Rabu, 21 Agustus 2019

Pencarian

Hidup adalah pencarian yang tak henti-henti
Sejak mulai terjaga, lalu beranjak ke gunung-gunung batu
Gurun dan angin kering
Pasar dan hiruk pikuk dunia
Adalah mencari-cari
Adalah tanya-tanya
Adalah termenung dan picingkan mata hati

Hidup adalah pencarian yang seolah tak berujung
Sejak fajar terbit, dan lalu lintas bernyanyian
Waktu berdetak cepat, roda angkutan umum berderu merdu
Orang-orang lalu lalang
Tawar menawar dan jajakan nurani
Hampir-hampir semua mati
Sekaratnya keyakinan

Bukankah kita para pejalan malam yang sibuk mengembara mencari isi atas kekosongan hati?
Bukankah kita para pemimpi yang giat mengisi cerita dalam isi kepala sendiri, seolah nyata, seolah nyata?
Bukankah kita adalah barisan kesepian yang sepakat gaduh untuk mengisi sisa sisa napas kita sendiri?
Bukankah kita bangsa pejalan kaki yang tak pernah mengerti di langkah mana hidup ini akan berakhir?

Dan pada akhirnya kita akan tersadar, semua bermula dari sepi kan kembali sepi
Ruas garis panjang, dengan mula gelapnya rahim ibu, dan berakhir di gelapnya liang pemakaman
Akankah kita tersadar saat semua telah terlambat?


Bekasi, 23/08/2019
Poetoe

Senin, 19 Agustus 2019

Hari Lahirnya buku "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka"


Kita hidup di ruang yang gempita. Gaduh dan penuh raung informasi. Bertebaran data bahkan tak semua dapat kita tangkap. Percakapan ada di mana-mana dan kapan saja. Seorang yang duduk di warung kopi dan berbincang dengan teman-temannya bisa saja ia saat itu juga sedang berbincang dengan teman-teman lain di jejaring sosialnya. Percakapan nyata lalu maya, maya kembali ke nyata, bahkan sesekali bercakap dalam waktu yang sama. Hanya mata yang berperan ganda, sesekali menatap lawan bicara detik yang lain ia membaca percakapan di layar gawainya. Demikianlah kita di hari-hari belakangan ini.

Dalam riuhnya percakapan, potensi perseteruan itu tentu sangat tinggi. Karena beda itu keniscayaan. Konflik dalam bincang adalah wajar, selama tidak memicu perselisihan yang telah berbumbu kebencian dan ekspresi perlawanan baik dengan fisik ataupun hanya kata-kata. Semestinya hal ini tidak terjadi.

Untuk menghindari perselisihan yang tidak perlu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah kita “membawa gelas yang tak penuh” sehingga bersiap untuk menerima beda pandangan dari lawan berbincang kita, dengan istilah lain jadilah “kurva yang saling terbuka”. Terkadang ada ketakutan “membuka” diri, karena khawatir kebenaran yang telah diyakini akan terganggu. Namun hal ini sebenarnya tak perlu. Karena perbincangan yang sehat, adalah pintu ilmu dan pengetahuan. Mestinya dalam bincang kebenaran yang kita yakini akan terus teruji dan justru semakin menggumpalkan keyakinannya.

Seperti yang dicanangkan pemerintah di tahun ini, SDM unggul Indonesia Maju, maka tema unggulnya SDM ini layak sering kita perbincangkan. Bicara tentang potensi manusia maka kita tepat jika lalu berbincang tentang “cara berpikir”. Pembelajar sejati lahir dari tradisi belajar yang sehat, tradisi belajar yang sehat lahir dari tradisi perbincangan informal di warung-warung kopi yang terbuka, demokratis dan egaliter. Seperti membangun himpunan dari banyak kurva-kurva yang sama terbuka. Pikiran-pikiran sehat dan segar akan saling berkelindan, menciptakan pemahaman yang hangat dan harmonis. Mereka hidup sakinah di rumah pikiran bangsa kita.

Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2019, satu hari setelah perayaan HUT RI yang ke 74 secara resmi buku kumpulan puisiku dengan judul "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka" terlahir di muka bumi. Ini adalah buku perdanaku, walau terlambat 4 tahun dari waktu yang pernah aku citakan, bahwa pada usia yang ke 40 tahun aku bisa terbitkan satu buku. Dan saat mulai diterbitkannya buku ini, usiaku sudah hampir 44 tahun. Buku ini mewakili ide-ide keterbukaan dalam pemikiran yang menjadi bekal dalam menjalani proses belajar yang panjang, bahkan dalam bincang-bincang di warung-warung kopi. Semoga bermanfaat.

bercakap itu seperti bersantap
pemenuhan atas nutrisi hati juga nutrisi diri
karena kita tak bisa sendiri
jika pun sendiri, kita tetap butuh bercakap
meski bercakap pada diri

percakapan intim tentang apa pun
tentang ketakutan yang tak terdefinisi
tentang nada jiwa yang terlewat
hingga biramanya tersendat

interlude yang belum waktunya
atau kau ingin bercakap dengan kalimat bersayap
sehingga makna kita biarkan muram di sudut buram
dan kita tenggelam dalam metafora

antara kita hanya persepsi yang mungkin tak sama kita mengerti
duduk saja kita berdua dalam remang yang tak berkesudahan
jika letih, tatap saja mataku
jendela jiwa ini tak pernah berdusta
meleburlah kita sebagai kurva yang saling terbuka.

Poetoe, 2019

Selasa, 13 Agustus 2019

Subtance over form


Salah satu kendala dalam belajar adalah kesalahan dalam men-stabilo materi ajar kita. Kesalahan menggarisbawahi uraian atas masalah yang kita pelajari. Mungkin ini serupa kesalahan saat kita zoom in satu objek, yang membuat kita salah fokus, berujung pada kesalahan dalam mendefinisikannya.  Hasilnya kita tidak bisa menemukan solusi yang tepat atas masalah tersebut, atau bahkan bisa menjadi pemicu dari tindakan yang keliru, sehingga bukannya terselesaikannya masalah tapi justru menambah masalah baru.

Seperti pada satu kejadian, saat mantan kader partai dakwah mengadakan kegiatan di wilayah dakwah tempat dulu ia pernah ditugaskan di sana saat masih aktif sebagai kader partai, ia ditegur oleh struktur partai dakwah di wilayah tersebut, karena dianggap mengambil wilayah garapan mereka. Struktur tidak mau objek dakwah di wilayah tersebut dibawa ke ormas tempat baru mantan kader ini. Hal ini menjadi menarik jika kita mengingat kaidah dalam materi tarbiyah kita: “ad-dakwatu qobla kulli syai” bahwa dakwah itu menjadi prioritas kita. Teguran struktur pada kasus di atas menjadi ambigu, sebenarnya partai ini pendukung dakwah atau justru menjadi penghalang dakwah?

Ada satu kaidah dalam ilmu akuntansi “ Subtance over form ”, bahwa lebih mengedepankan subtansi masalahnya dari pada kemasan formalnya. Dalam materi tarbiyah, dakwah adalah tujuan utama, dalam perjalanannya dibutuhkan banyak sarana dan cara, salah satunya adalah partai politik. Subtansinya adalah dakwah, politik adalah kemasannya. 

Sepertinya kesalahan berpikir inilah yang sedang terjadi. Fokus dan mengedepankan cara sampai melupakan substansi tujuan yang terabaikan. Kasus di atas hanyalah salah satunya. Kita bisa melihat kasus lain dengan kaca mata ini. Seperti bagaimana kader partai dengan banyak gebrakan dalam dakwah siyasiyah (dakwah politik) harus dikeluarkan dari keanggotaan partai hanya karena masalah-masalah teknis. Contoh lain yang lebih terasa adalah pemberhentian kader dakwah dari institusi dakwah pesantren hanya karena ia keluar dari keanggotaan partai, bahkan ada imam masjid yang diganti oleh pihak DKM dengan alasan bergabungnya dengan ormas yang dianggap berselisih dengan institusi partai dakwah.

Ketaatan tiba-tiba saja menjadi monster. Kader dibiarkan berlama-lama dalam kepura-puraan bodoh sebagai wujud ketaatan terhadap struktur partai. Kepura-puraan bodoh yang dimaksud adalah: membiarkan banyak pertanyaan tak terjawab, karena mengejar jawaban adalah perlawanan atas ketaatan. Sistem yang otoriter, kental kedzaliman. Jika ini adalah sistem dalam mesin dakwah bernama partai dakwah maka sudah terbayang out put yang akan dihasilkan dari mesin serupa ini. Adalah kader-kader dakwah yang penuh ketaatan, miskin narasi, tunduk dan patuh, berpotensi tersesat secara berjamaah. Dan inilah yang terjadi. 

Tiba-tiba saja, fakta-fakta janggal tentang :
1.       dakwah yang dinomorduakan setelah politik,
2.       kedzoliman terhadap kader yang terang-terangan,
3.       pemanfaatan ketaatan kader untuk kesuksesan sebagian kecil petinggi itu
terasa wajar di kalangan kader partai dakwah.

Ada yang salah. Itu sangat nyata. Tapi masih banyak yang tak merasakan. Betapa hebat mesin pencetak robot prajurit ini bekerja.

Wallahu a’lam.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...