Selasa, 22 November 2016

To be or not to be.

Hidup sebagai rangkaian pilihan seringkali kita persulit dengan membenturkan dua titik ekstrim. Hitam atau putih. Iya atau tidak sama sekali. Seperti tesis lalu anti tesis, melupakan kelanjutannya yaitu sintesis.

Saya teringat almarhum Bapak. Seorang pekerja dakwah, yang awalnya ceramah dari mimbar ke mimbar, namun di penghujungnya lebih memilih jalan kultural, membuka perbincangan informal dengan kemasan bercanda. Materinya sama, terkadang bahkan tema bercanda Bapak itu muatan aqidahnya pekat. Mentertawakan ketakutan antar manusia, disiplin yang tak semestinya pada kegiatan pramuka misalnya. Sepertinya Bapak menyadari bahwa mimbar hanya bisa mendefinisikan mana benar mana salah. Jika tak lalu dilanjutkan dengan sarana lain, maka ummat hanya diberi pilihan yang kaku. To be or not to be. Bisa jadi sebagian mereka memilih tidak sama sekali, lalu berpaling menjauh. Pada sarana lain itulah peran yang diambil Bapak. Mediasi, saat ummat mulai tertarik pada jalan Islam.

Saya belajar banyak dari Bapak. Kemasan dakwah yang terlihat tetap nyaman. Ada beberapa tetangga dari keyakinan yang berbeda, tetap nyaman berdiskusi agama dengan Bapak. Tak ada lonjakan emosi. Suara keras berapi-api. Justru seringkali tertawa-tawa. Hasilnya paling tidak, RT tempat yang dia pimpin sampai akhir hayatnya adalah lingkungan yang damai. Penuh tepa selira, dengan kajian di Mushola Al Ishlah markas dakwah RT kami tetap rutin dilaksanakan.

Demikian, pagi ini saya luangkan waktu khusus untuk mengenang almarhum Bapak, terinspirasi mas Maulana cucu pertamanya yang rajin menghitung hari menuju 1000 hari Tatungnya meninggal.

Bekasi, 08/11/2016
Poetoe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...