Minggu, 06 Juli 2008

Maluku

Dini hari -dalam malam yang kering-,
menggenang mimpi di bekas ruang tamu kita
di halaman
terdengar mereka bernyanyi bersama
terntang cinta yang renta
tentang peradaban yang terserak

di balik sebuah puing
reruntuhan bangunan rumah kita
mengalun suara bocah bersenandung
sebuah tangisan yang serak
seperti kucing kecil yang sekarat
dan rembulan
selalu saja indah
walau di balik awan itu; suram.

Hingga menjelang fajar; tetap saja mencekam
berserak tubuh-tubuh itu hitam
di dalam masjid yang kini telah rata dengan tanah
angin berdesir, debu bergeletar
seorang bangkit -muncul dari sebuah puing-
di bawah bulan wajahnya nampak berkilat; darah!
Ia berdiri menghadap kiblat, lalu beradzan
suaranya pelan, namun di ujung langit-pun terdengar
ia berseru tentang ke-maha agungan Tuhan
ia berseru memanggil saudara-saudaranya
ia berseru "sudah tiba saatnya ntuk bersatu!"

dari berbagai penjuru mereka datang
sebagian dari mereka merangkak-rangkak

"Masjid bukan sekedar bangunan ini, yang bisa
roboh tinggal puing;
masjid adalah hati kita
yang selalu rindu untuk tetap berjama'ah."

Mereka sholat berjama'ah
di tengah puing-puing
di sebuah kota yang nyaris raib
dari peta sebuah bangsa.

(ditulis saat perang saudara bergejolak... persatuan sebagai satu bangsa diuji.
semoga saja, lulus;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...