Lalu mulailah aku menerjemahkan gelap. Saat menyengaja pejamkan mata untuk waktu yang lama. Karena dalam gelap retina mata lebih bebas membaca setiap batas ruang. Otak pun diam, rela menerima pesan apa pun dari mata. Karena ia telah kenyang dengan nutrisi khayalan dari bilik angan dan mimpi.
Demikianlah keheningan mencipta rimanya sendiri. Berlari dari terang, menghindar dari menang, menyelinap dalam gemerlap yang menyilaukan. Karena diri terlampau lelah menyalahkan orang lain, bosan untuk selalu mengalahkan, jenuh untuk selalu mencari dalih membela diri, enggan untuk terus berlari dari caci, berlindung dengan citra, merias diri sedemikian rupa agar indah nama baik agar rupawan harga diri.
Rebahlah ia istirah saja di tanah lapang nurani. Terlentang pasrah. Kendali atas nama telah dilepas. Biarlah saja apa kata orang. Biarlah saja opini berkembang. Karena diri telah terlalu letih. Tak lagi ingin melompat lompat menggapai ingin. Namun justru merunduk rendah, tiarap, bahkan berendam dalam parit dalam. Abaikan kedengkian, moksakan ambisi.
Dengung... lama... denging lama.
Diam.
poetoe.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Rabu, 24 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar