*
Dan kerinduan terhadap matahari lah yang mungkin jadi energi untuk bertahan dalam malam.
Energi untuk perlahan tenggelam dalam
Sunyi berkepanjangan
Indah dalam dengung tanpa nada.
Datanglah angin tebarkan harapan
Ingin yang tersulam dalam doa
Agar keberkahan itu tersiram
Rahsakan perhatian yang menyatu dalam curah hujan.
Nafas yang bercampur dalam guntur.
Inspirasi hati yang mengalir
Tetesannya...
Hujan dan....
Air mata.
**
Dinding tua seolah menyemesta padahal bukan siapa siapa.
Entah kabut apa yang menyihirnya.
Sesenggukan... saat kesadaran datang bertamu
Isaknya mengumandang hingga pagi.
Demam aku olehmu, gumam dinding tua.
Indahkan luka dengan tawa terpaksa
Abaikan saja.
Rahsa menjadi raja.
Nestapa menjadi nada.
Indahkan perih dengan senandung lirih.
Tatap langit, nanar.
Hukum saja hati....
Anggap saja tembok dinding ini memang penuh luka.
***
Dalam sepi
Entah ini mimpi atau benar benar terjadi
Silau aku oleh gelap yang teramat
Ijinkan aku lenyap.
Dalam sunyi
Imbangkan nyata dengan duga
Aku bisikkan pada jeda
Remah-remah kesadaran
Nyalanya masih remang
Injak keakuanku
Telanjangi ambisi
Habisi kesombongan diri
Aku menyublim dalam bunyi "ngiiiing" panjang.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Jumat, 02 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar