Minggu, 06 Desember 2009
MERENCANAKAN PENDIDIKAN DENGAN 9 MATAHARI
Setelah membaca novel “9 Matahari” karya Adenita, jadi terfikir banyak hal. Beberapa hal tentang Pendidikan sebagai pondasi peradaban. Di buku itu, diceritakan betapa seorang mahasiswa yang pas-pas-an secara ekonomi, terus berjuang mendapatkan gelar “sarjana”. Dia mencoba menghidupi sendiri biaya pendidikannya. Tidak sekedar biaya kuliah, melainkan juga biaya hidupnya selama kuliah. Dalam cerita itu didiskripsikan secara gamblang, betapa mahalnya biaya mencetak seorang menjadi seorang sarjana. Muncul pemahaman, bahwa pendidikan memang butuh perhatian lebih. Kultur masyarakat kita masih sering meremehkan dunia pendidikan. Terlebih ketika hasil dari pendidikan kita tidak memuaskan... banyak sarjana yang “gagap” saat berkecimpung di dalam dunia kerja. Uh!! Banyak sekali yang harus kita benahi....
Awalnya Novel “9 Matahari” terkesan novel yang “biasa” banget. Namun ternyata, di dalamnya pekat makna. Banyak pelajaran-pelajaran penting dalam kehidupan muncul dalam percakapan tokoh-tokohnya. Ada Mami Hesti yang mengenalkan pada Matari tentang “Sekolah Kehidupan”; ada Om Nirwan yang menjelaskan filsafat ilmu pengetahuan; juga Arga yang memberi nilai 9 untuk Matari, angka sembilan yang penuh makna. 9 nilai yang di atas rata-rata, namun bukan sempurna, masih ada 10 yang kita kejar, sehingga kita tetap dinamis...
“Jangan pernah berhenti buat menggenggam matahari, Tar. Seperti nama lu, Matari, lu pasti memang diharapkan menjadi seperti Matahari. Matahari yang nggak akan bergeser kalu bulan dan bintang belum muncul. Matahari yang akan terus menerus memberi energi, kehangatan, dan cahaya buat alam semesta. Kadang dia dicaci kalau bersinar terlalu terik, kadang dia juga diprotes kalau tampak sayu dan sedikit bermalas-malasan. Tapi...nggak peduli apa pun itu, matahari selalu muncul setiap hari dengan segala yang dia punya. Dia juga harus berbagi peran dengan bulan dan bintang. Tapi bukan berarti matahari itu berhenti bersinar, justru dia lagi bersinar hangat di belahan bumi yang lain. Matahari yang mengajarkan banyak pada kita untuk terus berbagi. Supaya, kita benar-benar tahu peran kita dan bisa merasakan jiwa kita hidup...” (percakapan Arga dengan Matari, halaman 297)
Membaca buku ini, menjadi termotivasi untuk kembali menata ulang perencanaan pendidikan kita dan anak-anak kita. Memilihkan menu yang tepat kepada generasi mendatang (sebagai investasi peradaban) agar mereka mampu jalani kehidupan ini, karena sungguh...berganti masa, semakin berat amanah yang dipikul oleh manusia sebagai “pengelola” (baca: Kholifah) di muka bumi ini. Wallohu a’lam.
To Anis: terima kasih... telah merelakan buku ini dinikmati olehku sebelum sempat dirimu baca. Dari buku ini aku terinspirasi banyak hal, semoga itu menjadi amal jariyah-mu... amien. Jazakillah Khoiran Katsiran...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Akhirnya buku "percakapan tentang rindu dan waktu" tiba di rumah, siap dikirim buat teman-teman yang sudah pra pesan. Seneng rasan...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
"Pagi gelap, seakan matahari telat terbit padahal ia hanya sembunyi di balik mendung; walau gelap, orang2 tetap bergerak cepat, jd inga...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar