Seperti pada suatu waktu yang tak pernah terjadi itu, aku menarik tanganmu, mengajakmu duduk di beranda depan rumah, saat malam dengan cahaya purnama yang nyaris sempurna. Kau kenakan gaun biru muda, wajahmu wajah cerah, seperti menelan semua cahaya bulan lalu kembali pantulkan dengan lebih terang dari cahaya asalnya. Seperti ada aura lain dari wajahmu, menyempurnakan cahaya bulan, hingga indahnya dahsyat saat tertangkap oleh pupil mataku, dan menjadi data yang dikirimkan retina ke pusat benakku. Oh.
Kita lalu duduk saja. Diam. Sesekali bersitatap, membiarkan makna tercerap utuh. Bukankah terkadang kata justru menyesatkan langkah makna yang berderap mendekati pusat otak kita? karenanya diam adalah pilihan. Justru angin malam yang menampar rambutmu, menyeruak aroma yang demikian aku suka, melahirkan berisik deru yang lembut, seolah mengulum daun telingaku, meronta-ronta melawan sepi yang wingit.
Aku dan kau, duduk saja, diam di bawah rembulan. Mengaduk perlahan malam, yang semakin lama semakin pekat oleh makna.
Bekasi, 24/04/2016
Poetoe
Jumat, 03 Juni 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
BAB 1 CAHAYA (Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma, Kebenaran seperti a ksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti kebenaran...
-
Belajar beberapa hal di beberapa hari ini. Tentang perencanaan yang matang atas segala sesuatu, bahkan gerak hati. Hehe.. aneh memang, gerak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar