Kamis, 16 Maret 2017

Stasiun Tugu, kopi dan diri

Baiklah, aku harus menuliskannya.
Bangunan yang megah, jam dinding besar di atasnya. Dingin.
Seolah terlalu banyak mencatat perpisahan.
Juga pertemuan.

Terlalu banyak.

Bahkan kenangan juga ingatan itu melarut saja dalam gelap kopi Americano.
Baru dua teguk, tiba-tiba saja sepi.

Mengapa kita masih sering galau oleh apa yang orang lain pikirkan?
Bukankah ada ain dan kifayah yang mesti kita pilah?
Sekedar galau memang tak mengapa, namun saat lahir dalam kata kasar atau sikap permusuhan maka ini masalah.
Kita menanam kebencian, bahkan atas kebenaran yang belum kita mengerti.
Mengapa tak kita relakan saja, dengan pengakuan bahwa kita masih lebih kotor dari mereka. Dan terima dengan tulus, nasehat adalah nutrisi hati.

Kita butuh rendah hati dalam apapun.
Agar kebenaran tak beranjak pergi jauhi kita.

Dan cinta adalah kata yang layak kita punya.
Karena cinta kita enggan membenci dan memelihara syak wasangka.

Jelang senja bercampur dengan maghrib, di lantai stasiun, aku letakkan egoku.
Di bawah, bersebelahan dengan gelas kopiku.
Aku berhenti menjadi pongah, aku putuskan hati beranjak dari sombong dalam bentuk apapun.

Ini hanya cara,
Agar tak terluka saat kau cela
Agar tak terhina saat kau hina.

Sekian.

Stasiun Tugu, 5/3/2017
Poetoe 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...