Lalu aku harus menulis lagi. Tentang rasa yang sesuai pesanan seorang
teman: Kecewa. Kata apa yang pantas aku tuliskan untuk memulai gambaran
tentang kecewa? mungkin harapan. Iya karena mula dari kecewa adalah
harapan yang yang tak dapat menyata. Bayangkan saja jika tak ada harapan
itu, tentu tak ada pula kecewa.
Tapi aku tak mau senaif itu.
Khawatir ia merasa dipojokan, lalu ia akan menjawab, terus yang salah
itu harapanku? dan mungkin banyak kalimat lain. Karenanya aku tak jadi
memulai tulisan ini dengan membahas makna harapan. Aku justru mau
berbincang tentang air di kolam.
Ada apa dengan air di kolam?
Kolam ini kolam kecil di depan rumah. Endapan lumpur di dasarnya sudah
cukup tebal, hingga anak ikan terkadang menyelam ke dalam lumpur saat ia
bermain petak umpet dengan teman-temannya. Saat sirip ikan itu
bergerak, lumpur terkoyak, lalu air kolam menjadi keruh. Akan semakin
keruh saat anak ikan itu semakin masuk ke lumpur. Jika saat itu teman
anak ikan melihat tentu akan ketahuan di mana anak ikan itu sembunyi,
karena keruhnya ciptakan jejak. Beberapa saat setelah itu, lumpur
kembali mengendap, air kembali jernih. Begitulah.
Lalu cerita
macam apa ini, apa hubungannya dengan tema kecewa? Kecewa adalah kepakan
sirip yang keruhkan air kolam, dan kecepatan air kolam kembali jernih
dengan endapkan lumpur adalah kemampuan hati kita untuk sembuhkan
sendiri kecewa itu.
Entahlah. Semoga ia tak kecewa saat membaca tulisan pesanannya....
jikapun kecewa, semoga keruhnya lumpur segera mengendap, dan air kolam kembali jernih. Aamiin.
Ruang kantor, 19/07/2017
Poetoe.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Selasa, 31 Oktober 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar