Kamis, 25 Februari 2010

PONPES AL-IMAN DI MUNTILAN

Ada satu tempat yang paling berpengaruh dalam membentuk pribadiku. Karena selama 6 tahun aku digodok di kawah "Candradimuka"-nya... tempat itu adalah Ponpes Al-Iman di Muntilan.

Diawali dari keputusan Bapak untuk memindahkan aku dari SMPN Blabak (salah satu SMPN favorit di Muntilan, saat itu aku naik kelas Dua) ke Ponpes Al-Iman; dengan alasan pelajari dulu ilmu Alloh, karena Alloh Penggenggam seluruh Ilmu di muka bumi ini. Tentu ini sedikit menyakitkan, terasa berat dalam dada, tinggalkan kemewahan gelar sekolah yang dihormati di Muntilan ke sekolah yang statusnya (semata) "diridhoi" hehehe.... Dan yang lebih membebani aku adalah, bahwa bahasa arab, sebagai ilmu "alat" untuk bisa manjadi santri di Ponpes belum aku mengerti, sementara waktu itu, aku langsung bergabung ke kelas Dua. Karena jangankan paham bahasa arab, membacanya pun aku masih sangat kesulitan. Ingat betul, di hari-hari pertama belajar di Al-Iman... saat mencatat pelajaran yang ditulis dalam huruf arab dari papan tulis aku seperti sedang mem"batik", hingga dapat dipastikan aku menjadi siswa terakhir yang menyelesaikan catatannya. Apalagi ketika ustadz/ah menjelaskan dalam bahasa arab, hehehe, aku cuman bengong... terasa ada dalam planet lain. Namun di kemudian hari, ini justru menjadi sarana motivasiku untuk tetap belajar di sini. "Darah Muda"ku (hehehe.. minjem istilahnya bang Roma) tertantang, aku bertekad mengejar segala ketertinggalanku. Dan jadilah tahun pertama-ku adalah tahun akslerasi-ku. Setiap hari harus bertemu ust. Thohir untuk belajar Al-Qur'an, dan ust. Irfa'i untuk belajar bahasa Arab; belum lagi setiap di kelas Dua "kosong" aku pindah numpang belajar lagi di kelas Satu. Nafsu belajarku justru berkembang biak di sini.

Di Al-Iman, aku mendapatkan banyak hal. Tentang tradisi-tradisi "kirom" terhadap "asatidz", tentang kemampuan berkomunikasi (dengan acara Muhadhoroh/Lomba Pidato yang dilakukan selepas Isya')

Belajar mengelola emosi, berkenalan dengan cinta, ber-theater, ber-musik, karawitan, dan banyak lagi... itu adalah hal-hal yang aku dapat di Ponpes Al-Iman di Muntilan... apa lagi ya?? (BERSAMBUNG; MOHON MASUKAN)

Minggu, 21 Februari 2010

mencari tahu "apa itu Sakit Hati"

Sebenarnya dari mana datangnya sakit hati? dari kata-kata pedas orang lain atau justru dari hati kita yang kelewat tinggi melihat diri?

Mungkin bukan sekedar kata-kata pedas, melainkan perlakuan buruk seseorang kepada kita. Bisa jadi mimik yang penuh cibiran, atau bahkan meludah sesaat setelah saling bertatapan. Atau sekedar diabaikan, itupun cukup membuat hati ini terluka. Tapi kesemua itu adalah hal-hal yang terkait dengan faktor di luar diri kita. Yang sejatinya kita memang tidak punya cukup kewenangan untuk mengubahnya. Jika bicara teritori- wilayah kewenangan kita, maka yang bisa kita ubah adalah sikap hati kita, saat serangan "eksternal" itu datang.

Suatu kata, sikap tidak sedap, cacian atau bahkan makian... tidak bisa membuat kita terluka, jika tidak ada penilaian diri yang berlebihan tentang betapa "mulia"nya diri kita ini. Sehinggga (menurut kita) tidak-lah layak, seorang se-mulia kita ini mendapat kata, sikap tidak sedap, cacian juga makian. Nah, jika ini masalahnya... kita bisa mengubahnya. Karena ini adalah masalah internal diri kita.

Mari kita coba, membedah akar masalah dari sakit hati ini... dengan pisau dingin akal sehat kita.

Pertama; evaluasi ulang, jangan-jangan ada sikap kita (atau mungkin kata-kata kita)yang menjadi pemicu munculnya serangan eksternal itu.

Kedua; jangan-jangan, bukan salah anggapan mereka... namun justru masalah ada di anggapan kita terhadap diri kita. Kita keterlaluan dalam memandang hebat diri kita. Cobalah terus merendah, pastikan kita tidak sekedar jongkok melainkan tiarap... biarkan saja ekspektasi orang lain terhadap kita begitu rendah; itu tidak masalah, karena justru akan menaikan nilai kita, ketika akhirnya kita buktikan, bahwa kita jauh lebih hebat dari ekspektasi mereka tersebut.

Entahlah, tapi yang jelas... ayuk kita coba.

Selasa, 16 Februari 2010

Koneksitas Ukhuwah.


Merasa tidak sendiri adalah energi yang luar biasa; bukti bahwa berjamaah adalah kebutuhan fitrah manusia... dari galaksi hingga proton dan elektron, selalu nyaman ketika terkoneksi satu sama lain; jadi paham mengapa FB begitu digandrungi...

Perumpamaan dalam film AVATAR, menjadi sangat relevan. Bagaimana seluruh penghuni planet Pandora terkoneksi satu sama lain. Rasanya di Bumi pun semestinya begitu, bukan sekedar terkoneksi dalam teknologi informatika, melainkan juga kita dengan alam, dengan lingkungan kita. Satu bencana alam terjadi bisa jadi karena terjadi distorsi pola hubungan kita manusia sebagai "Kholifah" di muka bumi ini denga Bumi sebagai objek (baca Amanah) pengelolaan, kita sering lalai dalam mengelola koneksitas kita dengan lingkungan kita.

Begitu juga dengan demonstrasi yang marak terjadi, seringkali itu disebabkan oleh pola komunikasi antar kepentingan yang "mandeg", diawali dari arogansi di masing-masing pihak, hingga melenakan bahwa ada kepentingan lain yang harus diperhatikan.

Rasanya Alloh telah menyediakan piranti yang canggih untuk menjalin koneksitas ini, yakni dengan "ukhuwah al Islamiyah". Satu rangkaian yang dibangun dari saling kenal (ta'aruf), saling menyatukan hati (ta'liful qulub), saling memikul beban (takaful), juga saling membantu (tanashur)....

Jaringan Ukhuwah ini, dijaga dengan saling berinteraksi dalam pergaulan hidup sehari-hari, dalam sholat berjamaah, dalam bertukar sapa, salam, senyum.... Bahkan dalam saling mendo'akan.

Semoga Alloh selalu mengikat hati kita dalam Cintanya, dalam ketaatan kepada-Nya, dalam membela Syari'at-Nya, Amien...

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...