Ketika ketulusan lah yang kau bilang bisa menjadi dasar ketakbersudahan, aku spontan bertanya "kalau aku...? tuluskah menurutmu?"
Tak kuduga, wajahmu terhenyak seperti kaget. "Tulus itu seperti ikhlas dan juga sabar, saat dinyatakan justru perlu dipertanyakan pembuktiannya."
Lalu aku tak lagi berharap pertanyaanku akan berjawab. Kubiarkan saja langit mendung di atas sana seolah mentertawai kami.
Aku penuh. Seperti bahagia yang tak lagi bersyarat. Bersamamu aku demikian merdeka. Karena bahkan untuk rindu yang sering dibilang indah namun membelenggu itu pun tak lagi aku rasa. Aku nyaris tak lagi peduli bagaimana jarak dan waktu itu menceraikan kita.
Kau tahu, saat bersama dengan orang lain terkadang ada basa basi yang kita pakai sebagai kedok untuk menutupi ketidakcocokan itu. Namun berbeda denganmu, aku bugil tanpa tabir, berbeda minat pun biasa saja. Bahkan saat dalam bincang itu aku bertanya, kau dengan ringan berkata "aku tidak mau jawab." dan aku merasa cukup. Kami berdua berpandangan lalu lepas tertawa.
Mungkin demikianlah Dia mempertemukan. Berharap selalu tumbuh bersama. Memahami dan memaklumi tanpa henti.
Jakarta, 24/03/2016. Senja.
Poetoe.
Kamis, 24 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
BAB 1 CAHAYA (Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma, Kebenaran seperti a ksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti kebenaran...
-
Belajar beberapa hal di beberapa hari ini. Tentang perencanaan yang matang atas segala sesuatu, bahkan gerak hati. Hehe.. aneh memang, gerak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar