bernyanyilah aku di satu siang;
sebagai bukti cinta pada matahari...
terik panggang otak-ku
mendidihnya ia, tumpah di tungku jiwa ini.
dan menarilah aku di satu senja;
yang gersang, kering, warnanya jingga
keindahan yang sendu
cukuplah senja ini mewakili rahsa yang gagap -mencari makna hari-
irama waktu, dan aku
bermain-main menunggu malam;
cukup ya.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Senin, 18 Mei 2009
Minggu, 10 Mei 2009
hujan;
Hujan;
aroma tanah tersiram air… betapa segar
aroma purba, saksi dari banyak cerita
entah mengapa, dalam siraman hujan.. muncul beberapa wajah
dari lembaran-lembaran kenangan lama
senyuman, kerutan di dahi,
wajah muram, bahkan tangisan…
Hujan;
selalu saja membawa keheningan yang aneh di bilik kepala
karena kenangan, apapun itu.. serasa begitu pribadi
tak seorang pun boleh tahu…
tak seorang pun akan mengerti
betapa pentingnya kenangan itu
bagi ku
bagi dahaga jiwaku.
Hujan;
berharap lama, hingga aku sempat tutaskan mimpi ini
mimpi kanak-kanak yang nyaris terlupa.
aroma tanah tersiram air… betapa segar
aroma purba, saksi dari banyak cerita
entah mengapa, dalam siraman hujan.. muncul beberapa wajah
dari lembaran-lembaran kenangan lama
senyuman, kerutan di dahi,
wajah muram, bahkan tangisan…
Hujan;
selalu saja membawa keheningan yang aneh di bilik kepala
karena kenangan, apapun itu.. serasa begitu pribadi
tak seorang pun boleh tahu…
tak seorang pun akan mengerti
betapa pentingnya kenangan itu
bagi ku
bagi dahaga jiwaku.
Hujan;
berharap lama, hingga aku sempat tutaskan mimpi ini
mimpi kanak-kanak yang nyaris terlupa.
Jumat, 08 Mei 2009
CATATAN PERJALANAN; (jakarta -batam- jakarta)
Dalam perjalanan ini, aku bertemu pesona alam yang mengguyur bilik kenangan. Tentang awan, langit, mentari, udara kering, genangan air laut dan telaga, barisan pulau-pulau.
Berbicang pada orang-orang, bersinggungan dengan banyak warna jiwa, dapatkan banyak cerita. Terlalu banyak mungkin, untuk bilik ingatanku yang tidak seberapa luas. Hal-hal yang coba aku catat dari perbincangan itu adalah: kerja, tugas, setiap amalan selalu ada balasan, kesetiaan, kata-kata indah itu bisa merebut hati, benturan-benturan yang tak terbayangkan, persahabatan-rasa sayang, cinta-pengkhianatan dan kebencian.
Belajar dari semua itu:
1. Memahami betul bahwa setiap kita memiliki potensi berbuat dosa, setiap kita bisa saja terjebak dalam kesalahan langkah, lalu tersesat saat mencari jalan pulang; (QS. Asy-Syaam: 8 “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”);
2. Godaan untuk menyimpang itu ada di mana-mana, di setiap langkah hidup, di setiap detik menjelang satu senyuman atau tangisan, di setiap kata-kata yang terucap;
3. Dibutuhkan faktor eksternal yang mendukung, sekumpulan teman-teman yang bisa saling mengingatkan untuk tetap jadikan petunjuk Allah dan akal sehat sebagai panglima (QS. Al’Ashr:3 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”);
4. Kita perlu membangun irama hati, sehingga nyaman-lah kita dalam menjalani hidup, tidak banyak benturan: membuat keras menjadi lembut, cinta-nafsu menjadi sayang-empati, mengubah marah yang menggebu menjadi tegas namun tetap penuh senyuman;
Kepercayaan kita kepada seseorang bisa jadi pemicu rasa sakit yang “luar biasa” jika tidak diikuti dengan pemahaman bahwa bagaimanapun juga kita hanya manusia biasa. Sebagai manusia tentu kita sama-sama membutuhkan mekanisme pengawasan diri;
- Pengawasan --> antisipasi pelanggaran
- Tarbiyah/Pendidikan (peningkatan pemahaman) --> adalah proses membangun kepatuhan.
Keduanya mesti berjalan bersama...beriringan.
Hmm... semuai ini lahir dalam benak, setelah mencoba “menyelam” di beberapa samaudra “kenangan” teman-teman.
Rasanya Allah memang telah menyiapkan skenario ini untuk aku jalani.
Alhamdulillah!!.
Berbicang pada orang-orang, bersinggungan dengan banyak warna jiwa, dapatkan banyak cerita. Terlalu banyak mungkin, untuk bilik ingatanku yang tidak seberapa luas. Hal-hal yang coba aku catat dari perbincangan itu adalah: kerja, tugas, setiap amalan selalu ada balasan, kesetiaan, kata-kata indah itu bisa merebut hati, benturan-benturan yang tak terbayangkan, persahabatan-rasa sayang, cinta-pengkhianatan dan kebencian.
Belajar dari semua itu:
1. Memahami betul bahwa setiap kita memiliki potensi berbuat dosa, setiap kita bisa saja terjebak dalam kesalahan langkah, lalu tersesat saat mencari jalan pulang; (QS. Asy-Syaam: 8 “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”);
2. Godaan untuk menyimpang itu ada di mana-mana, di setiap langkah hidup, di setiap detik menjelang satu senyuman atau tangisan, di setiap kata-kata yang terucap;
3. Dibutuhkan faktor eksternal yang mendukung, sekumpulan teman-teman yang bisa saling mengingatkan untuk tetap jadikan petunjuk Allah dan akal sehat sebagai panglima (QS. Al’Ashr:3 “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”);
4. Kita perlu membangun irama hati, sehingga nyaman-lah kita dalam menjalani hidup, tidak banyak benturan: membuat keras menjadi lembut, cinta-nafsu menjadi sayang-empati, mengubah marah yang menggebu menjadi tegas namun tetap penuh senyuman;
Kepercayaan kita kepada seseorang bisa jadi pemicu rasa sakit yang “luar biasa” jika tidak diikuti dengan pemahaman bahwa bagaimanapun juga kita hanya manusia biasa. Sebagai manusia tentu kita sama-sama membutuhkan mekanisme pengawasan diri;
- Pengawasan --> antisipasi pelanggaran
- Tarbiyah/Pendidikan (peningkatan pemahaman) --> adalah proses membangun kepatuhan.
Keduanya mesti berjalan bersama...beriringan.
Hmm... semuai ini lahir dalam benak, setelah mencoba “menyelam” di beberapa samaudra “kenangan” teman-teman.
Rasanya Allah memang telah menyiapkan skenario ini untuk aku jalani.
Alhamdulillah!!.
Kamis, 16 April 2009
tentang Waktu; (catatan sesaat setelah bergerak dari WIB ke WITA)
Menikmati hari ini, sambil berbincang tentang waktu. Tentang kesewenang-wenangan kita sebagai manusia terhadap waktu. Kita mengkerdilkan waktu, dengan mengikatnya dalam satuan-satuan yang sengaja kita ciptakan. Dalam detik, dalam menit, dalam jam....
Kenangan adalah salah satu yang lahir dari rahim waktu, dengan benih kenyataan-kenyataan yang menyatu dalam dunia di isi kepala kita. Pada awan yang sama seperti awan-awan lain yang pernah kita temui, pada pasir pantai seperti pantai-pantai mana yang pernah kita kunjungi, pada setiap wajah-wajah yang mungkin pernah kita temui entah di belahan dimensi yang mana.... aku catat kenangan-kenangan itu, dalam rongga kepala. Dalam hati-pun percikannya terasa. Kata-kata yang pernah terucap pada entah siapa saja yang pernah kita temui, seringkali terulang lagi, terulang lagi di gendang telinga... menjadi serupa jamur panu di kulit leher. Erat menempel, dalam dinding hati, dalam kulit benak.
Cinta, adalah salah satu yang lahir dari kenangan yang indah. Dia tumbuh subur di lahan hati, dengan bumbu suasana yang tenang, dan ditaburkan pupuk perhatian dan keterbukaan.
Dan waktu terus saja bergerak, tubuh kita terseret, mimpi-mimpi bergegas nyaris tertinggal, dan kenangan menjadi serupa beban, menempel erat di punggung jiwa. Padahal sampai hari ini-pun, aku belum sanggup memahami secara sempurna tentang makna waktu. Kata-mu: “waktu itu tidak mutlak”, mungkin itu semakna dengan kata Enstein tentang Relativitas Waktu. Entah-lah, mungkin kita memang tidak harus benar-benar memahaminya, namun tetap harus selalu siap mengikutinya, karena jika tertinggal, maka kita pasti akan diterjang olehnya... hingga renta, hingga moksa.
Berbicara tentang waktu, sungguh kita mesti berbenah. Teringat firman-Nya, dalam Surat “Masa”: bahwa manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Seperti kita, dan dunia di sekitar kita. Kadang ngilu, ketika seorang yang dulu begitu dominan mengisi alam sadar kita, tiba-tiba saja “hilang”. Dia ada di sekitar kita, namun lenyap dalam alam sadar kita. Kadang pertemuan yang terjadi hanya senyap, tanpa tatap, tanpa cakap.
Selepas tengah malam, aku lepaskan saja kegelisahan ini. Kepada gelapnya langit, dinginnya angin malam, kepada sunyinya rentang waktu yang aneh, karena aku menghitung tengah malam dengan jam di waktu yang berbeda... dengan jam di sini: ini sudah dini hari. Entahlah mana yang benar, melihat waktu dari jam ini, atau dari gelapnya langit?
Kenangan adalah salah satu yang lahir dari rahim waktu, dengan benih kenyataan-kenyataan yang menyatu dalam dunia di isi kepala kita. Pada awan yang sama seperti awan-awan lain yang pernah kita temui, pada pasir pantai seperti pantai-pantai mana yang pernah kita kunjungi, pada setiap wajah-wajah yang mungkin pernah kita temui entah di belahan dimensi yang mana.... aku catat kenangan-kenangan itu, dalam rongga kepala. Dalam hati-pun percikannya terasa. Kata-kata yang pernah terucap pada entah siapa saja yang pernah kita temui, seringkali terulang lagi, terulang lagi di gendang telinga... menjadi serupa jamur panu di kulit leher. Erat menempel, dalam dinding hati, dalam kulit benak.
Cinta, adalah salah satu yang lahir dari kenangan yang indah. Dia tumbuh subur di lahan hati, dengan bumbu suasana yang tenang, dan ditaburkan pupuk perhatian dan keterbukaan.
Dan waktu terus saja bergerak, tubuh kita terseret, mimpi-mimpi bergegas nyaris tertinggal, dan kenangan menjadi serupa beban, menempel erat di punggung jiwa. Padahal sampai hari ini-pun, aku belum sanggup memahami secara sempurna tentang makna waktu. Kata-mu: “waktu itu tidak mutlak”, mungkin itu semakna dengan kata Enstein tentang Relativitas Waktu. Entah-lah, mungkin kita memang tidak harus benar-benar memahaminya, namun tetap harus selalu siap mengikutinya, karena jika tertinggal, maka kita pasti akan diterjang olehnya... hingga renta, hingga moksa.
Berbicara tentang waktu, sungguh kita mesti berbenah. Teringat firman-Nya, dalam Surat “Masa”: bahwa manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Seperti kita, dan dunia di sekitar kita. Kadang ngilu, ketika seorang yang dulu begitu dominan mengisi alam sadar kita, tiba-tiba saja “hilang”. Dia ada di sekitar kita, namun lenyap dalam alam sadar kita. Kadang pertemuan yang terjadi hanya senyap, tanpa tatap, tanpa cakap.
Selepas tengah malam, aku lepaskan saja kegelisahan ini. Kepada gelapnya langit, dinginnya angin malam, kepada sunyinya rentang waktu yang aneh, karena aku menghitung tengah malam dengan jam di waktu yang berbeda... dengan jam di sini: ini sudah dini hari. Entahlah mana yang benar, melihat waktu dari jam ini, atau dari gelapnya langit?
Selasa, 27 Januari 2009
Sebait kata untuk GAZA
aku melihat langit hitam itu kadang memerah kadang berpijar,
indah namun melahirkan geletar takut yang tak tertahan
karena percikan-nya ciptakan perih yang luar biasa,
karena dentumannya merobek gelembung jantung…..
rumah tinggal puing, masjid tinggal puing, sekolah luluh lantak
berlarian sembari menyimpan rasa takut itu dalam dada
tersimpan dalam dada; berharap tak nampak…
karena tak ingin aku ganggu cinta ini dengan benih-benih kepengecutan
Ayo tatap saja langit itu,
biarlah pesawat-pesawat iblis itu girang memandang kita sebagai sasaran tembak
biarlah saja;
toh ada cinta dalam dada ini yang tak akan kuasa mereka lawan….
Ayo bom saja kami,
tak surut selangkah-pun kami dari barisan ini…..
indah namun melahirkan geletar takut yang tak tertahan
karena percikan-nya ciptakan perih yang luar biasa,
karena dentumannya merobek gelembung jantung…..
rumah tinggal puing, masjid tinggal puing, sekolah luluh lantak
berlarian sembari menyimpan rasa takut itu dalam dada
tersimpan dalam dada; berharap tak nampak…
karena tak ingin aku ganggu cinta ini dengan benih-benih kepengecutan
Ayo tatap saja langit itu,
biarlah pesawat-pesawat iblis itu girang memandang kita sebagai sasaran tembak
biarlah saja;
toh ada cinta dalam dada ini yang tak akan kuasa mereka lawan….
Ayo bom saja kami,
tak surut selangkah-pun kami dari barisan ini…..
bayang-bayang hitam
Adalah rasa yang indah, kecenderungan untuk menikmati kesenjangan. Perbedaan adalah keindahan, ketika menciptakan perpaduan dua unsur yang jauh berbeda. Ketika gelap dan terang, cinta dan benci, kerinduan dan kesal, muda dan tua, lemah dan kuat, senyum dan kepedihan, gairah dan penat, tak peduli dan kehangatan.....
Berharap bertemu dengan kepedihan adalah salah satunya. Rindu, namun tahu pasti itu hanya menanti gigitan srigala.... ingin aku sudahi, namun justru berkembang biak. Mewabah dalam jiwa, serupa virus ganas, merusak sebagian file di isi kepala-ku. Hampir sepanjang hari, nafas, detak jantung, lintasan hati, penuh bayang-bayang hitam.
Dan dengan sayap-sayap kecil-ku ini, aku coba terbang....menuju rembulan di malam hari. Berharap detak-detak indah itu, semakin nyaman dengan irama hati ini. Mata dibiarkan terpejam, persilakan bayang-bayang hitam itu bermain di rongga otak. Indah. Mengerjap, seperti kepakan sayap kupu-kupu, seperti ombak yang patuh untuk tetap menampar karang. Batu karang yang kekar, dan bibir air laut yang konstan menggoyang....mimpi yang menghitam;
Berharap bertemu dengan kepedihan adalah salah satunya. Rindu, namun tahu pasti itu hanya menanti gigitan srigala.... ingin aku sudahi, namun justru berkembang biak. Mewabah dalam jiwa, serupa virus ganas, merusak sebagian file di isi kepala-ku. Hampir sepanjang hari, nafas, detak jantung, lintasan hati, penuh bayang-bayang hitam.
Dan dengan sayap-sayap kecil-ku ini, aku coba terbang....menuju rembulan di malam hari. Berharap detak-detak indah itu, semakin nyaman dengan irama hati ini. Mata dibiarkan terpejam, persilakan bayang-bayang hitam itu bermain di rongga otak. Indah. Mengerjap, seperti kepakan sayap kupu-kupu, seperti ombak yang patuh untuk tetap menampar karang. Batu karang yang kekar, dan bibir air laut yang konstan menggoyang....mimpi yang menghitam;
Kamis, 22 Januari 2009
HIJRAH
atas bukti kerelaan
perjalanan ini mesti dituntaskan
walau pedang terhunus menghalangi
walau badai gurun menampar hati
karena sungguh,
atas bukti ketaatan
bahaya jadi biasa
pedih perih jadi tak terasa
bukan karena takut akan ancaman
perjalanan ini dijalani
hanya bukti ketundukan atas ketetapan
Sang pemegang kendali hidup
Sang penguasa hati
hingga madinah menyambut gempita
gelora juang kembali membara
dalam hati nabi
dalam hati kita
api hijrah tak pernah usai
selalu ada dalam jiwa
sebagai kerelaan hati untuk berbenah
kapan-pun, di mana-pun
Langganan:
Postingan (Atom)
Bisa Jadi Prolog
"Jika benar kau pemerhati hal-hal sederhana, maka apa yang paling tercatat di mula pertemuan kita dulu?" Mungkin jawabannya adalah...
.jpg)
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...