Kamis, 20 Oktober 2016

Syetan dan Kita

Semakin terbukti kebenaran FirmanNya, bahwa syetan adalah musuh abadi. Karena mahkluk halus tak berwujud maka ia tak terlihat namun dapat kita rasakan. Merasakan kehadirannya pun tak mudah, karena menyelinap di relung hati. "Yuwas wisu fi shudurin nas."

Mendeteksinya adalah saat kita berjarak dengan kebaikan dan kebenaran, menjadi berat lakukan hal hal positif, atau mungkin menahan melakukan kebaikan, memelihara kedengkian, maka saat itu kita sedang terinfeksi syetan.

Teringat seorang sahabat yang sekaligus pernah menjadi atasanku, pernah mengatakan "Mas, kehidupan itu sederhana saja. Serupa bagan. Manusia di tengah, dengan diapit syetan dan malaikat. Setiap langkah kita terpengaruh dua tarikan itu. Cenderung ikut bisikan siapa kah kita?"

Pilihan itu ada di setiap tindakan kita, pikiran kita, bahkan sekedar lintasan hati kita. Saat ini saat aku menulis di post ini pun dalam dua tarikan, ada bisikan syetan ada pula bisikan malaikat. Kesemuanya mengendap dalam nurani. (Sesaat aku benar-benar terhenti. Tangan gemetaran mau memilih huruf mana.)

Ada yang berbisik untuk apa menulis ini?

(Mungkin syetan tak suka) Tapi sudah saatnya berbenah. Bukankah perbaikan itu harus dimulai dari pemahaman bahwa kita sedang keliru? Seperti penggalan kalimat dalam sayidul istighfar kita, ".... Hari ini aku mengakui seluruh nikmat yang telah Kau beri, demikian pula aku akui dosa-dosaku." pengakuan.

Bahwa sikap hatiku: kecewa, marah, benci, dengki, sombong, enggan dikritik, suka dipuji, benci dicaci, menghamba pada citra dan persepsi orang, suka bermaksiat, berat beribadah, enggan bertobat, dan sejenisnya adalah hasil dari terinfeksi nya aku oleh syetan. Bahwa syetan adalah musuhku semestinya kembali aku ikrarkan. Lalu kembali jalani hidup sebagai pertempuran yang panjang melawannya.

Harapannya tentu, bisa tetap bertahan dalam sikap hati yang tenang terjaga, bahagia, tak ada satu pun kebencian, memiliki banyak amunisi untuk bertahan tanpa marah, mampu mendengar kritik sepedas apapun itu, risih terhadap pujian, tetap ringan lakukan kebaikan, tetap kaya dengan kasih sayang, dermawan, dan segala jenis kebaikan lainnya.

Sampai dengan saat aku akan mengakhiri tulisan ini pun masih ada bisikan, untuk apa ini ditulis dan diposting? Bukankah ini hanya akan mengikatmu? Bukankah kata kata ini akan memenjarakanmu, memberatkan langkahmu saat nanti kau kembali bermaksiat? Bukankah ini tulisan yang naif?

Entahlah, tapi aku putuskan, dengan lafadz "Bismillah" aku klik "poskan" (karena setting HPku gunakan bahasa Indonesia. Hehe.)

Mustika Jaya, 13/10/2016; 00.09
Poetoe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...