Sabtu, 23 Juli 2016

Semenjana dalam mudik

Catatan mudik tahun ini, beberapa kali rehat sholat di masjid yang masih bergaya tradisional. Sebelum adzan dilantunkan puji-pujian, di antara adzan dan qomat pun diisi dengan lantunan asmaul khusna. Dan seperti biasa setelah sholat berdoa bersama diakhiri dengan bersalam salaman dengan iringan sholawat.

Sebenarnya biasa saja, tetapi tidak biasa untukku yang sedari kecil bersama tradisi sholat berjamaah di masjid yang berbeda. Karena kami biasa lebih personal dalam berdoa sedangkan dalam masjid yang tradisional ini ritual menjadi terasa lebih komunal. Walau berbeda, aku menikmatinya.

Di perkotaan, masjid-masjid menyajikan menu kajian yang dinamis, cocok buat mereka yang haus ilmu. Akhirnya jadi banyak perbedaan yang tumbuh subur. Karena daya kritis dipupuk, dipelihara dalam kajian keilmuan yang berkecukupan. Sedangkan di perkampungan masjid ĺebih menyediakan ruang untuk mengendapkan pemahaman. Doa dan dzikir yang dominan menjadi menu untuk menenangkan diri.

Dua kutub yang saling mengisi, satu sisi perkotaan yang terbuka, dinamis, dan kritis yang meluaskan wawasan, dan sisi tradisional yang ritual, komunal dan cenderung mistis yang menenangkan, mengendapkan.

Seperti biasa cara pandang sintesis adalah cara pandang kearifan yang sakmadya, semenjana.

Bumiayu, 9 Juli 2016
Poetoe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...