Rabu, 14 Februari 2018

makhluk langit

menang kalah, cara pandang purba, selalu saja. terkadang membuat mual. bagaimana tidak jika setiap langkah seperti hanya ada dua pilihan, mau menang atau kalah. terbunuh atau membunuh. betapa sempit ruang pilihan.
mengapa harus menang?
mengapa takut kalah?
bosan aku pada pertandingan
mengapa tak jadikan dunia hanya pertunjukan saja?
sehingga tertawa tawa saja boleh, tak perlu terburu buru
tak perlu urat leher harus menegang, ah
untuk apa

aku mulai benar benar mual
saat melihat betapa hidup menjadi seserius itu, merencakan untuk menjatuhkan.
merencanakan untuk membangun kebencian.
merencanakan untuk merusak, meruntuhkan semua yang sudah dibangun lawan kita.
lawan? padahal mengapa harus jadi lawan? bukankah kita sama berdarah merah?
mengapa rasa fauna purba itu masih dipelihara bangsa manusia?

rasa marah juga benci.

aku duduk saja, di kursi taman selepas hujan, di sebuah senja yang ranum, aku melepas satu satu baju kebinatanganku. marah, benci, dengki, iri, ingin menang sendiri, bahagia atas luka orang lain, juga yang lainnya juga yang lainnya.

aku hanya ingin lalu berubah menjadi makhluk langit. putih, bersayap, lalu terbang di senja dengan langit melogam, mendekati matahari yang lembayung, dan aroma hujan menguar terumbar umbar kemana mana. aku terbang sayang. aku terbang.

Jakarta, senja selepas hujan, 09022018
poetoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...