Mungkin senja memang bisa kita potong, seperti dalam cerpen Seno Gumira Aji Darma. Caranya dengan memandangnya lekat, lalu kita potong, dengan kedipan mata dalam. Potongan ingatan tentang senja itu kita lipat rapi, kita simpan dalam rak benak di rongga kepala kita. Untuk menjaganya bisa kita tambahkan rasa kita yang tercerap saat itu segera bungkus lalu endapkan dalam hati. Di sana ia akan terkoneksi dengan ingatan dalam benak. Kapan-kapan kita bisa buka ulang filenya.
Seperti senja ini, saat warna lembayungnya kuasai retina mataku. Juga aroma sabtu sore yang gempita, dihiasi senyum bahagia pasangan muda yang berkendara dengan motor sambil bercanda. Juga rasa yang aneh di rongga kepalaku, karena dinodai sakit kepala dan suasana mriang. Kucoba penuhi otak dengan bacaan tentang budaya, film dan politik pendidikan. Sengaja dengan tema-tema yang terkesan berat, harapannya cepat mengusir rasa getir dari perpaduan sakit kepala dan meriang ini.
Apakah berhasil? Entahlah. Namun keindahan senja tetap saja aku dapat. Potongannya aku simpan. Dalam saku hati. Jika kau mau ikut nikmati boleh esok kubawakan untukmu.
Mutiara Gading Timur, 1 Nopember 2014.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Sabtu, 01 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar