Kamis, 29 April 2010

belajar dari Muhammad Yunus


“Suatu hari cucu-cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan” - dikutip di "The Independent", 5 May 1996 -Muhammad Yunus-.

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan kesempatan menikmati satu seminar yang diadakan di kantor. Di akhir sesi, sang pembicara memutarkan film pendek tentang Muhammad Yunus -peraih Nobel- dari Bangladesh. Melihat perjalanan perjuangan dia dalam melawan kemiskinan, memberikan banyak pelajaran. Dia begitu bersungguh-sungguh dalam mempelajari ekonomi kemiskinan, dan terus berusaha menjadi bagian dari pengentasanan ummat manusia dari kemiskinan.

Bermula dari pertemuannya dengan seorang pengrajin yang miskin yang begitu tekun dalam bekerja; sehingga hasil karyanya demikian bagus, namun tetap saja miskin karena harga jualnya sangat murah. Mengapa harga jualnya menjadi begitu murah? karena ternyata dia terjebak dalam hutang dengan bunga yang tinggi. Jadi ia tidak memiliki nilai tawar dalam penetapan harga produksinya. Artinya, dia miskin karena sistem yang tidak mendukung. Bukan karena kemalasannya. Fakta inilah yang menjadi latar belakang Muhammad Yunus membuka Grameen Bank - Bank untuk rakyat miskin -.

Seharusnya orang miskin lah yang patut mendapatkan pinjaman, bukan hanya orang kaya yang dapat memberikan jaminan. Pada tahun 1976, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Hinggal saat ini, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari 3 miliar dolar ke sekitar 2,4 juta peminjam. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok ini mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

Bagaimana dengan kondisi kita? Masih ada tetangga kita, yang harus bekerja banting tulang tanpa bisa menikmati hasil kerja keras-nya, karena mereka terlilit hutang dari para rentenir. Mereka menjadi "ketergantungan". Rasanya hutang ribawi ini nyaris sama dengan NARKOBA, menjalar merusak roda perekonomian kita. Menggerogoti "kesejahteraan" yang menjadi mimpi kita.

Apa yang bisa aku lakukan? paling tidak, lewat Yayasan LAZDAS INDONESIA peran kecilku dapat tersalurkan. Menjadi satu jawaban nanti di yaumil hisab; Wallohu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...