kembali ke laut, disusul yang lain datang berdebur....

Dan yang lebih indah adalah, pada ayat ke-8; diingatkan bahwa hanya kepada Alloh-lah kita berharap. Ini adalah resep menghindari kebosanan, lakukan terus menerus dan serahkan harapan hanya kepada Alloh.

Wallohu a'lam.

Senin, 26 April 2010

untuk wanita terindah yang pernah aku kenal di muka bumi ini....

“dirimuh yang cantik; banget bahkan..”
“please deh...lebay.com”
“aku nggak kuat je, nyimpen pujian untuk mu”
“aku jd malu.. aku jg gak kuat mendengar pujianmu”
“hmm... maaf..”


dengan senyum manis itu,
bagai bidadari yang turun ke bumi
untung selendangnya dah aku simpan...
tak bisa lagi ia terbang...
aku simpan hatinya di rongga dada-ku
hingga degub jantungnya ikut terasa di setiap nafasku
setiap nafas.. aku sisakan sedikit dalam dada... berharap bisa berjumpa dengan detak hati sang bidadari....

“selendangnya tidak di simpan pun aku tidak akan terbang,krn aku bersyukur sekali punya suami yg baik dan penuh cinta”
“hmm...”
“pujian mungkin mengeyangkan, namun tetep tak sanggup cukupi nutrisi tubuh.. tetap saja perlu makan beneran”
“masa sih?? mentang2 dah sarapan bisa nasehatin.”.
“iye dong”
“gitu dong..:)”
“aku pingin sehat untukmu, biar lebih lama ada disampingmu”
“makasih sayang...”

“biar bisa lebih lama menatap mata indah itu”
“melambung niy...kayaknya butuh pegangan yg kuat biar bisa menahan diri ini tidak terbang”


jangan terbang...
kasihan mentari...
dia kalah indah..
matahari, awan (yang begitu aku kagumi itu..) tenggelam dalam senyummu....

dan riak ombak yang begitu sering menginspirasiku itu..
tak sanggup saingi genangan matamu;

melalui kornea mata itu... aku berharap menembus ke dalam-mu
menjadi bagian dari setiap yang kau fikir...
lalu terus ke dalam,
menghujam dalam rongga dadamu
berendam dalam hatimu
menjadi bagian dari setiap rasa
menjadi bagian dari setiap kebaikan yang kau niatkan
menjadi bagian dari setiap mimpimu

“maaf ya,aku tidak bisa berkata2 seindah dirimu”
“tidak perlu.. sekedar bayanganmu pun sudah lebih dari cukup”

Tentang Harga Diri;


(percakapan dengan awan, bulan, ombak, dan suara di rongga kepala...)

Awan putih tergores indah, pada kanvas biru langit. Hangatnya air laut, juga riaknya menggoda punggung dan kakiku. Irama yang ada, justru hanya dengung karena sebagian air itu menutupi gendang telinga, namun sayup terdengar suara di rongga kepalaku; dan entah kenapa, ia bercerita tentang ketulusan, juga tentang belajar bagaimana menjalani hidup yang sepi dari kata ingin. Ia juga bercerita bagaimana badai amanah itu yg terus datang menghadang, dan layar jiwa kita tak henti-henti berjuang menunaikannya.

Di sisi langit yang lain, ada bulan pucat. Ia terbit terlalu cepat, karena matahari senja belum juga tenggelam. Walau terasa “malu-malu”, ia tetap saja menambah keindahan suasana. Perlahan, ia bergumam. Seolah berharap bisa ikut bercakap-cakap dengan kami, dan awan yang merasa sebagai moderator, mengangguk perlahan, membiarkannya bulan bergumam lebih lama. Ia bercerita bagaimana rangkaian kata “harga diri” itu lahir. Mengapa banyak manusia justru menggunakan dua kata ini sebagai alasan sakit hatinya? Atau justru menjadikannya alasan ketika mereka marah?

Aku mulai terusik. Perbincangan tentang harga diri ini, menjadi teramat menarik. Bagaimana seharusnya kita memaknainya? Adakah dalam salah satu tugas hidup kita itu membela harga diri? Harga diri yang macam apa? Kita seakan sepakat, jika kita diludahin orang tepat di muka kita, maka menjadi sah-sah saja bagi kita untuk menampar sang pelakunya, menghajarnya, atau menginjak-injak mukanya di depan umum. Tentu dengan dalih harga diri. Walaupun setelah berlalunya waktu, seringkali kita tersadar, respon kita tersebut tidak membuat harga diri kita di mata orang lain meningkat. Mungkin hanya semata membuktikan kepada orang-orang, bahwa kita juga bisa marah. Jika kita mencari literatur sejarah, bagaimana Rosul begitu ringan hati untuk terus membersihkan kotoran Unta yang dilemparkan ke bajunya setiap ia berangkat ke masjid; dan itu dilakukan berulang-ulang. Tidak ada lemparan balasan, atau suara kasar, atau tindakan marah lainya yang sangat mungkin kita lakukan jika mendapatkan perlakuan demikian, yang ada justru tatapan sayang penuh perhatian sang Rosul, ketika menengok si Pelaku pelemparan kotoran unta itu yang sedang terbaring sakit.

Lalu harga diri macam apa, yang selama ini kita gunakan sebagai alasan “sakit hati” kita? Atau kita jadikan latar belakang ketika kita memutuskan melakukan “marah” yang sah? Jangan-jangan kita yang salah menghargai diri kita, atau paling tidak kita yang salah memilih sudut pandang dalam mensikapi dua kata “harga diri” itu.

Bulan, awan, dan riak ombak menampar masih setia menemaniku. Mereka teman yang baik dalam perbincangan. Mereka lemparkan tema, lalu membiarkan aku mencercau sendiri, dan mereka tetap setia menjadi pendengar. Terima kasih, teman.

Pantai Bulakan, April 2010.

Kamis, 22 April 2010

kekekalan energi??

Ini memang pasti terjadi; kata orang2 tua dulu pun memang begitu. Bahwa pada suatu saat, kita akan merasakan begitu capek... begitu lelah. Tiba-tiba beban hidup ini begitu berat, rasanya tak kuasa lagi aku pikul sendiri...

Namun terhadap sesuatu yang memang dapat direncanakan, mestinya kita dapat antisipasi.Dengan membangun satu sistem yang mandiri: recharging semangat dengan tetap menjalani tugas2 yang diemban.

Salah satu cara melawan kemalasan adalah (kata ust. Mahfudz Shiddiq) dengan terus beraktifitas ... kemalasan tidak akan pernah berhasil kita lawan, jika kita biarkan tubuh kita terbuai dalam kemalasan itu.

Penugasan2 itu memang mebuat kita semakin capek; namun di sisi lain, ada energi lain yang perlahan namun pasti seolah riak-riak ombak yang berkumpul menjadi gelombang... recharging itu terjadi saat kita terus bergerak; maka teruslah bergerak, secapek apapun... karena diam itu berarti mati.

Sabtu, 17 April 2010

mengenal manusia

Pembicaraan tentang "mengenal manusia" menjadi begitu penting, karena memahami "dakwah" sebagai proses menyampaikan, atau dalam bahasa komunikasi ada tiga unsur dalam proses menyampaikan itu; yaitu (1)Informasi yang akan disampaikan,(2)Komunikator/Da'i -sang penyampai-, (3) Objek dakwah/mad'u/komunikan; dan poin (2) dan (3) adalah tentang "manusia"; sehingga wajar jika keberhasilan dakwah tentu dimulai dengan bagaimana kita mengenal "apa itu manusia".

Bisa kita awali dari QS. Asy-Syams 7-8, bagaimana jiwa terbangun dari taqwa dan fujur, lalu peran "bashiroh" (langkah sang ego [ananiyah] dalam mengendalikan my self [nafsiy] dengan metode objektifikasi) dalam memahami utuh tentang "manusia" itu sendiri.

Selasa, 13 April 2010

menguyah perlahan film "Shackles"

Film "Shackles"; aku mengunyah perlahan satu kisah, tentang seorang guru di sebuah penjara. Bagaimana dia mengubah para penghuni penjara itu dengan "puisi". Perjuangan yang luar biasa. Membimbing mereka para anak jalanan itu, mau berbincang tentang diri mereka, mau bermain dengan kata-kata dalam isi kepalanya. Beberapa kali bahkan nyaris nyawanya terancam, tapi sang guru tak peduli. Terus benamkan ide-ide besar dalam otak mereka. Hingga muncul satu murid yang berbakat, nyaris menangkan perlombaan puisi antar sekolah.

Ini kisah yang indah, tentang bagaimana "kata-kata" bisa mengubah kita. Walau film ini diakhiri dengan adegan tragis, sang guru ditusuk dengan lempengan logam dalam sebuah insiden....

Rabu, 07 April 2010

belajar dari sepasukan awan....


Bertemu lagi dengan mereka; se-pasukan awan, bergumpal-gumpal. Putihnya pekat, dan kepekatannya bersekat-sekat; mengingatkan aku pada pemahaman yang selalu saja bertahap.... Ada awan cumulus, staruss (bener nggak istilahnya, aku malah tahu beginian dari Haya..) mereka berbaris sesuai posisinya. Indah sekali....

Pada suatu saat, kita merasa begitu mengerti akan satu hal; namun pada saat berbeda, kita merasa begitu bodoh tentang hal yang sama. Sepertinya obyek pengetahuan kita itu sesuatu yang terus bergerak, dan kita sebagai pembelajar seharusnya terus mengejarnya... Karena ilmu itu tumbuh, jika kita berhenti maka kita pasti tertinggal. Seperti bagaimana teknologi informasi terus berkembang? atau contoh yang sederhana; pernahkah kita terfikir kapan kata "lebay" itu lahir? Bahkan bahasa, sesuatu yang membedakan kita dengan makhluk lain itu pun terus berkembang.

Dan awan itu, tersusun dalam barisan yang rapi, seharusnya pula... pemahaman kita itu teradministrasi dengan rapih, sehingga menjadi efektif dalam penggunaannya, ketika ilmu itu mengejawantah dalam amal. Wallohu a'lam.

Jumat, 02 April 2010

reformasi birokrasi, media, dan syetan

Orang2 yang menggelapkan pajak trilyunan rupiah itu, ketakutan karena reformasi birokrasi di DJP tak terbendung, mereka bersembunyi di balik media teriakan boikot pajak... MENJIJIKKAN!!!

Gaya hidup aparat disorot.... sebanding nggak dengan penghasilannya; gaya hidup pengusaha mestinya juga disorot... sebanding nggak dengan utang pajak yang dia kemplang....

ini tentang rencana perubahan sistem dalam rangka membangun sebuah peradaban baru yang terkotori oleh ambisi pribadi... didukung oleh syahwati kekuasaan, dan media yang kelewat "genit", menebarkan opini yang salah arah; dan syetan itu bertepuk tangan di ujung ruangan....

Selasa, 23 Maret 2010

tentang Otak kita...

Ada tiga hal dalam mendayagunakan otak kita,

1. Menggunakannya untuk berfikir, mengingat, mempelajari atau memahami sesuatu; ini memang sudah menjadi tugas dasar otak. Setiap kita pasti melakukan hal ini dalam menjalani kehidupan kita.

2. Membangun metodologi berfikir yang tepat, artinya kita tidak sekedar menggunakan otak kita, melainkan juga memikirkan pemeliharaannya. Kita siapkan cara berfikir yang efektif; hal ini menjadi kebutuhan penting kita, karena keterbatasan waktu yang kita miliki juga keterbatasan kemampuan kerja otak kita yang tidak sebanding dengan tugas dan amanah yang kita emban; kita butuh strategi dalam berfikir.

3. Mempunyai niat sebagai motivasi berfikir yang benar; dua hal di atas menjadi tidak berarti, ketika kita tidak memiliki niat atau motivasi yang benar dalam berfikir. Hal ini membutuhkan cara-cara tertentu yang dapat mengingatkan kembali akan niat kita, karena secara fitrah kita memiliki kecenderungan untuk menggeser niat....

Dengan menjalani ketiga hal tersebut di atas, kita bisa melaksanakan salah satu tugas Ilahiy, yaitu "mensyukuri nikmat Otak" atau lebih tepatnya "akal", karena "akal" adalah "otak" dan "hati"; dan "akal" pula-lah yang menjadi pembeda antara kita (manusia) dengan binatang. Wallohu a'lam.

Senin, 22 Maret 2010

benda, mata kita, atau mesin dalam otak kita?

Berbincang bersama istri, dalam perjalanan pulang kantor; saat langit senja memerah indahnya luar biasa. "Dik, sebenarnya indah itu ada di langit atau di mata kita?"
"Ya, di langit lah..."
"tapi tanpa mata, manalah ada keindahan itu?"
"atau... jangan-jangan keindahan itu bukan di langit, bukan pula di mata kita; namun ada di otak kita..."
"bukankah pengertian kata indah itu ada dalam otak kita? gambaran langit senja yang ditangkap oleh retina mata kita, tidaklah akan disebut indah, jika tidak ada pemahaman yang lahir dari pengalaman otak kita akan pengertian kata 'indah'. entahlah"

Jumat, 12 Maret 2010

melawan Buto Cakil dengan cara sitemik...

" ternyata, banyak Buto Cakil yang petakilan membangun kemarahan yang sistemik; saatnya rapatkan barisan, jalankan titah Gusti Alloh dengan analisa dan rencana yang matang.... selamatkan ummat ini dari keterpurukan peradaban..."

Membaca berita belakangan ini, jadi "gemes". Rasanya ada pihak yang "bermain" (kata teori konspirasi begitu), mereka sengaja mengelola emosi kita, agar terpancing melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang mereka mau. Kemarahan yang sistemik, kadang tanpa sadar kita menjadi bagian dari batu bata dalam bangunan kemarahan kolektif itu. Mereka rapih. Terstruktur. Sebagian dari mereka berperan menjadi komentator, sebagian lagi menjadi aparat keamanan yang overacting, sebagian lagi menjadi provokator (juru teriak di setiap demonstrasi), sebagian lagi menjadi politikus, sebagain lagi menjadi presenter, moderator di acara talkshow di tipi-tipi; atau bahkan ada yang sekedar rajin upload status di facebook, terkesan iseng, padahal terpola; dia publikasikan ide-ide provokatif, isu perusak barisan ummat.

Duh, kok aku jadi paranoid ya...
Jadi penuh prasangka, entahlah... memang prasangka dengan waspada itu tipis jaraknya.

Namun, jika prasangka itu menjadi alasan untuk merapikan barisan... aku fikir tidak ada salahnya. Menjadi pemicu kita untuk lebih rinci melakukan perencanaan, dan rapih dalam struktur jama'ah. Pembagian tugas yang jelas, dan selalu optimalisasi potensi semata untuk membangun kekuatan bangunan dakwah. Dari pendidikan anak, komunikasi anggota keluarga, jalinan persaudaraan antar tetangga, ikatan antar jama'ah masjid, bila perlu ada kurikulum yang disepakati di masing-masing majelis taklim... sampai pada dakwah politik, komunikasi yang intens antar kelompok pejuang dakwah, agar perjuangan tidak parsial namun terintegrasi....

Ada jalinan yang kokoh, antara politikus (dakwah politik), pengusaha (dakwah ekonomi), selebritis (dakwahtainment), pekerja seni (dakwah budaya), praktisi pendidikan (dakwah pendidikan), facebooker-twiter-bloger (dakwah media), dan lain sebagianya...

Berharap semua ranah publik, semua sektor kehidupan... menjadi bagian dari wilayah kerja dakwah kita. Wallohua'lam!

Kamis, 25 Februari 2010

PONPES AL-IMAN DI MUNTILAN

Ada satu tempat yang paling berpengaruh dalam membentuk pribadiku. Karena selama 6 tahun aku digodok di kawah "Candradimuka"-nya... tempat itu adalah Ponpes Al-Iman di Muntilan.

Diawali dari keputusan Bapak untuk memindahkan aku dari SMPN Blabak (salah satu SMPN favorit di Muntilan, saat itu aku naik kelas Dua) ke Ponpes Al-Iman; dengan alasan pelajari dulu ilmu Alloh, karena Alloh Penggenggam seluruh Ilmu di muka bumi ini. Tentu ini sedikit menyakitkan, terasa berat dalam dada, tinggalkan kemewahan gelar sekolah yang dihormati di Muntilan ke sekolah yang statusnya (semata) "diridhoi" hehehe.... Dan yang lebih membebani aku adalah, bahwa bahasa arab, sebagai ilmu "alat" untuk bisa manjadi santri di Ponpes belum aku mengerti, sementara waktu itu, aku langsung bergabung ke kelas Dua. Karena jangankan paham bahasa arab, membacanya pun aku masih sangat kesulitan. Ingat betul, di hari-hari pertama belajar di Al-Iman... saat mencatat pelajaran yang ditulis dalam huruf arab dari papan tulis aku seperti sedang mem"batik", hingga dapat dipastikan aku menjadi siswa terakhir yang menyelesaikan catatannya. Apalagi ketika ustadz/ah menjelaskan dalam bahasa arab, hehehe, aku cuman bengong... terasa ada dalam planet lain. Namun di kemudian hari, ini justru menjadi sarana motivasiku untuk tetap belajar di sini. "Darah Muda"ku (hehehe.. minjem istilahnya bang Roma) tertantang, aku bertekad mengejar segala ketertinggalanku. Dan jadilah tahun pertama-ku adalah tahun akslerasi-ku. Setiap hari harus bertemu ust. Thohir untuk belajar Al-Qur'an, dan ust. Irfa'i untuk belajar bahasa Arab; belum lagi setiap di kelas Dua "kosong" aku pindah numpang belajar lagi di kelas Satu. Nafsu belajarku justru berkembang biak di sini.

Di Al-Iman, aku mendapatkan banyak hal. Tentang tradisi-tradisi "kirom" terhadap "asatidz", tentang kemampuan berkomunikasi (dengan acara Muhadhoroh/Lomba Pidato yang dilakukan selepas Isya')

Belajar mengelola emosi, berkenalan dengan cinta, ber-theater, ber-musik, karawitan, dan banyak lagi... itu adalah hal-hal yang aku dapat di Ponpes Al-Iman di Muntilan... apa lagi ya?? (BERSAMBUNG; MOHON MASUKAN)

Minggu, 21 Februari 2010

mencari tahu "apa itu Sakit Hati"

Sebenarnya dari mana datangnya sakit hati? dari kata-kata pedas orang lain atau justru dari hati kita yang kelewat tinggi melihat diri?

Mungkin bukan sekedar kata-kata pedas, melainkan perlakuan buruk seseorang kepada kita. Bisa jadi mimik yang penuh cibiran, atau bahkan meludah sesaat setelah saling bertatapan. Atau sekedar diabaikan, itupun cukup membuat hati ini terluka. Tapi kesemua itu adalah hal-hal yang terkait dengan faktor di luar diri kita. Yang sejatinya kita memang tidak punya cukup kewenangan untuk mengubahnya. Jika bicara teritori- wilayah kewenangan kita, maka yang bisa kita ubah adalah sikap hati kita, saat serangan "eksternal" itu datang.

Suatu kata, sikap tidak sedap, cacian atau bahkan makian... tidak bisa membuat kita terluka, jika tidak ada penilaian diri yang berlebihan tentang betapa "mulia"nya diri kita ini. Sehinggga (menurut kita) tidak-lah layak, seorang se-mulia kita ini mendapat kata, sikap tidak sedap, cacian juga makian. Nah, jika ini masalahnya... kita bisa mengubahnya. Karena ini adalah masalah internal diri kita.

Mari kita coba, membedah akar masalah dari sakit hati ini... dengan pisau dingin akal sehat kita.

Pertama; evaluasi ulang, jangan-jangan ada sikap kita (atau mungkin kata-kata kita)yang menjadi pemicu munculnya serangan eksternal itu.

Kedua; jangan-jangan, bukan salah anggapan mereka... namun justru masalah ada di anggapan kita terhadap diri kita. Kita keterlaluan dalam memandang hebat diri kita. Cobalah terus merendah, pastikan kita tidak sekedar jongkok melainkan tiarap... biarkan saja ekspektasi orang lain terhadap kita begitu rendah; itu tidak masalah, karena justru akan menaikan nilai kita, ketika akhirnya kita buktikan, bahwa kita jauh lebih hebat dari ekspektasi mereka tersebut.

Entahlah, tapi yang jelas... ayuk kita coba.

Selasa, 16 Februari 2010

Koneksitas Ukhuwah.


Merasa tidak sendiri adalah energi yang luar biasa; bukti bahwa berjamaah adalah kebutuhan fitrah manusia... dari galaksi hingga proton dan elektron, selalu nyaman ketika terkoneksi satu sama lain; jadi paham mengapa FB begitu digandrungi...

Perumpamaan dalam film AVATAR, menjadi sangat relevan. Bagaimana seluruh penghuni planet Pandora terkoneksi satu sama lain. Rasanya di Bumi pun semestinya begitu, bukan sekedar terkoneksi dalam teknologi informatika, melainkan juga kita dengan alam, dengan lingkungan kita. Satu bencana alam terjadi bisa jadi karena terjadi distorsi pola hubungan kita manusia sebagai "Kholifah" di muka bumi ini denga Bumi sebagai objek (baca Amanah) pengelolaan, kita sering lalai dalam mengelola koneksitas kita dengan lingkungan kita.

Begitu juga dengan demonstrasi yang marak terjadi, seringkali itu disebabkan oleh pola komunikasi antar kepentingan yang "mandeg", diawali dari arogansi di masing-masing pihak, hingga melenakan bahwa ada kepentingan lain yang harus diperhatikan.

Rasanya Alloh telah menyediakan piranti yang canggih untuk menjalin koneksitas ini, yakni dengan "ukhuwah al Islamiyah". Satu rangkaian yang dibangun dari saling kenal (ta'aruf), saling menyatukan hati (ta'liful qulub), saling memikul beban (takaful), juga saling membantu (tanashur)....

Jaringan Ukhuwah ini, dijaga dengan saling berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari, dalam sholat berjamaah, dalam bertukar sapa, salam, senyum.... Bahkan dalam saling mendo'akan.

Semoga Alloh selalu mengikat hati kita dalam Cintanya, dalam ketaatan kepada-Nya, dalam membela Syari'at-Nya, Amien...

Jumat, 29 Januari 2010

senja yang basah...

Senja,
aroma tanah basah,
dan diamnya alam mengajarkan berkata-kata dalam hening.
Mulai terbiasa menikmati tatap mata tanpa kata,
senyum tanpa suara,
bahkan cinta yang tersimpan menjadi embun saja di ujung daun;

ditarik oleh mesin waktu...


Hampir tiap hari ini yang terjadi, aku terjebak di balik meja kerja. Dengan monitor komputer yang terus melototiku, dan berkas menumpuk menggodaku dan seakan-akan memanggil-manggil namaku, berharap selalu mendapatkan perhatianku. Tapi pagi ini, entah kenapa, aku kehilangan selera untuk lakukan apa-apa. Sesekali melirik ke HP, yang masih on line membuka situs facebook. Rencananya mau ubah status, mau menuliskan situasi pagi ini, tapi saat membuka beranda, muncul banyak nama; yang anehnya, mereka seolah mesin waktu yang menarik-ku jauh ke belakang. Berawal dari nama, muncul beberapa peristiwa lama. Begitu banyak perubahan, begitu banyak kejadian yang terlewati, tanpa aku tahu detail ceritanya. Ada teman lama yang kini menjadi ustadz, padahal dulu begitu beringasan; ada teman yang dulu begitu pemalu, sekarang menjadi anak band; bahkan ada yang mengubah keyakinan agamanya. Bagaimana mereka bisa berubah? Ada peristiwa apa yang membuat mereka mengubah jalan hidupnya? Entahlah.

Mungkin aku yang keterlaluan menyikapi keingintahuan itu. Tapi kadang memang begitulah, otak bergerak semaunya….

Otak ini mengajakku berkelana kembali ke masa yang telah terlewati. Kadang lebih nekat lagi, dia lanjutkan cerita-cerita lama itu dengan khayalan tentang masa depan yang beranjak dari masa lalu, dengan sedikit mengubah beberapa adegan, dan rasanya itu memang tidak mungkin terjadi. Huh!

Kamis, 21 Januari 2010

TERLAHIR DI RAHIM WAKTU; kesepakatan antara kemarin, hari ini dan hari esok.


Pernahkah kita bertanya, mengapa ada “kemarin”? Mungkinkah “kemarin” itu lahir karena ada “hari ini” ? Ataukah sebaliknya “hari ini” itu ada karena ada “kemarin”? Lalu bagaimana dengan “esok”? Entahlah… yang jelas semua ini terkait dengan waktu, juga ingatan kita, ditambah pula mimpi dan rencana kita.

Waktu adalah tempat dimana “kemarin”, “hari ini”, dan “esok” tinggal. Ingatan adalah yang membuat “kemarin” itu tetap ada dalam alam kesadaran kita, sedangkan mimpi adalah rahim yang melahirkan kata “esok” dalam batok kepala kita. Bagaimana dengan “hari ini”? ia lebih mudah didefinisikan, karena ia memang mengada di dalam kenyataan kita. Selama dimensi kesadaran itu berada dalam kenyataan, maka sesungguhnya kita sedang berada dalam “hari ini”.

Bagaimana dengan “kesan” yang kadang kita beri nama dengan kata “kenangan”? Kenangan itu lahir tentu di hari lalu (kemarin), dan diselamatkan oleh ingatan kita, dari cengkeraman monster lupa. Kadang ingatan itu terpicu oleh tanda-tanda yang sengaja kita ciptakan. Entah itu berupa kata yang kita catatkan dalam buku harian, atau benda-benda yang kita nisbatkan sebagai lambang dari sebuah kejadian… atau hanya warna, yang kita sepakati sebagai perwakilan dari seluruh kesan atas kejadian-kejadian dalam satu waktu. Bahkan nama, kadang sangat berarti mewakili segenap isi hari-hari yang kita anggap penuh kenangan. Atau foto, sebuah perlambang kesombongan kita, untuk mencuri satu momen dalam hidup kita.

Yang menarik adalah, seringkali beranjak dari kenangan itu-lah, kita berandai-andai tentang hari esok. Di saat itu, terhubung ketiga-nya dalam satu tema pembahasan di isi kepala kita. Di sekarang, kita berbincang tentang masa lalu, untuk rencanakan masa depan di hari esok. Dan itu tidak lah mudah, begitu banyak nama, wajah, senyuman, tangisan, kehangatan, kebencian, kejadian-kejadian, benturan, rasa sakit, rasa bahagia, berbaur bersama…diolah oleh akal sehat, dipaksa untuk terhubung dengan alasan-alasan yang masuk akal, ataupun rencana-rencana yang terukur… untuk kemudian menghasilkan mimpi, rencana untuk hari esok. Kadang yang lahir justru ngilu, ketika hasil dari mesin produksi itu (dengan bahan baku: kenangan, diolah di hari ini, dan hasil produksinya adalah mimpi dan rencana di hari esok) tidak seperti yang kita harapkan. Bisa jadi luka itu adalah karena kenangan yang sudah terlanjur tertanam terlalu dalam, sementara hari ini dan esok sudah sepakat untuk menghapus kenangan-kenangan itu, kebayang kan… betapa perihnya ketika kenangan itu harus dicongkel keluar. Ngilu, saat tercabut akar kenangan itu… darah mengucur, tersayat rongga jiwa. Kesalahan dalam mencongkelnya bisa membuat hati tergelepar, meregang nyawa. Hiks!

Kita berharap tidak ada luka. Kenangan seberapa indah atau seberapa buruknya mestilah kita kelola dengan bijak. Agar terhubung di hari ini dengan hari esok, menjadi rencana-rencana yang rapih. Jelas, terukur, dan indah untuk kita kenang di hari esoknya lagi… Semoga.

Rabu, 06 Januari 2010

Pidato Malam di tengah Jalan Tol;

Malam;
lampu jalanan,
rambu lalu lintas,
dan gemuruh roda bersahutan
di bawah kaki kita;

ada kenangan yang coba kita congkel keluar,
ada harapan yang coba kita pungut satu persatu;
ada keheningan yang coba kita ganggu;
ada cinta yang kita rampas haknya,
dengan dalih harga diri,
dengan dalih martabat;

ada lampu mobil yang berseliweran di sekitar kita;
ada klakson yang menjerit di tepat belakang kita;
ada pesona yang lalu-lalang,
serupa penari meliuk-liuk laksana asap obat nyamuk;
ada getaran-getaran yang dipaksa untuk kita rasakan;
ada kepedihan yang nyelonong masuk,
mencubit nurani hati;
ada kebodohan yang tiba-tiba saja
terbangun begitu kokoh di pangkal otak kita,
karena kebenaran dengan semena-mena dikerdilkan
oleh kata-kata yang jujur sebenarnya tidak bermakna;

juga makna itu sendiri saling bertabrakan
membawa kepentingannya masing-masing;

makna menguasai kata ,
atau kata mengusai makna;
Pening aku!!

kebenaran dengan syak wasangka menjadi kabur
karena praduga seolah kabut begitu tebal
menutupi lukisan al-Haq;

kata-kata diboncengi,
kata-kata ditunggangi....

mestinya dahulu siapa...
mestinya dahulu mana...
performa atau kapasitas diri...
katanya performa itu cerminan dari kapasitas
namun kadang rancu kapasitas dibangun dari performa yang dipaksakan;
Aneh memang,
ketika rasa keadilan dikerdilkan oleh kepastian hukum;
ketika kepastian hukum itu sendiri menginjak-injak substansi keadilan;
lalu dahulu mana, telor atau ayam?

keheningan menjadi begitu nikmat,
ketika kata-kata justru mengkebiri kecerdasan nurani kita;

berita dengan gosip murahan nyaris serupa
lalu mau berpijak pada apa....??

berharap tabir dan tirai itu terangkat,
tapi kapan?
lambat laun, kita yang jadi agen-agen kemunafikan itu sendiri.

memang hening adalah surga,
memang senyap adalah taman indah, tempat untuk bersandar,
ketika kebohongan merimba dalam hidup kita;

berharap satu waktu,
saat hati dan diri mampu bercakap-cakap....
tanpa diganggu oleh fakta yang rancu,
dengan persepsi;
masak kenyataan lenyap yang tersisa tinggal anggapan!
masak opini dengan berita itu sendiri bercampur aduk!

jadi tolol kita
jadi bebal kita
jadi buta
meraba-raba
kehilangan kendali hati
tanpa pedoman
tanpa peta;
nyasarlah kita!!!

tersesat...dalam rimba kata-kata,
kalimat-kalimat itu mencekik nurani.

Selasa, 05 Januari 2010

Belajar Bertutur....


"mencoba belajar lagi teknik bertutur, ternyata berkomunikasi sangat berperan dalam hidup ini. Kesalahan di bidang ini, bisa membuat kebenaran tersalahkan, dan kebatilan terbenarkan..."

Berkomunikasi dengan orang lain, tidak sekedar membutuhkan kemampuan memaparkan sesuatu, melainkan juga kemampuan untuk memahami lawan komunikasi kita. Teringat 4 sifat Rosululloh: Sidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Fathonah (cerdas), dan Tabligh (menyampaikan). Kata tabligh (menyampaikan) itu proses bergeraknya "informasi" hingga sampai ke objek kita. Sehingga dibutuhkan daya dorong yang cukup untuk membawa informasi itu, juga daya terima yang memadai dari target komunikasi kita. Jarak yang memisahkan Komunikator dengan komunikan ini harus diisi dengan "tafahum" saling memahami.

Facebook bisa menjadi sarana yang kita pakai untuk menguji kecakapan kita memilih kata-kata. Karena di sana, ada banyak pembaca yang mungkin kita tidak kenal mereka dan mereka tidak mengenal kita. Kata-kata yang kita lemparkan ke status kita, bisa memicu pemahaman yang berbeda-beda... ini yang menjadi seru; karenanya aku sering menganggap fb itu tempat orang ber-celoteh. Banyaknya komentar bukan berarti salah atau benarnya celoteh kita, melainkan hanya seberapa menariknya kata-kata yang kita pilih. Bisa jadi semakin memicu kontroversi, semakin banyak mengundang perhatian orang... Di sinilah pentingnya motif, maksud, atau niat kita dalam menerbitkan status itu. Dengan niat baik, materi yang positif, pemilihan kata yang tepat, dan juga waktu yang tepat kita meng-upload-nya (karena ini mempengaruhi jumlah orang yang membacanya) kita bisa menebarkan nilai-nilai positif (boleh dibaca: berdakwah) dalam dunia facebook.

Wallohu a'lam.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...