Menikmati hari ini, sambil berbincang tentang waktu. Tentang kesewenang-wenangan kita sebagai manusia terhadap waktu. Kita mengkerdilkan waktu, dengan mengikatnya dalam satuan-satuan yang sengaja kita ciptakan. Dalam detik, dalam menit, dalam jam....
Kenangan adalah salah satu yang lahir dari rahim waktu, dengan benih kenyataan-kenyataan yang menyatu dalam dunia di isi kepala kita. Pada awan yang sama seperti awan-awan lain yang pernah kita temui, pada pasir pantai seperti pantai-pantai mana yang pernah kita kunjungi, pada setiap wajah-wajah yang mungkin pernah kita temui entah di belahan dimensi yang mana.... aku catat kenangan-kenangan itu, dalam rongga kepala. Dalam hati-pun percikannya terasa. Kata-kata yang pernah terucap pada entah siapa saja yang pernah kita temui, seringkali terulang lagi, terulang lagi di gendang telinga... menjadi serupa jamur panu di kulit leher. Erat menempel, dalam dinding hati, dalam kulit benak.
Cinta, adalah salah satu yang lahir dari kenangan yang indah. Dia tumbuh subur di lahan hati, dengan bumbu suasana yang tenang, dan ditaburkan pupuk perhatian dan keterbukaan.
Dan waktu terus saja bergerak, tubuh kita terseret, mimpi-mimpi bergegas nyaris tertinggal, dan kenangan menjadi serupa beban, menempel erat di punggung jiwa. Padahal sampai hari ini-pun, aku belum sanggup memahami secara sempurna tentang makna waktu. Kata-mu: “waktu itu tidak mutlak”, mungkin itu semakna dengan kata Enstein tentang Relativitas Waktu. Entah-lah, mungkin kita memang tidak harus benar-benar memahaminya, namun tetap harus selalu siap mengikutinya, karena jika tertinggal, maka kita pasti akan diterjang olehnya... hingga renta, hingga moksa.
Berbicara tentang waktu, sungguh kita mesti berbenah. Teringat firman-Nya, dalam Surat “Masa”: bahwa manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Seperti kita, dan dunia di sekitar kita. Kadang ngilu, ketika seorang yang dulu begitu dominan mengisi alam sadar kita, tiba-tiba saja “hilang”. Dia ada di sekitar kita, namun lenyap dalam alam sadar kita. Kadang pertemuan yang terjadi hanya senyap, tanpa tatap, tanpa cakap.
Selepas tengah malam, aku lepaskan saja kegelisahan ini. Kepada gelapnya langit, dinginnya angin malam, kepada sunyinya rentang waktu yang aneh, karena aku menghitung tengah malam dengan jam di waktu yang berbeda... dengan jam di sini: ini sudah dini hari. Entahlah mana yang benar, melihat waktu dari jam ini, atau dari gelapnya langit?
Kenangan adalah salah satu yang lahir dari rahim waktu, dengan benih kenyataan-kenyataan yang menyatu dalam dunia di isi kepala kita. Pada awan yang sama seperti awan-awan lain yang pernah kita temui, pada pasir pantai seperti pantai-pantai mana yang pernah kita kunjungi, pada setiap wajah-wajah yang mungkin pernah kita temui entah di belahan dimensi yang mana.... aku catat kenangan-kenangan itu, dalam rongga kepala. Dalam hati-pun percikannya terasa. Kata-kata yang pernah terucap pada entah siapa saja yang pernah kita temui, seringkali terulang lagi, terulang lagi di gendang telinga... menjadi serupa jamur panu di kulit leher. Erat menempel, dalam dinding hati, dalam kulit benak.
Cinta, adalah salah satu yang lahir dari kenangan yang indah. Dia tumbuh subur di lahan hati, dengan bumbu suasana yang tenang, dan ditaburkan pupuk perhatian dan keterbukaan.
Dan waktu terus saja bergerak, tubuh kita terseret, mimpi-mimpi bergegas nyaris tertinggal, dan kenangan menjadi serupa beban, menempel erat di punggung jiwa. Padahal sampai hari ini-pun, aku belum sanggup memahami secara sempurna tentang makna waktu. Kata-mu: “waktu itu tidak mutlak”, mungkin itu semakna dengan kata Enstein tentang Relativitas Waktu. Entah-lah, mungkin kita memang tidak harus benar-benar memahaminya, namun tetap harus selalu siap mengikutinya, karena jika tertinggal, maka kita pasti akan diterjang olehnya... hingga renta, hingga moksa.
Berbicara tentang waktu, sungguh kita mesti berbenah. Teringat firman-Nya, dalam Surat “Masa”: bahwa manusia pasti dalam kerugian, kecuali mereka beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Seperti kita, dan dunia di sekitar kita. Kadang ngilu, ketika seorang yang dulu begitu dominan mengisi alam sadar kita, tiba-tiba saja “hilang”. Dia ada di sekitar kita, namun lenyap dalam alam sadar kita. Kadang pertemuan yang terjadi hanya senyap, tanpa tatap, tanpa cakap.
Selepas tengah malam, aku lepaskan saja kegelisahan ini. Kepada gelapnya langit, dinginnya angin malam, kepada sunyinya rentang waktu yang aneh, karena aku menghitung tengah malam dengan jam di waktu yang berbeda... dengan jam di sini: ini sudah dini hari. Entahlah mana yang benar, melihat waktu dari jam ini, atau dari gelapnya langit?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar