Selasa, 05 Mei 2015

Diam, melawan, atau memaafkan?

#: kenapa ya mas

*: dalem?

#: kenapa orang cenderung lebih suka menyakiti orang lain saat dirinya terluka?

*: naluri membalas?

#: kenapa tidak mecari obat penawarnya saja?

*: nah... ini percakapan filosofis... (bersiap simpan)

#: jadi, menurutmu kenapa?

*: karena naluri membalas...
petinju akan bersemangat memukul saat ia terpukul
seharusnya memang ia mencari penawar saja
fokus pada lukanya
karena melukainya tak lalu membuat luka kita sembuh

#: kalau analoginya petinju, dia membalas lawannya yg memukul dia
fight back

*: oh.. ini melukai orang lainnya lagi?
wah

#: bukan memukul para penontonnya kan?

*: iya
hmm.. mungkin kesenangan jika tak terluka sendiri

#: kalau hakikat hidup ini hanya sekedar membalas, lalu dimana ujungnya?
berhenti dimana ini semua nantinya?

*: seharus kata maaf yang menghentikannya
#: siapa yg menghentikan alur ini? atau memang tidak akan berhenti?

*: seharusnya kita yang menghentikan...
bukankah kita lah pelaku utama film Hidup Kita?

#: kalau aku menghentikannya dengan cara diam, does it work?

*: diam itu menahan
menahan itu berat
memaafkan itu melepaskan
melepaskan itu melegakan

#: saat aku belum bisa memaafkan, apa diam itu belum cukup?
untuk sementara, paling tidak, itu menghentikan alur tadi

*: apakah diam itu menuju ke arah "memaafkan" atau hanya diam?
jika hanya diam maka itu belum cukup

#: bener katamu, diam itu untuk menghentikan, supaya aku ga turut melukai orang lain
efeknya akumulatif di aku

*: namun bisa jadi luka itu bertambah di tempatmu

#: dan siap meledak kapan saja aku udah ga sanggup menahan
ledakan itu lah yang harus dihindari
caranya lepaskan.. bukan ditahan
melepaskannya adalah dengan memaafkannya
#: I'll try

*: semangat dik
buat banyak pintu dalam pemikiran kita... untuk melepas luka itu

1 komentar:

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...