Senin, 25 Januari 2016

antara bungkus dan isi (obrolan alumni Al Iman.)

Pembahasan isi dan bungkus. Seperti diskusi yang tak usai usai tentang dikotomi simbol dan nilai....

Antara para sufi dengan Penegak syariat....

Juga antara kaum kontekstual dengan golongan tekstual.

Terkadang umat jadi kehilangan respek atas ustadz, saat terungkap hal buruk pada diri sang ustadz, seperti kemasan yang menutupi isi, lalu tersibak.

Padahal mungkin harapan ummat yg berlebihan. Melupakan sisi kemanusiaan sang ustadz.

Bisa jadi hal ini yg jadi alasan, beberapa ulama memilih jalur budaya, jalan yg seolah abu abu. Ini semua untuk menjaga ekspektasi ummat.

Di saat inilah pentingnya memilih kemasan dakwah. Jika kemasan dakwah itu hitam putih. Benar salah. Maka bersiap lah saat ummat justru mencari cari kesalahan dai. Menunggu sang dai tergelincir.

Materi dakwah memang jelas. Al haq wal bathil. Namun perkara kemasan bisa jadi berbeda.

Bukankah pernah ada iklan produk terbaik yg justru tak terlihat secara jelas mengajak penonton membeli produk itu??

Teringat Karna, yang tetap berangkat ke perang Mahabarata,  padahal ia tahu ia berada di pihak Astina yang bathil.

Saat ditanya mengapa, ia menjawab jika tak berangkat maka perang bisa tak terjadi, padahal perang ini dibutuhkan  agar kebathilan dikalahkan.

Akhirnya Astina dikalahkan oleh Amarta, namun Karna pun harus gugur oleh saudaranya sendiri... Arjuna.

Maka mana penting kemasan atau isi??

Jadi teringat pengertian Syumuliyatul Islam menurut Hasan Al Bana "Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan, ia adalah wawasan dan perundang-undangan, atau ilmu pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, atau kerja dan penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah, sebagaimana ia adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”

 .... adalah "bungkus dan isi"
Maka saat disebut bungkus, itu tak berarti lalu mengecilkan. ...

Wallohua'lam

(Hasil perbincangan di group alumni Al Iman malam ini)

Senin, 18 Januari 2016

metamorfosa rasa

Dan sayang itu ternyata rahasia
sebab cuaca mana bisa ku tebak
seperti ruam pada sisi langit
yang dulu sempat kita singgahi
seperti mengerti yang tiba tiba tersesat di bilik mimpi
masih perlu kau candai duka ini dengan air mata?

Dan sayang itu ternyata dalam diam
sepi yang menjadi api dalam gelap debat tanpa arah
bukankah indah itu jika mata mengerjap karena terlalu silau oleh cinta
dan sebelum buta, aku nyanyikan saja dendang semenjana
dendang nada setelah Kamajaya termaknai

Menatap setiap aksara Kamajaya,  dengan demikian seksama
hingga tak ada lekukan huruf pun yang tak kumengerti, semua benderang dalam benak
kebahagiaan yang sempurna, karena renta raga ini seolah moksa
lebur dalam larutan kerinduan yang meraksasa

Sempurna sayang, sempurna luka ini menjadi cinta yang benar benar.

Poetoe.
Jakarta, 18 Januari 2016.

tersungkur parang kata

Diam.
Aku tersungkur oleh Parang kata
Telah terhunus lama namun baru kini kurasai.

Biasanya kata lalu berbalas kata
Saat ini tidak, kata lalu biarlah diam
Sepi adalah semesta
Yang bahkan dengung pun tidak

Seperti sebuah siang saat kita duduk mengapit dua gelas kopi. Aku hanya bilang, aku lelah. Lelah berbicara. Siang ini aku ingin mendengar.
Mendengarkan saja.

Dan bahasa kekekalan yang bernama diam itu menjadi tembok, tempat ratap dan kemarahan itu membentur. Saja.

Poetoe
Jakarta,  18 Januari 2016

Senin, 11 Januari 2016

Tobat.

Berhenti melakukan sesuatu yang buruk itu tak mudah. Apalagi jika telah berulang dan rutin. Butuh kesadaran sebagai pemicunya dan nalar sebagai tempat bersandar. Dan juga dukungan rencana yang matang.

Kesadaran bahwa hal itu buruk, juga Nalar bahwa kita punya banyak alasan rasional bahwa keburukan itu merugikan kita. Dan rencana itu kita butuhkan untuk menutup godaan pengulangan hal buruk itu, juga tahapan untuk perlahan mengganti dengan hal baik.

Sebenarnya kita juga butuh dukungan lingkungan.  Karenanya benarlah perintah agama untuk bergabung dalam komunitas kebaikan itu. Lingkungan ini yang dapat membantu kita, memberatkan langkah untuk keburukan dan meringankan langkah kebaikan.

Karena atas kesalahan masa lalu itu, ada dua pintu. Memudahkan kita mengulanginya atau sebaliknya menjadi alasan jera yang kuat. Pintu yang memudahkan terulang biasa bermula dari rasa nikmat atas dosa, dan pembenaran oleh nalar atas wajarnya kesalahan.

Sedangkan pintu jera bermula dari sesal yang sangat dan dukungan nalar bahwa memang keliru lah keburukan itu dilakukan. Tak alasan pembenaran atas kekeliruan itu. Dan ini membantu menumbuhkan kerelaan saat sanksi yang akan ditimpakan.

Demikianlah celoteh pagi ini, tentang tobat, sembari bergelantungan di APTB. Semoga kita diberi kesempatan ber-taubatan nasuha.

Poetoe / 12 Januari 2016

Minggu, 10 Januari 2016

kekuatan ketidakberdayaan

Sekali lagi teruji,  teori tentang pemahaman atas ketidakberdayaan justru menjadi kekuatan, dan sebaliknya sedikit saja rasa hebat dalam keakuan itu bisa menyesatkan.

Kecerdasan serta keberanian seseorang bisa menjadi pintu terpelesetnya ia pada rimba keangkuhan. Dan kengkuhan itu menjadi kelemahan. Jika tak segera tersadar bisa saja menggelincirkannya semakin dalam.

Sebaliknya pemahaman atas kelemahan dan ketidakberdayaan kita terkadang justru menjadi mula sebuah kebangkitan. Bahkan lompatan. Seolah pegas yang merendah dulu untuk lalu mencelat.

Bukankah adab doa dimulai dengan kesadaran atas kerendahan dan kelemahan, dengan lantunan istighfar sebagai ekspresinya, lalu diikuti dengan pujian atas kebesaran Allah dan keperkasaan-Nya.  Ini menunjukkan kita memang butuh sadar lemah, sadar bahwa tak berdaya.

Apakah ini berarti kita harus terjatuh dulu untuk lalu melompat? Tentu tidak. Karena kuncinya pada sadar, pada merasa.

Bisa saja dalam setiap kesuksesan, kita bersegera merasa lemah dan tak berdaya untuk lalu bersiap menyambut kesuksesan yang lain.

Sebaliknya, seperti ajaran agama, setitik kesombongan dalam hati sudah cukup untuk menghalangi kita masuk ke dalam SurgaNya. Ini bermakna betapa bahayanya kesombongan, merasa hebat dan selalu berdaya.

Wallohua'lam.  Semoga kita selamat dari ujian kesombongan saat kesuksesan itu datang. Aamiin.

Poetoe / 10 Januari 2016.

sepenggal pertemuan


Aku menemukannya lagi, dalam endapan sisa kopiku. Ia menatap ku lama. Seperti bertanya mengapa lama tak aku sapa.

Aku merasa bersalah. Hingga kuputuskan tak mengahabiskan sisa kopiku itu. Ku bawa saja ia ke wastafel, ku siram air kran, terbawa ia entah.

Ternyata ia tak hanyut, karena justru melompat sesaat sebelum tersiram air. Melompat ke daun telingaku.

Lalu merayap ke liang otakku.

Aku jadi mengingatinya. Teringat sangat. Padahal sewindu sudah berlalu sejak pertemuan pertama kami. Dan pertemuan kedua sekaligus pertemuan terakhir kami pun sekitar lima tahun lalu. Lama, sudah sangat lama.

Tapi apalah arti jarak saat ingatan itu mengikat. Terpenjara setiap kerjap mata saat itu.

Demikianlah, ada satu sore saat aku paksa kembali memutar rangkaian adegan 8 tahun dan 5 tahun lalu itu, sementara aku tak yakin ia pun masih mengingatinya.

Tak penting memang. Tak penting memang

Jumat, 08 Januari 2016

Sakit hati

Ternyata dunia itu nampak sesuai dengan cara pandang kita. Saat kita menikmati satu hal sebagai karunia,  ternyata ada pula yang melihat sebagai sumber kegelisahan.

Dan jika kita terpancing ikut terluka, maka kita mungkin telah masuk dalam jebakan mereka. Jebakan sangka buruk yang bertabur dengki juga cibiran sinis.

Karenanya abai atas apa pun kata dan sikap mereka itu lebih aman dan menyelamatkan hati.

Walau sesekali, kita akan terkaget kaget betapa masih saja ada, sikap hati yang sedemikian buruk, yang terbiar berkembang. Membakar kebaikan, memusnahkan rasa syukur.

Aku berlindung pada Nya dari penyakit penyakit hati itu.
Aamiin.

Poetoe / 8 Januari 2016    

Kamis, 07 Januari 2016

#ngaca

Berapa tahun umurku? Pertanyaan bodoh mungkin, karena masak umur sendiri ndak tahu?

Berapa umurku? Seperti berapa kerutan di kelopak mataku, juga seberapa keruhnya retina mataku. Keruh oleh banyak kesan terendap. Kesan yang terendap dari rangkaian peristiwa yang teralami.

Berapa banyak kenangan yang memaksa tinggal di bilik benak, lalu seenaknya mengatur-atur ingatan untuk kembali ke masa lalu.

Lalu berapa banyak data yang tertangkap oleh indra yang berhasil aku konversi sebagai ilmu? Jangan jangan menyublim saja, lenyap.

Terlalu banyak pertanyaan mungkin. Terlalu banyak. Berhamburan tanya entah terlahir dari mana.

Seperti mimpi yang ngeri. Tentang garis waktu, dengan banyak noktah hitam. Peristiwa-peristiwa ganjil yang terulang. Tokohnya pun muncul dari belukar masa lalu. Tiba-tiba saja Menampak dengan detailnya. Terkadang begitu dekat, terkadang zoom out.

Sesekali peristiwa tentangku dulu, diputar ulang serupa warta. Sedang aku hanya duduk berjarak denganku yang dulu. Aku jadi komentator atas diriku sendiri di masa lalu. Sesekali bahkan aku berikan analisa kritis atas peranku dalam peristiwa lalu itu.

Seberapa bodohku dulu -juga kini, karena betapa gamblang sebenarnya pesan atas sebab kesalahan dulu. Benang merahnya nyata, namun tetap tak terbaca olehku. Lalu kesalahan serupa mengikuti di belakang. Terulang dan terulang.

Menyesal? Tentu saja. Namun akan sia sia jika tak lalu bersegera beranjak. Karena umur tak pernah kita tahu kapan Dia hentikan permainan kita di muka bumi ini. Kesalahan atur momentum, kita akan terlambat.

Jika terlambat tentu yang tersisa hanya sesal dan siksa atas penyianyiaan waktu yang tersedia. Kedholiman atas diri sendiri.

Aku akhir saja. Dengan lantunan doa. Semoga sesal ini menggumpal menjadi taubatan yang nasuha. Beranjak lalu berbenah. Aamiin.

Poetoe / 8 Januari 2016

Selasa, 05 Januari 2016

Insomnia (lagi)

Terulang kembali, malam yang penuh mimpi dan bayang - bayang masa lalu.

Seperti ada pada garis waktu,  dan begitu banyak noktah di sana. Kejadian yang dikemas dalam balutan kenangan. Tiba-tiba beberapa adegan terulang demikian detail. Walaupun tak runut sesuai urutan waktu. Sehingga aku bisa mainkan bayang bayang itu seolah mozaik. Aku pasang pasangkan.

Aku pilah sesuai jenisnya. Malam ini aku fokus pada folder kesalahan. Dan ternyata pada tumpukan kisah di folder itu, ada keserupaan pada sebab dan pemicunya.  Ini menunjukkan bahwa aku tak pandai belajar atas kesalahan. Hiks.

Hingga dini hari. Aku masih sibuk dengan beberapa fragmen dari masa laluku. Beberapa memang menakjubkanku. Betapa cerdiknya aku merencanakan kesalahan kesalahan itu. Cerdik namun bodoh. Untuk apa kesalahan itu direncanakan?

Keringat nyaris menetes.  Kerja otakku meningkat.  Hingga terasa sedikit nyeri di kening. Rasanya memang tak mungkin ku selesaikan sendiri. Aku butuh bantuan-Nya. Dengan memohon restu dan juga ampunan-Nya.

Aamiin.

Poetoe
Dini hari 6 Januari 2016

Senin, 04 Januari 2016

Bekal dari pesantren

Setelah berbincang dengan teman teman alumni pesantren Al Iman di group alumni, jadi terpikir pertanyaan "apakah yang aku dapatkan di pesantren yang akhirnya menjadi bekal penting dalam kehidupanku?"

Yang pertama tentu bacaan Al Qur'an ku. Dan ini mengingatkanku pada mas Thohir Ridwan dan mas Basyir yang menjadi tutor baca Qur'an ku di awal aku masuk pesantren.

Yang kedua adalah kemampuanku berbicara di depan umum. Tanpa Al Iman mungkin aku tidak akan se pede ini. Karena dulu sangat pemalu. Bahkan mendengar suara keras sedikit saja aku nangis. Al Iman mengeraskanku. Bentakan bahkan tamparan di pipi menjadi biasa saja. Saat ini masih saja aku syukuri, karena kemampuanku berkomunikasi sangat mendukung peranku di pekerjaan, organisasi maupun di masyarakat. Ini tentunya karena didukung acara muhadhoroh yang rutin setiap pekan. Bahkan pernah sepekan dua kali.

Yang berikutnya, adalah pemahaman "epistimologi"ku. Filsafat pengetahuanku. Ini penting dalam tradisi pembelajaranku hingga saat ini. Bagaimana belajar adalah untuk mencari ilmu, bukan mencari nilai. Bagaimana bisa merasakan indahnya belajar. Al Iman dengan segala kekurangannya justru membawa aku pada suasana sangat menikmati ilmu. Belajar itu seolah berdiri di tepi gunung dengan pamandangan yang indah, angin segar. Merinding setiap membayangkannya. Di Al Iman, aku bisa sangat mencintai perpustakaan, membaca buku bahkan di trotoar dekat perempatan sayangan, demi karena lampu kamar asrama sudah dimatikan karena di tepi jalan masih ada lampu merkuri yang menerangi.

Ini pengalamanku, bagaimana denganmu?

**tulisan untuk group alumni pesantren Al Iman Muntilan.
Januari 2016.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...