Senin, 11 Agustus 2014

jaga hati

Ternyata serangan itu datang dari perasaan nyaman saat menerima pujian. Sulit mengingkari bahwa pujian itu nikmat dan indah. Terkadang kita berdalih sebagai motivasi.

Benar kata ustadz, saat terima pujian ingatlah kalimat Hamdalah, bahwa pujian hanya milik Alloh. Jangan pikul pujian itu sendirian, ia akan jadi beban, semakin lama semakin berat. Suatu hari bisa rubuhkan kita. Mungkin ini jawaban mengapa banyak tokoh terjerembab justru pada saat banyak pujian yang ia terima. Jika mendapatkan pujian segeralah kirim ke Alloh, segala puji untuk-Nya, agar ringan langkah kita.

Bersyukurlah saat prestasi kita tersembunyi, karena itu berarti terselamatkannya kita dari godaan pujian.

Jika pujian itu pintu serangan, bisa jadi cacian dan hinaan itu justru pil pahit yang menyehatkan. Penolakan atas cacian dan hinaan, mungkin seperti melepeh pil itu, tak lagi pahit, namun kita kehilangan kesempatan untuk sembuh. Penolakan atas hinaan itu biasanya dengan dalih nama baik, mungkin angapan orang lain atas diri kita ini terlalu penting. Padahal bisa jadi ini jebakan, sehingga kita tak pernah dapat hikmah dari cacian dan hinaan itu.

Cobalah nikmati rasanya. Cacian itu seperti gelombang radar yang membentur objek, benturan itu perlu untuk menangkap pesannya.
Bagaimana cara menikmati cacian dan hinaan? Entahlah. Tapi bisa diawali dengan kalimat ini: "kita mungkin memang pantas mendapatkannya".

Mengapa kita tak pantas dicaci dan dihina, sementara banyak para nabi dan orang suci  pun mendapatkannya? Tak perlu terluka.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...