Ia berjalan menguliti senja, warna muram
yang menyebalkan. Ia menjambak sendiri rambutnya.
Kebencian teramat cepat mewabah.
Ia bertanya pada banyak orang, tentang
waktu, tentang jarak, tentang keberadaan cinta, tentang rindu, tentang sepi,
tentang pura-pura.
Ia hanya terus belajar untuk mengerti.
Ia pun bertanya untuk apa, jika pada
akhirnya ada luka, ada isak tangis, apakah hidup tak sesempurna itu?
Ia malu, telah kehilangan keberanian hadapi
pedih itu. Padahal belum pula ia mulai.
Ia berteriak pada senja
Peluk aku
Renggut aku
Cabik-cabik aku
Tanah di bebukitan itu terjejak merah
darah, kunang-kunang beterbangan menerbangkan kenangan, dan malam adalah sisa
masa yang hanya sunyi bernyanyi sedih, pedih.
Jakarta-Bekasi, 19032019
Poetoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar