Seperti terlempar di arus deras,
kaki menjejak jejak namun tak temukan dasar sungai,
tangan menggapai gapai namun tak ada dahan yang bisa diraih.
Kepala timbul tenggelam, langit nampak namun sesekali air yang bungkam kelopak mata,
beberapa tenggak air terpaksa; gelagapan,
Kehidupan ternyata tak mudah.
Kebenaran yang terkumpul dulu dan mengendap dalam nurani,
tak lalu tenang. Sesekali syetan mengaduk aduknya kembali
Riak air kesadaran terkotori hasrat : menggelap
keruh oleh kepentingan.
Seperti gelas nalar kita,
jika tak dijaga, tumpah oleh kecerobohan kita sendiri.
Lalu menyesal. Nalar di akhir itu hanya bawa sesal.
Mestinya memang Nalar yang pimpin diri sedari awal,
hingga tak perlu sedu sedan itu. Semenjana yang terjaga.
jadi rima.
berirama.
tak tergesa.
tenang saja.
Sekitar tugu Pancoran; 20/10/2016
Poetoe
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Kamis, 20 Oktober 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar