Selasa, 23 Juni 2009

GEGURITAN


mentari senja; indah
seindah hati di hari ini
seindah hari di hati ini
bagaimanapun juga, ombak adalah dada ini
derunya ciptakan irama
dentumannya ciptakan nada
detaknya ciptakan ritme yang aneh
menelikung di setiap kelokan jiwa
merobek tiap2 luka
membuat irisan2 yang indah
yalah cinta yang sedang aku bangun
dengan batu bata cinta pula aku susun
; mengapa
karena cinta harus-lah tumbuh
seperti rumput di tengah padang
seperti virus dalam tubuh
seperti spam dalam e-mail kita
seperti luka panjang yang menyayat luka
luka oleh luka
aku mencintai-mu, itu pasti

Senin, 22 Juni 2009

tentang Mimpi;

Satu.
Bulan di atas awan, sama seperti malam-malam sebelumnya. Tenang. Dingin, seakan memandangiku, bahkan kadang aku merasa dihakimi olehnya. Malam ini, di bangku depan rumahku, aku balas menatapnya. Bulan tetap dingin, sesekali dia kirim angin malam untuk mengelus kudukku. Huh! Aku bahkan lalu melototinya. Dan bulan tetap dingin.

Akhirnya, kami putuskan untuk berbicara padanya. Aku dan bulan. Namun bukan saling berbicara, karena hanya aku yang berkata-kata, sedang dia tetap diam. Tenang. Dingin. Lalu aku bercerita tentang malam. Tentang gelap. Tentang angin yang gaduh. Tentang mendung yang menggantung, dan embun yang bergelantungan di ujung daun. Dan bulan mendengarkan, padahal dia jauh lebih paham malam daripada-ku. Bulan tetap tenang, namun kini tidak lagi dingin. Kami seakan kawan lama yang kembali jumpa, setelah terpisah sekian lama….

Bulan menatap, aku tetap lanjutkan bercerita. Ceritaku kini tentang mimpi-mimpiku. Tentang kerja yang aku pilih. Tentang keluarga yang kelak aku bangun. Tentang buku yang ingin aku tulis. Tentang angan-anganku untuk terbang menuju bulan…. Mendengarnya bulan tersenyum, nampak dari balik awan tipis yang menutupinya. Mungkin bila aku tidak dihadapannya, dia akan tertawa ngakak. Aku tahu, dia pasti akan tertawakan mimpiku. Dan aku mulai tersinggung. Harga diriku robek!

Bulan masih asik menahan senyum, namun aku kini tertunduk. Kehilangan selera lanjutkan cerita. "aku memang pemimpi…"

Dua.
Keesokan harinya, aku bangun terlambat. Sholat subuh jam setengah enam. Wah! Sebelum pergi mandi, aku melihat langit lewat jendela, mencari bulan. Dia sudah pulang. Yang tersisa hanya seburat awan remang, dan angin pagi yang menerobos masuk lewat celah jendela, menamparku….. dingin!

"Apakah aku memang pemimpi?"
Pertanyaan yang begitu menganggu. Bila aku mau jujur menjawab pertanyaan ini, mungkin jawabannya memang "iya", dan itulah masalahnya. Karena sejak malam itu, aku merasa malu dengan sebutan pemimpi. Pemimpi adalah pengecut, yang bersembunyi di balik dunia "mimpi" yang bisa dia kuasai, namun takut kepada dunia "nyata" yang memang tak mampu dia rengkuh. Aku harus buktikan, aku bukan pengecut macam itu. Harus!.

Dengan tekat itu, aku mulai perjuangan ini. "bagaimana menjadikan impian menjadi nyata?"
Adalah dengan melakukan, bukan sekedar membicarakannya. Ilmu hanyalah sia-sia, jika tidak dikerjakan. Jadi kerja adalah yang utama.
Secara sistematis inilah yang harus aku lakukan:
• Mengidentifikasi mimpi
• Mencermati kondisi riil yang sedang terjadi
• Mengevaluasi mimpi dengan kondisi riil yang sedang terjadi, menghasilkan daftar mimpi yang mungkin dicapai
• Menetapkan tahapan-tahapan pencapaian atas mimpi yang mungkin terjadi, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut
• Melakukan kerja sesuai langkah-langkah yang telah ditetapkan
• Evaluasi secara berkala atas capaian kerja

Tugasku kemudian, adalah melakukannya. Sehingga tidak sekedar teori, melainkan sebuah gerakan.
Mimpi menjadi nyata, ketika kita mulai mengerjakannya.

Tiga
Aku mulai bekerja. Membangun mimpiku jadi nyata. Aku menikahi seorang wanita. Membangun sebuah rumah. Dan dari rumah inilah aku letakkan pondasi untuk bangunan yang lebih besar. Sebuah bangunan yang kususun dari batu bata kepercayaan, semen cinta, pasir saling menghargai, dan kerangka besi iman dan keyakinan.

Di rumah inilah aku belajar demokrasi, belajar mendelegasikan tugas, belajar mendengarkan, belajar mengerti isi hati, belajar menghargai, belajar dihargai, belajar untuk hidup, belajar membuat hidup menjadi lebih hidup. Rumah ini aku jadikan kampusku. Dengan istri, anak, pembantu, lantai kotor, meja tamu, vas bunga retak, atap bocor, kunci pintu macet…. sebagai para dosenku. Dan aku-lah mahasiswanya.

Di sini aku juga menanam benih-benih mimpi baru. Yang aku tanam dalam hati istriku, anakku, dan dalam hatiku. Di kemudian hari, akan aku panen, dengan mewujudkannya dalam kenyataan. Dan aku menikmati siklus mimpi ini.

Minggu, 21 Juni 2009

keringat dan sebait kata

keringat dan sebait kata
semangat dan kerinduan;
teriakan-teriakan itu
sentuhan lembut pada luka
senyum cinta pada kemarahan
dan kata-kata tenang pada debur geloraku

sudahlah,
fokus saja pada tugas
sungguh teramat banyak tugas
dibanding waktu yang ada
abaikan rasa bila perlu…..
abaikan saja

dan pada senja itu,
aku letakkan kelelahanku
kerinduanku tumpah
aku pada-Mu

(puisi lama, ntah aku tulis kapan; namun belakangan aku menyukainya, sangat menyukainya, rasanya ia sedang menasehatiku... )

Selasa, 16 Juni 2009

berbekal lalu berbicara;

Berbicara dengan orang-orang, adalah kebutuhan untuk berekspresi dan menyerap informasi. Dalam sehari kita bisa mengucapkan ratusan kata, ratusan mimik wajah, ratusan senyum, ratusan kerlingan mata. Dari pagi hingga jelang tidur, mungkin ada banyak canda yang kita sengaja angkat dalam setiap bincang, atau mungkin sekedar merespon canda orang-orang di sekitar kita. Namun ternyata, semua itu tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi jiwa kita. Kita butuh sesaat untuk sendiri. Seperti pohon, batangnya butuh ruang untuk jelajahi langit, namun ia juga butuh akarnya untuk menghujam dalam ke tanah. Kita juga butuh waktu untuk merenung, berfikir dalam tentang sesuatu. Para ulama menyebutnya sebagai “tawazun”, bersikap seimbang.

Mungkin saja, semestinya begini: perenungan, diam diri, berfikir mendalam, adalah proses pembekalan diri. Seperti Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang memilih gua Hira sebagai sarana ber-kontemplasi, atau Buya Hamka dan Sayyid Quthb yang menjadikan penjara sebagai sarana mentadaburi Al-Qur’an secara bersungguh-sungguh, hingga lahir kitab-kitab Tafsir yang luar biasa. Atau bisa jadi kita, seorang hamba biasa, ketika mengkhususkan diri dalam satu waktu, untuk konsentrasi pada kebutuhan diri, untuk pelajari Al-Qur’an dan sunnah, hadiri majelis-majelis ilmu, tatsqief, atau tinggal di ma’had, sejatinya kita sedang berbekal; untuk kemudian di saat-saat yang lain, ketika kita harus berinteraksi dengan masyarakat, bercakap-cakap, berkerja di kantor, rapat, atau sekedar bercanda di pos RW, kita sebarkan “ilmu” atau bekal kita yang telah kita dapat dari perenungan kita, kepada masyarakat di sekitar kita.
Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah; begitupun amal tanpa ilmu adalah buta.

Senin, 15 Juni 2009

canda kita;

seperti tawa kita yang dahulu,
seperti kekecewaan2 itu,
seperti angan2 yang dengan enggan
tetap saja kita bangun
dahulu;

namun tetap saja,
waktu mengubah sekarang menjadi lampau,
mengubah mimpi menjadi kenangan.....

seperti kita dalam canda dahulu,
seakan berubah hari ini, menjadi canda, kita dan anak2 kita;
sedikit berbeda, namun tetap saja indah.

Kamis, 11 Juni 2009

kebutuhan untuk berkata dan didengar;

Kebutuhan untuk berbicara, untuk sekedar berkata-kata, sekedar didengar saja... nampaknya sederhana, namun jika tidak terpenuhi, kadang jadi sakaw juga...

Jadi sadar, mengapa facebook menjadi begitu digemari; kebutuhan untuk didengar, kebutuhan untuk membuang sampah hati.


Itulah gunanya teman, teman curhat, teman hidup....


Seperti ketika aku memilihmu, atau mungkin Dia memilihkanmu untukku. Besar harapan, aku bisa berbagi, bisa menyatukan isi hati, meleburkan karakter jiwa kita. Sehingga ketika dalam perbincangan kita kalimat-kalimatku terputus, karena bola matamu bergerak-gerak –nampak banget kehilangan selera dengan tema yang coba aku angkat- ada luka dalam hati, seperti gelegak badai yang tak sanggup keluar dari bendungan karang otakku....


Tapi semestinya aku paham, bahwa ada hal-hal yang memang pantas aku simpan saja dalam bilik otak-ku, untuk konsumsi pribadiku saja. Hmm... baru sadar, bahwa selama ini tidak cukup luas aku sediakan ruangan kosong dalam benak, untuk sampah-sampah ingatan dan impianku ini. Sebelum aku berhasil meng-upgrade folder otakku, aku mohon ijin, untuk menggunakan facebook, blog dan sekat-sekat lain dalam dunia maya untuk menjadi sarana sublimasi-ku.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...