Kamis, 31 Juli 2008

akan aku genggam dunia

yang ada di kepala, seperti gumpalan2 ide. kadang2 bercampur....terlalu banyak informasi yang tidak perlu; ntah bagaimana lagi aku menyaring semua ini...ada luka dalam jelaga jiwa,
ada kehausan akan "mengerti" hingga kupelototi buku2 aneh itu. sampai tulisan membayang...
kantuk menyentuh dasar otak. lahirlah kabut di pelupuk mata.
urat di kepala berdenyut tidak beraturan
migran yang akut...
bernyanyi saja aku
tentang: "....hidup sederhana, tak punya apa-apa tapi punya cinta
hidup bermewah-mewahan, punya segalanya tapi sengsara...seperti para koruptorrrrr..." hehehe, itu lagunye Slank....

dan matahari pagi begitu indahnya menunggu di pintu tol.dan senyumku pada dunia, dengan tatap mata penuh keyakinan
akan aku genggam dikau dunia; aku genggam dalam tangan-ku
tidak akan aku simpan dalam hati-ku.

Minggu, 20 Juli 2008

PANTAI KITA, PANTAI WAKTU

angin laut menderu, seperti dahulu
seperti gelora dalam dada dahulu
ketika kita berlarian
seakan mentari senja mengejar
padahal kita-lah yang berlarian menuju mentari

seperti tawa kita yang dahulu
seperti kekecewaan itu
seperti angan-angan yang dengan enggan terbangun
dahulu
namun tetap saja
waktu mengubah sekarang menjadi lampau
mimpi menjadi kenangan

seperti kita dan ombak dahulu
seakan hari ini, jadi ombak dan kita,
dan anak-anak kita
tentu saja berbeda
dan sungguh, itu adalah peran waktu
juga cinta,
juga tadkhiah
yang lahir jadi pondasi hari
hingga berlalu-lah gelora-gelombang itu
dan riak-riak itu adalah cemeti
bergoyang hantam karang
namun tetap saja
cinta
atas nama cinta
segala berawal
segala diakhiri.

Rabu, 09 Juli 2008

puisi setelah perbincangan kita sepulang kantor


Senja tersenyum di langit merah saga,
semburat awan muram namun tampak perkasa
percakapan di sepanjang jalan
dari hati satu
ke hati yang lain
pelajari diri dengan bercermin pada langit semesta
ilalang hati tumbuh sembarangan di padang kenangan
kerinduan untuk kembali mencinta
seperti perebutkan Sinta lewat perang dengan Rahwana
atau Cinta yang harus mengejar Rangga di bandara
kerinduan akan gelisah itu
kerinduan akan getar-getar keinginan yang berbuncah
aku ingin kembali mencinta dan berjuang untuk dicinta...
karena perjuangan itu indah
bukan sekedar dikenang
namun kembali diulang
kembali diulang....

(aku ingin kembali mencinta-mu seperti saat pertama kali bertemu dengan-mu; dulu)

Senin, 07 Juli 2008

Catatan untuk Mujahid Muda;

Api dalam dada kita … bersentuhan
satu dalam perjuangan ini
bersama teriakkan isi hati
dengan cara masing-masing

aku dengan pekikkan,
sedang kau dengan sentuhan

aku dengan gertakan,
sedang kau dengan senyuman

aku dengan pukulan,
sedang kau dengan usapan

maka hari ini,
kita sama terdiam….
duduk bersama dalam jeruji bui

aku penuh keluh kesah,
sedang kau tetap tenang.

Rawajati Barat, Rajab 1423 H

Perjuangan kita;

kematian adalah sebuah gerbang
tempat sebuah pertemuan agung
dengan sang Maha Agung

ada kerinduan,
ketika desingan peluru
menghembus deru di atas kepala
terdorong hati ntuk beranjak menghampirinya
menyambutnya; sehingga tuntas sudah segala beban badani
menuju-Mu….
namun teringat: bahwa mati bukan sekedar dicari,
melainkan dinanti untuk menjadi berarti
… aku tetap merunduk… menanti saat yang tepat
ntuk selesaikan misi suci ini
hidup yang penuh arti
atau mati dengan segenap nyali….!

Rawajati Barat, Rajab 1423 H
(puisi-puisi lama, tapi boleh-lah dibaca ulang)

Minggu, 06 Juli 2008

Maluku

Dini hari -dalam malam yang kering-,
menggenang mimpi di bekas ruang tamu kita
di halaman
terdengar mereka bernyanyi bersama
terntang cinta yang renta
tentang peradaban yang terserak

di balik sebuah puing
reruntuhan bangunan rumah kita
mengalun suara bocah bersenandung
sebuah tangisan yang serak
seperti kucing kecil yang sekarat
dan rembulan
selalu saja indah
walau di balik awan itu; suram.

Hingga menjelang fajar; tetap saja mencekam
berserak tubuh-tubuh itu hitam
di dalam masjid yang kini telah rata dengan tanah
angin berdesir, debu bergeletar
seorang bangkit -muncul dari sebuah puing-
di bawah bulan wajahnya nampak berkilat; darah!
Ia berdiri menghadap kiblat, lalu beradzan
suaranya pelan, namun di ujung langit-pun terdengar
ia berseru tentang ke-maha agungan Tuhan
ia berseru memanggil saudara-saudaranya
ia berseru "sudah tiba saatnya ntuk bersatu!"

dari berbagai penjuru mereka datang
sebagian dari mereka merangkak-rangkak

"Masjid bukan sekedar bangunan ini, yang bisa
roboh tinggal puing;
masjid adalah hati kita
yang selalu rindu untuk tetap berjama'ah."

Mereka sholat berjama'ah
di tengah puing-puing
di sebuah kota yang nyaris raib
dari peta sebuah bangsa.

(ditulis saat perang saudara bergejolak... persatuan sebagai satu bangsa diuji.
semoga saja, lulus;)

Indonesia-ku


Indonesia tanah air-ku
beribu pulau terbentang di laut luas
menggenang mimpi2 kami
tentang merdeka
tentang keperkasaan sebuah bangsa
yang renta
di dera gulita jiwa,
saat nyawa tak lagi berharga
ibu merangkak-rangkak penuh luka
bocah mengais-ais sampah
berharap sisa2
tangis nenek jadi sia2
anak lelaki hilang
terpanggang api perang saudara
sebagai ayah dari bocah
yang mungkin esok juga mati
menggelijang
meregang nyawa
menahan lapar yang tak berkesudahan

Indonesia tanah air-ku
genangan darah dan nanah-ku
tumpahan air mata
dan rapal do'a yang bergetar-getar, lama

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...