Senin, 29 Februari 2016

Gerimis Mengunyahku

Di luar hujan. Gerimis. Suasana yang aku suka sejak dulu. Sedang di sini, saat gerimis di luar sana itu, aku berdiri resmi di depanmu. Kucoba gunakan senyum dan kalimat sesopan mungkin. Aku sampaikan terima kasih yang mendalam, untukmu, atas perhatian dan kebaikanmu. Bagiku luar biasa. Kau memang serius ekspresikan rasa itu.

Dan di luar memang hujan. Gerimis. Seperti pestanya rintik hujan yang menyerbu bumi. Mereka bernyanyi sambil meluncur deras. Beberapa saat setelah itu aku berlari menikmati iramanya. Kuanggap nadanya iringi detak jantungku. Betapa banyak yang kita mengerti sulit terjadi itu justru kita pilih menjadi keinginan. Betapa banyak waktu yang kita taburkan untuk keinginan keinginan yang rumit itu. Menjadi iri, atas senyum mereka yang putuskan hidup dengan demikian sederhana.  Hidup yang nyaris tanpa keinginan, karena langkah kaki hanyalah "sak dermo ngelakoni".

Memang tak mudah. Terlebih untuk jasad yang seolah hanya nampan yang penuh oleh hasrat dan luapan keinginan saja. Saat diingatkan, kita spontan berdalih ini manusiawi.

Entahlah, mana yang seharusnya mana yang tak seharusnya. Mungkin hidup adalah rangkaian pertanyaan yang berjawab namun lahirkan pertanyaan baru itu.

Di luar, aku menatap langit, membiarkan gerimis mengunyahku. Aku biarkan. Aku biarkan saja.

Di bawah tugu pancoran, senja 12/02/2016
poetoe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...