Rabu, 02 Maret 2016

percakapan senja

Aku mulai dari....
"kata yang menggumpal di atap benak, kau panaskan agar mencair...."

"keheningan dalam riuh lalu lintas ini menjadi bongkah batu baranya...."

"cukuplah aku pejamkan, mendidih rongga otak dan gumpal kata itu menetes..."

"..mungkin hasilnya tak seperti yang kau minta, karena ini tetesan kata serupa embun..."

"namun kau boleh nikmatinya... kecaplah...
akan kau rasai maknanya.

Pastilah itu tentang sebuah prosa yang bernas makna. Tentang ilmu yang serupa Suluh,  menerangi, membahagiakan, ...."

"layaknya Suluh maka dunia kita meluas karena gelap terusir ke pinggir, ketidaktahuan yang banyak tak terkira itu perlahan dilumat oleh terang cahya...."

"jadi duduklah sini bersamaku, nikmati sajian ini secara sabar.

Di sini tak ada pribadi yang telah mati terikat oleh stempel diri 'aku itu emang kayak gini'....

karena di sini memang rumah para pembelajar,  yang mengenal ketakbersudahan cinta juga proses belajar panjang itu...."

"tak ada saling menyalahkan tak ada saling ungkap kekurangan karena saling menjadi guru itu tak lalu boleh menggurui...."

"jalani saja... kita sama sama buta peta. Hanya suluh kecil ini, yang kita pegang bersama ini yang menuntun kita...."

"jika kau masih ragu maka berhentilah. Lalu pejamkan matamu. Ini semua memang tentang diri kita. Kita bersama toh memang hanya di sini. ...

di logos kecil bernama dunia ini. Kelak saat kembali ke logos besar itu kita memang sendiri.

Jadi tak mengapa bermanja manja pada sepi saat sendiri. Dan itu pun yang aku nikmati belakangan ini."

"Kuncinya walau sendiri kau harus yakinkan bahwa kau bahagia. Karena bahagia itu memerdekakan.

Saat sepi usir gerak benak yang mengatakan riuh dan hangat itu indah.. . tapi sebaliknya bahwa sunyi itu lah kenikmatan...."

"Sebaliknya saat dalam kehangatan dan kebersamaan yakinkan bahwa kita bahagia dalam kondisi ini.

Kurasa demikianlah aku pahami makna syukur itu."

"Angin malam menampar, aroma belukar terbongkar... menyeruak... aku bersegera berdiri. Menghardik sepi.

hayuk temani aku nikmati kopi, mungkin itu terapi hati yang saat ini aku butuhkan."

jakarta-bekasi, Maret 2016
poetoe


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...