Ternyata tak mudah mengarahkan hati untuk memaafkan. Mencoba mencari alasan yang mendukung hati kita menjadi pemaaf. Paling tidak ini yang terpikir saat ini:
1. Nabi, hamba-Nya yang dilindungi dari kekeliruan dan kesalahan saja demikian pemaaf, bagaimana dengan kita yang penuh keliru dan dosa? Bisa jadi perbuatan dholim orang lain itu adalah buah dari kekeliruan kita di masa lalu, jadi mengapa tak kita maafkan saja.
2. Sesuatu itu terjadi tidaklah berdiri sendiri. Pasti ada lingkupan peristiwa lain yang mendukung. Bisa jadi hal buruk yang dilakukan atas kita hanyalah ekspresi sesaat bukanlah substansi isi dirinya yang sebenarnya.
3. Memahami bahwa memaafkan adalah serupa melepaskan. Bukan menahan dalam dada yang membuat sesak, melainkan melepaskannya saja. Disertai dengan kehadiran Dia dalam proses pelepasan itu. Tentu akan melegakan dan dapat menjadi energi untuk move on.
Wallohu a'lam.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar