Selasa, 25 September 2018

Lawan saja

hantu itu berdiam di gelap malam
berbisik-bisik di ruang ketidaktahuan
menebar getar-getar permusuhan
menjerat dengan jebakan saling curiga

hantu itu tak berbentuk
namun jejaknya terasa
nalar terseret dan terantuk bentur
aromanya jelas terasa

jika tak ada lentera, pejamkan saja mata
biarkan akal sehat tabik selamat
kejar pemahaman utuh itu
agar jelas
agar terang benderang

saat bulu kuduk takut terbangun
arahkan mata dalam gelap
jangan berkedip
paksa mata hantu itu bertatapan
nyalakan nyali
bakar kobar jiwa

lawan!

Bekasi, 26082018
Poetoe

hilang

di keramaian rimbunnya rimba beda
ada yang hilang

di keriuhan derasnya kedunguan
ada yang raib

: kemanusiaan

nyawa menjadi cuma-cuma
dibiarkan meregang nyawa
dalam kerumunan tawa
dan pekik caci maki

2018
Poetoe


catatan setelah jatuh korban suporter bola yang tewas dikeroyok, kematian yang perlu.

Kamis, 20 September 2018

Perempatan jalan

mengapa hanya berhadapan
tanpa sentuh tanpa rengkuh
serupa dua sisi yang bersebelahan
pada bidang segi empat
berjarak
kaku

rasa memiliki ini mula semua luka
luka kehilangan
luka ditinggalkan
luka berjalan sendiri di bawah hujan
dan di perempatan jalan tak ada kau
tak lagi ada tatapan

rasa yang naif
rasa kehilangan atas yang tak termiliki
dan air mata juga hujan bersama basahi kertas undangan di tangan
ada nama kau
ada nama lelaki itu

agh

cintaku terserak
di perempatan jalan
kataku tersedak
di isak sedu sedan.

Jakarta, 19092018
Poetoe

bara matahari pagi

selamat pagi, cinta
keluar rumah ku tantang matahari
dengan lantang aku seru "aku berani datang, sayang"
walau di tengah terang tanah lapang
disambut aku....
dengan sayat-sayat perih
dengan tusuk-tusuk nyeri

ini rindu yang tundukkanku
ini cinta yang gulitakanku

menerobos atmosfermu
terbakar pesawatku, tak aku peduli
membara wajahmu
terkejut, namun lalu hangat aku dekap

erat

pagi ini iri
biarkan saja
aku di sini
menghitung detak jantung kita

erat.

Bekasi, 15092018
Poetoe

sejarah takutku

dari mana ketakutanku?
dari betapa pekatnya kemungkinan-kemungkinan ini penuhi kerat-kerat masa,
sepekat asam laktat di sekujur tubuh di ujung senja
dan kemungkinan ialah rangkaian ketidakmengertian
saat tahu itu hanya duga
saat hitung sebab dan akibat itu hanya rapal ramal
bagaimana aku lalu tak takut?

lentera di perjalanan gelap ini adalah percaya,
saling percaya adalah cahaya
bimbing langkah menjadi yakin tak bergamang

namun saat api percaya itu padam,
maka gelaplah langkah
maka mata luluh dalam tangisan
ketakutan itu menggumpal menjadi kekecewaan bertubi-tubi, berjilid-jilid.

Bekasi, 14092018
Poetoe

mengapa dipaksa memilih?

gerak hati itu ruh atas amal
bersit jahat yang kuasai jiwa bisa dahsyat porandakan kapal
menyelusup dalam saling percaya
berbisik bisik dalam hembus ketaatan tanpa daya

sikap kritis itu sengat atas lelap
tapi rasa hormat yang kalap
justru lahap mengunyah rapinya barisan
belati diacungkan, pilihan yang sama mematikan

padahal tanpa pilihan yang disegerakan dan dipaksakan justru tak ada riak
namun tetap saja
berdalih penyelamatan padahal pembantaian

mengapa tak kau pejamkan mata
lalu gumamkan doa agar terbukalah petunjuk
biarkan nalar berikan isyarat
mana penghancur mana penabur kasih dan sayang?

Bekasi, 14092018
Poetoe

kekang kopi

hitamnya malam kuberteduh
hitamnya kopi terseduh
kelamnya hidup teramat gaduh
manusia tersuruk aduh mengaduh

kuda liar itu meringkik
hasrat liar itu bangkit
mana kendali mana tali kekang
terlepas saja dan debu beterbangan

keluhkan kebebasan yang terlampaui
rindu jeratmu
rindu tertambat olehmu
peluk aku dalam jerujimu

jampang kafe, 14092018
Poetoe

Puncak Bunyi: Sunyi

pada akhirnya kau yang menyelam dalam kelam
kau yang lenyap dalam senyap
kau yang lebur dalam sulur sulur kata

pada akhirnya puncak dari bunyi memang sunyi
masa pencitraan akan usai
orang-orang akan lelah berebut untuk terlihat
orang-orang akan rindu duduk meringkuk di ceruk kesunyian

dan pada akhirnya puncak dari bunyi memang sunyi

kau yang riuh dalam gemuruh rinduku pun akhirnya meredup
kau yang riang dalam gempita asmaraku pun akhirnya mereda

cinta mengendap dalam sayang
gelora mempunya perlahan menjadi platonik
mendewasa
mendewa sang rasa
tak lagi sekedar terasa
melainkan ternikmati
jadi lantunan anggun

pada akhirnya puncak dari bunyi memanglah sunyi

Bekasi, 13092018
Poetoe

kaku beku

bersabar itu menahan
membuat ruang antara
mencipta jeda

tak berkabar ini ujian
membuat ruang tanpa kata
mencipta rangkaian nada

iramanya detak jantung kita
ada namun tanpa jumpa
hanya deru nafas di kejauhan
terlepas saja jadi bongkah air di awan sana

ketukannya denyut nadi kita
rindu tapi tak terikrar
hanya resah yang membelukar
tertahan bersama perdu dan ilalang

aku dan kau
tersekat kaku
terikat beku.

Bekasi, 13092018
Poetoe

perlahan lelap

asam laktat menempel erat
penuhi sekat-sekat di sela otot dan urat
syaraf mengirim pesan ke pusat benak
terpejamlah kelopak mata,
redupkanlah kesadaran,
turunkan fungsi otak kecil
hingga goyang dan limbung berdiriku

ugh...

lelah serupa larutan kental
dan aku terjebak di dalamnya
bergerakku menjadi lamban
menyempitlah ruang pandang

perlahan pejam
perlahan memudar
perlahan lenyaplah sadar
perlahan lepaslah genggam.

.......

Transjakarta, 13092018
Poetoe

setengah sadar

cahaya kuning beterbangan di langit malam, tapi bukan bintang
mungkin lampu mungkin pula efek sakit kepala ini
gelisah ini terlalu lama tertahan
resah atas beda yang lama kusama samakan
berpura-pura memang terlihat sopan
serupa basa basi
tapi perlahan menggerus pertahanan hati
melukai perlahan
lalu menaburi dengan garam

kunang-kunang beterbangan, tapi kunang-kunangkah?
ataukah kenangan yang menjelma jadi dosa dan menyala-nyala bagai kerlip lampu pesta di langit-langit otak?

dan tubuh menjadi sarana ruh dan jiwa menemukan rasa
dingin dan getir
lirih dan perih
bukankah ingatan terkadang hanya jadi sengatan yang mengoyak pusat rasa?

jangan lalu ingin henti,
karena berhenti itu lalu mati.

Transjakarta, 13092018
Poetoe

sempurna

lelaki itu ingin semua sempurna,
seperti saat sepulang kerja ia melihat rak buku yang miring beberapa inchi, ia lalu sibuk memperbaikinya tak peduli menunda makan menunda mandi
juga saat warna cat tembok yang berbeda sedikit saja itu membuat ia mengganti cat hampir seluruh ruang

kadang lelah mendampinginya,
namun ada bangga, jika ia selalu ingin sempurna maka ia anggap aku sempurna karena ia memilihku.

Halte BNN, 13092018
Poetoe

mati itu pasti

sepandai apa kau hadapi kecewa?
sepandai itukah kau pelihara tawa
hidup demikian menakutkan,
adalah serangkaian kemungkinan yang tak termengerti

tiba-tiba, tak terduga menjadi irama
apakah masih pantas terkejut jika kejutan itu menjadi pengulangan?

kita dan maut serupa dua titik berlarian,
petak umpet,
maut terus mencari,
kita terus berlari dan sembunyi

pada masanya mereka saling jumpa
semoga tak menjadi pertemuan kekecewaan
semoga menjadi saat penuh bahagia
rindu merindui
karena telah lelah dan bosan bermain cari mencari
ingin rehat
saling genggam erat
saling rengkuh hangat

mati itu pasti
jika takut maka takutlah sepanjang hayatmu.

Halte BNN, 13092018
Poetoe

aroma laut

pada dermaga, suatu siang,
perahu nelayan bergerak diguncang ombak lembut perlahan
aroma laut menusuk hingga dasar benak
sebusuk prilaku pemodal memberangus kehidupan
anak-anak meliar, tak terdidik
hasrat jahat mengupas nafas

tersaruk-saruk lambung di dangkal dermaga
tersaruk-saruk lambung di pangkal lapar
rumah kerang dikupas rumah kerang dilepas
asap mengepul paru-paru penuh senggal tersenggal
satu tong dua puluh lima ribu saja
masa bermain lenyap masa riang senyap

aroma laut menusuk endus hidung
aroma busuk kedengkian menguar lebar hingga ke mall di seberang sana
menahan dalam derap berirama tak mudah
butuh senyum lebar
desah nafas sabar
esok masih ada hari depan terhampar.

seorang bocah kurus berlari mendekat, kecup punggung tangan
"pak guru..."

Muara Angke, 13092018
Poetoe

aku rindukan puisimu.

kurindukan larik-larik puisimu
pada secarik pagi
agar dapat kueja perlahan
serupa nyanyian gumam tertahan

dada ini butuh siraman narasi
basahi jiwa yang kering oleh dengki
lembabkan hati yang gersang oleh prasangka
agar diri berhenti meronta terbakar hasrat yang berkobaran

kurindukan bait-bait puisimu
pada secangkir sunyi
agar dapat kusesap senyap perlahan
sebagai kuliner rasa nikmat masa diam yang menggemaskan

bisu ini tetap butuh kata tertanam di benak
kata yang menjadi benih ide
rimbunkan oase jiwa
agar tumbuh subur harapan
agar bermekaran bunga-bunga mimpi

aku rindukan puisimu.

Jakarta, 13092018
Poetoe

ruang sunyi mana lagi

pasar terlalu gaduh
lalu lalang kepentingan
keberpihakan melarut jenuh
berpetualang para makelar jabatan

ruang mana lagi yang bisa simpan rapat kesunyian
selalu ada celah balok rahasia terbelah
ruang mana lagi yang masih bisa simpan rapat kedengkian
selalu ada sela tempat aroma busuk menguar menebar

dada ini terlalu gaduh
bertubrukan keinginan
hasrat hati melarut jenuh
berkelakar ketulusan tertawakan ambisi yang kekanak-kanakan

ruang mana lagi yang bisa simpan rapat kesunyian

Bekasi, 11092018
Poetoe

kakak Haya

mengantarkanmu ke bandara siang itu adalah senandung lagu lama, saat kau masih di ayunan, dalam genggam lengan sebelum pejam.

dalam lambaian tangan itu tersimpan sekantung kesadaran
kau tumbuh dewasa bersama pada masa masa yang tak kuduga telah demikian lama.

kendali itu ditarik-ulurkan
tumbuh dan kembangkan
perhatian ini mestinya memang pada kemampuanmu bertahan
perlahan lahan
bahwa badai kelak kan lebih dahsyat
usia takkan ijinkan aku terus di sampingmu
jika tak kau siapkan bagaimana aku kan rela

tumbuhlah
menguatlah
mekar dan mengekarlah akar akarmu

kedewasaanmu itu kebanggaanku

Bandara Halim Perdana Kusuma, 12092018
Poetoe,

sengat sangat

denyut nadi terlalu cepatkah muasal atas sakit kepala ini?
rasa yang tajam berdentam dalam dada
bahagia sangat
semangat sangat
pun sedih teramat sangat

denyut cepat
detak tak beraturan
seperti suka atas percakapan sederhana
hanya sapa sapa
hanya kata kata
tapi teramat suka
terlebih di akhiri kecupan di punggung tangan

denyut rapat
detak meratap ratap
seperti luka yang teramat luka
terabaikan
tanpa sapa
tanpa kata
air mata di akhir cerita

bagaimana sakit kepala ini harus diakhiri?
bersama dengan lenyapnya senja kah?

dan langit merah senja itu tersiram perlahan tinta kegelapan malam
pelan dan perlahan.

Halte Pancoran Tugu, 07092018
Poetoe

Puisi cinta yang tumbuh

sudahkah kau tuliskan puisi untukku hari ini?
selarut ini aku masih menunggu rangkaian katamu

tak adakah cukup rindu di dalam benak dan kotak hatimu yang menghiba paksa meminta disihir menjadi sulur-sulur kata

padahal aku tak berharap kata-katamu adalah puja puji dan bujuk rayu, sekedar kecap sederhana pengusir senyap pun tak mengapa

cinta pada akhirnya akan mendewasa, bisa tetap bertahan walau tanpa tatap temu,
bisa tetap tumbuh walau tanpa ikrar dalam riuh,
bisa tetap kuat walau tanpa ikatan baiat yang diulang ulang,
bisa tetap saling ingat mengingat, saling erat jabat menjaga, tanpa sekat tanpa basa basi hormat yang penuh syak wasangka

sudahkah kau tuliskan puisi untukku hari ini?
selarut ini aku masih menunggu rangkaian katamu

Bekasi, 06092018
Poetoe

lupa atau tahu

"Bantu aku, lupakan semua"

"aku usahakan"

kenyataannya tak mudah, ingatan dan kenangan tak mudah menyerah pada kata "lupakan"

semakin keras usaha untuk menghapusnya, mereka justru melawan
membenturkannya hanya ciptakan percikan
justru semakin membara

mungkin seperti pilihan, mau lupa diri atau tahu diri?

lupa diri dapat membahayakan semua, lebih aman tahu diri.

kita mungkin memang tak perlu saling melupakan, cukuplah saling memahami diri, tahu diri.

-mereka berdua menunduk
di restoran yang semakin sepi-

Halte BNN, 05092018
Poetoe

pahala

bahwa untuk mereka adalah surga,
mereka yang menjaga iman juga beramal baik

keimanan itu jadi pelita energi
tak kenal letih
karena kerja adalah urusan mereka dengan Tuhan mereka saja
dalam sunyi kerja
dalam riuh pun kerja

bahwa untuk mereka pada akhirnya adalah semua,
balasan terbaik atas amal terbaik
membalas yang baik dengan terbaik
membalas keculasan pun dengan kebaikan
tuntas dan sempurna

dan aroma harum itu yang menyebar
dalam serbuk bunga di musim semi
dalam tetes embun kesejukan pagi
dalam kata kata pada lembar sejarah yang mengabadi.

Halte Pancoran tugu, 05092018
Poetoe

percakapan tentang kematian.

kata kata dan matahari, senyum tersimpan
percakapan tentang kematian, dan angin senja menyelimuti hati
kepedihan lebur dalam takut
kesedihan larut dalam kalut

sunyi ditinggalkan
kesendirian berkencan dengan aroma tanah basah
dingin teramat dingin
ngilu terlampau ngilu

lalu hari hari setelah kematian
adalah diam
yang mati dikuburkan
yang ditinggalkan dihiburkan
apatah kan lalu terhibur
hanya senyum getir
tak lagi sama
tak lagi sama

sembab air mata
lembab endapan cinta lama
tak lagi di sisi justru menguatkan jalinan hati
tersadar terlampau sayang
tersadar tak mudah lagi jalani hari

halte Pancoran Tugu, 05092018
Poetoe

kabar mata

apa kabar mata? berapa kali kedip di hari ini
pasti banyak cerita terhisap kornea hingga retina dan jadi data
tapi malu malu sesiang tadi
tatap sekilas saja

apa kabar mata? berapa kata kau sesap maknanya
betapa lelah hari hari
rupiah pasrah terkulai sekarat
lalu lalang kebutuhan silang sikut
keinginan bertabrakan berdenyut di dasar perut

apa kabar mata?
kutahu kau rindu gulita
kelopakmu ingin istirah
tubuh renta rubuh rindu rebah

Halte Pancoran Tugu, 05092018
Poetoe

Pandir tolol

aku pandir aku tolol
bocah ingusan berdiri menghiba cinta
di depan puteri yang anggun dengan gaun mewah warna merah darah
aku sibuk permalukan diri menumpuk numpuk puja puji padahal tak ada arti

aku pandir aku tolol
bocah telanjang dada tanpa kesopanan
sibuk berteriak teriak meminta
mengemis perhatian
dan sang puteri semakin jijik saja
berbisik ia kepada sang menteri agar ajari si bocah kitab tahu diri

aku pandir aku tolol
berjongkok di tepi pagar istana
gigit ibu jari
sambil mengeja pelan pelan
tahu diri tahu diri tahu diri
pandirnya memuakkan
tololnya menggelikan

tak tertolong
sang puteri berpaling
sang menteri kirimkan perintah algojo
pancung saja si bocah

dan malam
aku bocah tanpa kepala
tetap pandir
tetap tolol
menunggu fajar yang tak akan ternikmati.

Bekasi, jelang tengah malam, 04092018
Poetoe

jangan

malam teramat manja bersandar pada tiang listrik di taman
terasa tertekan; dahsyat rindu ini menguliti diri
mana norma, hilang arah ia hilang kendali ia

malam teramat janggal berdiri tak tegak di tepian jalan
terasa asing dan sepi sangat; demam cinta ini meluluh lantak sunyi
mana kesopanan, hilang hitungan hilang kehati-hatian

seperti gila saat mula mula jatuh cinta dulu
meledak ledak dalam dada
udara pekat
angin perih luka-luka hasrat tersayat sayat

jangan lihat ke belakang
jangan lihat aku
jangan dengarkan rintih lirih
jangan pedulikan tetes darah dan air mata yang berkecipakan dan genang menggenang di sepanjang usia hari
jangan

Bekasi, jelang tengah malam, 04092018
Poetoe

penyelamatan

pertemuan itu mendekap makna
yang terserak lalu terkumpul dalam genggam
di tepian telaga jendela jiwa
kuraup airnya bertebaran dari sela genggam

kau tak menangis tapi berairmata
dosa di mana kan bermuara
jika kesadaran yang dirindui itu tak kubaca pula isyarat isyaratnya
entah di mana dosa ini kan bermuara

selamatnya kita memang pada kemampuan membaca jejak
jelaga yang tercecer dapat kau raba
ke jurang mana hendak kuterguling
dan mata itu mata penyelamat
tanpa kata namun terbaca
sebagai ajakan berhenti di akhir birama

sulut bara pengingat bahwa kekanak kanakanku bahayakanku nanti
suatu hari kan membakar hangus diri
tak bersisa selain arang sesal
tak bersisa selain arang sesal.

Halte Pancoran tugu, 3 September 2018
Poetoe

Proklamasi

di ruang itu berhadapan
mata mata berkata kata
tentang kegetiran
air mata dan cerita

kerinduan itu berbuah kerancuan
pantaslah tak mudah menuntaskan kerinduan bangsa untuk merdeka
ada keresahan ada kegelisahan
berserakan, remah remahnya harus disusun ulang pelan pelan

berhadapan dekat
bertatapan lekat
bercakapan hangat
tanpa sekat

bahwa telah ada pengingat
lewat mimpi buruk
berjingkat jingkat
juga teguran singkat

harus beranjak sebelum terlambat
sebelum kelak diabaikan dalam dosa yang berkarat

lalu kemerdekaan pun diproklamasikan
juga kemerdekaanmu atas segala belenggu rindu

tersisa, hanya aku
penjajah yang murung menunduk
di sudut bilik ratap
mengulang ulang kalimat sesal
mengulang ulang kalimat sesal

Bumyagara, 2 September 2018
Poetoe

Mati senjahati

sisa sisaku
di meja senja
tersaji saja
imaji yang renta
matahari meredup
mengecup bercak awan
dan gelap menyebar
murung mengurung
mendadak sepilah mimpi

sia sia beku
di bejana kerinduan
ruang tunggu yang gagu
duduk diam diam
kelam menarikmu tenggelam
perlahan menyelam ke dasar malam
aku kau dan senja memburam
lukisannya seram

di ceruk tergelap
meringkuklah kita
gemetar melepas remah kelakar
kematian yang pelan
perlahan perih
sejumput maut menjemput
segelas kopi diseruput
hmmm....

mati.

Bekasi, 31082018
Poetoe

Jeda duga

aku tak ingin beranjak pergi lalu rugi
tak ingin keluar dari lingkar
ingin tetap bersama dalam lantunan irama iman
siapa yang kan enggan
ini barisan hangat dan nyaman

aku tak ingin tapi angin badai keras menampar
fragmen fragmen berdatangan menyatakan bukti atas duga yang sempat terjeda
gamang menjadi rima
terulang ulang setiap hari

hingga senja, saat indah menatap langit
mencari jawab
mengais ais kemantapan hati

Senja, 31082018
Poetoe

meriang

jadi aku bercakap cakap saja sendiri sore ini
gumamkan kidung senja
sambil berjalan menunduk
menghitung setiap langkah sebagai setiap peruntungan
pilihan pilihan yang beranak pinak
mengunyah energi
menebak nebak terjal menanjak
menjebak kesadaran dengan membuka lebar benak

mengapa kesalahan seperti curah hujan?
mengapa kekeliruan seolah benih tertebar?
apakah usia kan bisa selamatkan?
apakah waktu kan bisa membantu?

di bawah matahari tua
kering
keringat sisa sisa ingat
kesepian yang sangat

Halte Pancoran Tugu, 31082018
Poetoe

pelukan siang

kuperlukan pelukan untuk satukan setiap lekukan
kedekatan detak dua jantung menyeirama
kubutuh sentuh utuh rengkuh segenap tubuh
bahasa rasa kalahkan aksara dan kata
tanggalkan segala janggal jengah dan rikuh
ini peleburan ini kemelekatan
seperti siang yang tanpa gamang menyatu dalam terang kerontang
silang kilaunya sayat kedip mata
mula perih lama lama membiasa

Jalan layang, 30082018

Kopi Inflasi

jantung berdetak lebih cepat, namun tubuh lebih perlahan bergerak
bersandar pada pendar terik gamang
nikmati residu bincang
kopi dan kelelahan siang
beradu padu

dan jeda jarak ekonomi
kota dan desa
lelaki di dekat Cilacap yang nikmati pelannya waktu
sedang kita di bawah kilap gedung gedung kehabisan detak senggang
megap megap

uang seperti punya nyawa
bergerak di sela sela butuh dan ingin
menari nari di antara kerja dan cinta
merindumu pun ku perlu kanvas
di tepi napas
diterjang jarak yang culas

kutambahkan saja kopiku
jantung berdetak lebih cepat, namun tubuh lebih perlahan bergerak

Jampang kafe, 28082018
Poetoe

Senin, 03 September 2018

netra kamajaya

bagaimana cinta menyihir semua?

lalu angin menjadi merdu
kegaduhan itu menjadi simponi
kelelahan itu menjadi pemicu rindu
mabuk tanpa arak sibuk tanpa sorak sorai

jika ini tak lagi seru, kenapa tak kau ulangi saja?

carilah tombol pemutar ulang
dan biarkan batara kamajaya bekerja
detik menjadi ketukan
deru nafas menjadi nada
keindahan itu lahir dari titik terdalam pada benak
memercik percik api kecil perlahan membesar

kehangatan itu mungkin terserak mengapa tak coba kembali kumpulkan
jika tak mudah cobalah pindahkan netra kita
agar tawa terus dalam rima
agar gelora tetap dalam birama

ahai....

27082018
Poetoe

ingatan

ingatan itu tersimpan di mana
atau ia justru tempat penyimpan?

seperti pagi yang tiba tiba ada kamu

ingatan yang mendadak mengadakanmu
dengan dendang nadamu itu
dan senyum itu
dan luka luka lamamu
dan beban beban yang lebam
mengerak dalam
dasar benak

padahal tak ada pemicu atas ingatan tentangmu
tak ada

tiba tiba saja

27082018
Poetoe

angin purba dalam senja

angin ingin
senja selepas kerja
sepi dalam genangan kopi
orang orang bergegas melepas nafas
nada yang terseok di pematang birama
bass rendah menjaga pagar rima
suara suara gaduh jalanan
orang mengaduh dalam diam

angin dingin
senja selepas kerja
aroma dan irama
kematian mendekat
berjingkat di setiap denyut darah di kepala
roh menggeliat hendak merdeka
jasad merengkuh erat tak hendak lepas

orang orang saling baca
tanpa kata
hanya mata
raut wajah
dan hasrat hewani
berbiak biak di kerumunan

ah

senjakala
purba pula pada purna
kita terseret arus pulang
menjadi biadab lagi
menjadi liar mengular ular
rangkaian detik tersambung
mana nanti mana tadi mana kini
lebur

Halte Pancoran Tugu, 27 Agustus 2018
Poetoe

kopi dan ia

ia aku tenggelamkan dalam genangan kopiku
senyumnya terlalu sering berkelebat di sesat mata
wajahnya terlalu rajin ijin tinggal di pangkal benak
kata katanya terulang ulang di ruang dengar dan ingatanku

maka ia aku benamkan saja dalam genangan kopiku

walau lalu aku sruput perlahan
nikmati imaji rasa dan segela cerita tentang ia
bagaimana lalu lupakan ia, bahkan dalam genangan kopi panas yang telah terbenami olehnya itu aku nikmati teguk demi teguk

ia sepertinya justru menghidupi lambungku
ia sepertinya justru menjalari nadi darahku

ia mengaku
aku mengia

Rest Area 62, 26 Agustus 2018
Poetoe

melodi siang

berbisiklah perlahan pada siang saat gersang dan angin diam, tak lagi lalu lalang di sekitar liang gendang telinga
agar suara terdengar jelas
agar nafas terasa tegas
bawa ingin ini ke permukaan
agar beranjak dari muara pura pura
agar hempaskan bias basa basi

berbisiklah lembut pada kerang di pepasir pantai dan saat ombak tak membentak bentak karang
agar nada tak lagi sumbang
tak terbang oleh badai dan deru gemuruh angin yang membuyarkan layar mimpi rusak poranda oleh kenyataan

meraba jeda
meliuk di sela sela riuh
memaknai sepi
berlindung di palung tanpa gaung

kutuding tuding saja bosan
sampai ia enggan lagi tinggal bersarang di bilik jiwa
enyahlah ia
tertatih tatih

badan di lini masa seolah hanya mencari tempat ia mati, nanti

Subang, 26 Agustus 2018
Poetoe

tak adakah perayaan atas pertanyaan

tak adakah perayaan atas nafas yang terhembus
tak adakah pertanyaan atas nafsu yang terhempas
tak adakah perhitungan atas kabar yang terhibur
tak adakah peruntungan atas kubur yang tergembur

pepohonan di belakang asrama lebat
berkelebatan bayang suram
muram yang geram atas cahaya
hantu hantu menunggu senja
di manakah sebenarnya hantu menunggu
di balik selimut kabut
ataukah di balik kalut takut

tak adakah yang mampu menghibur waktu yang perlahan lebur
tak adakah yang mampu menemani cinta yang perlahan menggulita
tak adakah yang mampu mencumbu rindu yang perlahan tersedu di rerimbun perdu

tak adakah perayaan atas pertanyaan
tak adakah persiapan atas kesepian yang pasti menepi melingkupi segenap mimpi
tak adakah

Subang, 26 Agustus 2018
Poetoe

penjara cakap

larik larik tanya jawab dalam kunjungan, setelah lama terpisah
perbincangan tentang apakah?

biasanya bermula dari basa basi tanya tentang kabar,
dan sejenak setelah kopi terhidang mulailah bertanya tentang kepemilikan
tentang mobil
tentang rumah
tentang anak anak
tentang sekolah
tentang anak

dan jebakannya adalah pada percakapan tentang harga
tiba tiba kita tersihir menjadi pasar
tanya jawab menjadi padang rumput kering
manjadikan kita serupa bidak bidak konsumtif
ukuran ukuran itu mengutuk kita jadi grafik
kaku dan menyebalkan

ikan cupang yang terjebak dalam kubangan, berharap merdeka
walau lompatan keluar kubangan hanya membuatnya mati

matikah itu merdeka
ataukah masih sama, merdeka itu pilihan begitu juga kematian?

Transjakarta, 24 Agustus 2018
Poetoe

pelari di langit senja

kebiasan lama, berlarian di langit menginjak injak awan senja
warnanya terang melogam
berkecipakan air pada awan yang terinjak
mimpi berlompatan
terbentur lalu gugur berguguran
bercampur dalam rintik gerimis
kenyataan yang terabaikan
hiba mengemis atas harapan yang menggunung
menelan isi benak yang menggelembung

terus berlarian
peluh bercucuran
keluh melepuh di ujung lidah
berpindah pindah dari yakin menjadi ragu dari ragu menjadi ketakutan
hutan bosan atas pengulangan adalah rimba atas irama kegagalan
optimis menjadi serupa kismis yang tercecer dari kue besar pesta
gempita atas kekalahan yang dirayakan
pilu yang merdu dalam nada
canda atas air mata
cita cita yang raib
dalam aib jiwa

hingga bayang di langit itu pun mengecil
dikunyah cakrawala
senja tersedu duduk sendiri
dalam sela sisa warna logam yang tinggal semburat
menggelap
hitam perlahan
malam kan kuasai kita
malam kan habisi kita
sedu sedan kita
air mata dalam remang remang.

Jatibening, 24 Agustus 2018
Poetoe

Halte

di halte bis Pancoran Tugu
waktu dan aku duduk menunggu
prihatin atas kepedihan yang ragu
seperti enggan beranjak, gagu

kecurangan berafiliasi dengan culas
menjadi kesopanan yang beringgas
menggilas lawan setenang hembusan nafas
menyobek punggung saat kopi terhidang di gelas

aku tuliskan kesepian pada dinding jendela
atas ketidakhadiran nurani dalam pertemuan sela sela
keyakinan yang terinjak injak rela
di lantai halte tersobek tak berbela

harapan
ah
harapan
serupa asap saja
tertiup tiup bersama nafas yang basah di jendela kaca

Halte Pancoran Tugu, 24 Agustus 2018
Poetoe

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...