Baiklah, aku harus menuliskannya.
Bangunan yang megah, jam dinding besar di atasnya. Dingin.
Seolah terlalu banyak mencatat perpisahan.
Juga pertemuan.
Terlalu banyak.
Bahkan kenangan juga ingatan itu melarut saja dalam gelap kopi Americano.
Baru dua teguk, tiba-tiba saja sepi.
Mengapa kita masih sering galau oleh apa yang orang lain pikirkan?
Bukankah ada ain dan kifayah yang mesti kita pilah?
Sekedar galau memang tak mengapa, namun saat lahir dalam kata kasar atau sikap permusuhan maka ini masalah.
Kita menanam kebencian, bahkan atas kebenaran yang belum kita mengerti.
Mengapa tak kita relakan saja, dengan pengakuan bahwa kita masih lebih kotor dari mereka. Dan terima dengan tulus, nasehat adalah nutrisi hati.
Kita butuh rendah hati dalam apapun.
Agar kebenaran tak beranjak pergi jauhi kita.
Dan cinta adalah kata yang layak kita punya.
Karena cinta kita enggan membenci dan memelihara syak wasangka.
Jelang senja bercampur dengan maghrib, di lantai stasiun, aku letakkan egoku.
Di bawah, bersebelahan dengan gelas kopiku.
Aku berhenti menjadi pongah, aku putuskan hati beranjak dari sombong dalam bentuk apapun.
Ini hanya cara,
Agar tak terluka saat kau cela
Agar tak terhina saat kau hina.
Sekian.
Stasiun Tugu, 5/3/2017
Poetoe
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar