Selasa, 30 Desember 2014

Ego

Sekali lagi, aku dibangunkan oleh apa yang aku pikirkan sebelum tidur tadi. Karena mereka berjejalan di bilik otak. Suara mereka terlalu berisik untuk aku abaikan. Mereka berkumpul dalam satu tema besar (masih tema yang sama dari tiga malam terakhir) "kesadaran atas keakuanku yang terlalu dominan" :egosentris.

Awalnya memang kesadaran atas egosentris ini aku anggap hasil dari pencarian, dan perbincangan yang disengaja tentang evaluasi diri, namun ternyata tidak sepenuhnya benar. Karena selalu saja ada peran Dia. Bukan hanya perkara kita yang mencari melainkan bagaimana Dia memberi kita pencerahan. Sebagaimana para ustadz seringkali merangkai dua kata "taufik dan hidayah". Taufik adalah bertemunya keinginan manusia dengan keputusan-Nya, sedang Hidayah adalah petunjuk-Nya sekalipun tanpa ada keinginan dari kita sebagai hamba-Nya.

Dan belakangan ini aku tersadar. Aku terlalu sibuk dengan keakuanku. Kesadaran yang bermula dari tamparan kata kata, lalu beruntun percikan percikan di rongga kepala. Tersusun menjadi rangkaian. Belum utuh namun menuju untuk utuh.

Hari ini, istriku berkomentar saat aku sampaikan tentang egosentrisku ini, kata dia bahwa aku masih sibuk mencari pengakuan pengakuan yang sebenarnya tidak perlu. Kata pengakuan, ini menarik. Sepertinya kata inilah yang melatarbelakangi petualanganku. Bermain kata kata di dunia maya, membangun "Rumah Kata" seolah bervisi dan misi menyelamatkan kata dan mengoptimalkan fungsi kata dalam membangun diri. Padahal bisa jadi hanya sekedar pencarian pengakuan tentang hebatnya seorang Putu.

Kata-kataku yang seringkali dipuji dan punya penggemar tersendiri itu ternyata hanya "berdusta dalam keindahan" (kritik seorang teman yang mak jleb). Berindah indah dalam kata atau bahkan dulu aku menyebutnya sihir kata-kata untuk sebuah maksudnya yang mungkin tidak indah.

Nyeri memang, saat tersadar bahwa ternyata selama ini aku hanya mencari pengakuan namun yang sebenarnya aku dapat adalah gelar seorang pendusta dalam keindahan.

Ini tamparan dahsyat. Mungkin menjadi renunganku di akhir tahun ini.

Aku akhiri saja tulisan ini dengan pertanyaan: apakah pencarian pengakuanku ini juga serupa dengan penaklukan?

...dan Dia lebih tahu jawabannya.

**Bumiayu, Desember 2014.

Sabtu, 20 Desember 2014

mungkin rindu

Pagi, mengunyah hangat matahari
dalam kehadiran yang tak sebenarnya

kita hanya menangkap tanda-tanda
semesta seperti akrab memberi isyarat
pada setiap cerapan indra kita saling sapa
pada cahaya yang bersembunyi di warna-warna benda
pada hening yang setia mendampingi dibalik kegaduhan
seperti interlude yang setia mengisi di antara birama nada
pada aroma yang seperti pintu kemana saja dan membawa kita dalam pertemuan di dunia alternatif yang tak pernah kita pilih.

Apakah kita sanggup melanjutkan orkestra kepedihan ini?

Agh!
**langit marah atas pesimisme ini.

Atau aku nekat saja hampiri matahari hingga moksa dalam larutan cahaya?

Jumat, 19 Desember 2014

Matahari Senja

Hai matahari senja
Sulit sekali aku menyapamu
Apa aku terlalu biasa untuk terabaikan
Padahal tak banyak sebenarnya yang ingin aku perbincangkan
Hanya hal hal yang biasa untuk orang biasa
Namun tentu tak biasa untukku.

Yang pertama tentang warna langit yang kau sinari
Mengapa jingganya begitu murung
Kau memang bersedih atau justru  aku yang salah menerjemahkanmu
Kerinduan memang bukan hanya karena lama tak berjumpa
(-Bukankah setiap hari aku menemuimu..)
Namun pemicu rindu bisa pula ketakutan akan bayangan ditinggalkan saat malam menelanmu

Yang kedua, aku ingin tahu
Setakut aku kah kau pada malam, yang membuatmu tiada
Atau jangan-jangan sekali lagi aku yang salah menerjemahkanmu.

Matahari senja
Maaf aku terlalu banyak bertanya

(Jangan jawab jika kau tak suka, karena aku pun tak suka atas apa yang kau tak suka.)

Kamis, 18 Desember 2014

Dinding Tua

Menjadi dinding tua
di waktu yang dikebiri oleh sepi
dinding hanya boleh diam,
diam yang sulit terdefinisi
karena memang enggan memberi batas atas pengertian
karena batas hanya menyempitkan
sementara makna telah lama berharap merdeka dari jeratan kata
(terima kasih bung Sutarji)

Menjadi dinding tua
tempat kata terbentur berubah menjadi gaung
pada masa yang terpasak dalam lembah ingatan
demikian dalam
sehingga saat angin puting beliung kenyataan menghempas
kau bisa genggam pasaknya
berpeganganlah pada kenangan
karena kenangan adalah ingatan yang teristimewa.

Menjadi dinding tua
Menjadi diam yang tak terbanding.


Rabu, 17 Desember 2014

Diam

Mungkin tanpa kata itu diam
Mungkin tanpa gerakan itu diam
Mungkin yang semakna dengan tinggal itu diam
Mungkin tanpa keputusan itu diam
Mungkin bèrhenti itu diam
Mungkin membiarkan itu diam
Mungkin tenang itu pun diam.

Entahlah, diam yang mana yang ingin aku lakukan untukmu...

Aku diam.

Selasa, 16 Desember 2014

Cara Dia berkomunikasi

Terkadang kita merasa demikian berjarak dengan-Nya. Doa yang terucap tak lagi dari hati, hanya gerak bibir kepantasan saja. Juga gerakan solat kita berulang tanpa sertakan jiwa. Kering makna.

Dan mungkin Dia akan mengingatkan kita dengan cara yang tidak kita duga. Berupa kejadian, percakapan kita, atau mungkin percakapan yang tanpa sengaja kita dengar, bahkan bisa jadi hanya lintasan hati tak nyaman saat kita lakukan kesalahan.

Seperti cara kerja radar yang membaca gerakan dari benturan gelombang, mungkin benturan yang kita rasakan adalah isyarat petunjuk-Nya, namun terkadang kita tak cukup cerdas menangkapnya.

Terkadang memang paradok, pesan Tuhan justru terbaca saat potensi dosa itu hadir. Kesadaran yang menyelinap itu tiba-tiba berdiri di depan mata. Melotot. Lalu menampar keras. Rahang kita terhenyak. Pipi memerah. Namun bukan lalu marah yang lahir, melainkan kebahagian yang indah.

Kesalahan yang terulang perlahan menggumpal jadi karakter. Menurut teorinya karakter itu tak mudah diubah. Namun bisa jadi, tamparan keras di saat yang tepat itulah yang bisa menjadi pemicu perubahan fundamental itu.

Tamparan itu adalah guru. Dan kakaguman pada sang guru lah yang melunturkan hasrat rendah itu. Sublimasi. Pengalihan hasrat kepada sesuatu lebih terhormat.

Entahlah.

Perbincangan

"Orang bisa saja mengabadikan satu momentum dengan jepretan kamera, atau mencatat dalam kalimat-kalimat di catatan harian, tapi aku tidak." Katamu pada suatu siang. "Aku lebih suka ini terjadi saja, lalu biarkan ingatanku yang mencatatnya."

Dan begitulah, banyak kejadian yang memang tak tercatat, tak tersimpan dalam foto, walau sebenarnya tentulah sudah tercatat oleh Raqib dan Atit. Dan ingatan kita menjaganya. Dengan skala penjagaan yang beragam. Tergantung seberapa istimewanya kejadian itu.

Keistimewaan suatu kejadian dipengaruhi oleh seberapa istimewa para pelakunya, juga suasana saat itu. Jika itu istimewa, maka setiap unsur dalam peristiwa itu menjadi "penuh makna". Seperti udara yang terhirup, suara yang berlarian di sekitar telinga, senyuman, pedal gas yang terinjak, aroma jalanan, bahkan endapan gula yang tersisa di dasar gelas. Semua seperti menjelaskan mengapa mereka di sana. Dan kita sebagai pelaku, sebagai para pembaca pesan-pesan itu tetap dingin membedah semua dengan pisau dingin akal sehat. Bahkan saat kita bahas tentang rasa, tentang gerak hati yang biasanya demikian dekat dengan subyektifitas, kita tetap tega mengiris irisnya jadi menu rasionalisasi dan objektifikasi.

Agar lebih seru, waktu coba kita hentikan. Walau tentu kita tak mampu. Kita hanya bisa abai atasnya, namun tetap saja ia bergerak.

Dan setiap kalimat tanyaku, kau jawab dengan kalimat yang diawali dengan kata "tergantung...". Kau memang seperti playmaker- pemain lapangan tengah di sepak bola, yang memiliki naluri menahan bola lalu mengubah arah bola. 

Perbincangan kita menjadi ledakan. Karena satu hal menjadi dua, lalu dua menjadi empat lalu empat menjadi enam belas.... seperti reaksi nuklir. Fragmen pendek itu menjadi bernas. Pekat oleh makna.

Sehingga tak ada ruang untuk bincang-bincang kubangan. Haha, istilah baru tentang comberan pikiran. Syetan tentu saja mengeluh. Ia kehilangan peran untuk merunyamkan suasana. 

Entahlah. Perbincangan ini nyata atau imajiner. Karena sesaat setelah aku tulis pun aku merasa ini bukan tentang apa yang terjadi, melainkan tentang apa yang terpikirkan. Jadi adakah fakta dalam berita atau hanya semata mata otak yang berkata?

Entahlah.

Minggu, 14 Desember 2014

Jangkar telah dilemparkan

Jangkar telah dilemparkan
bahtera tertambat
di tengah teluk hatimu
di antara tarikan nafasmu
aku biarkan angin berdesir berputar di sekitar rongga otak

Bagaimana pun jangkar telah dilemparkan
ada detik yang akhirnya harus merambat
perlahan menjadikanku terpidana
dalam vonis rindu yang terputuskan tanpa hakim

Aku tertambat, tersangkut dalam pusaran ketidakmengertian ini
namun aku rela
karena hingga saat ini tak ada satu pun usahaku untuk menarik jangkar.

Berdesirlah
Berdesirlah.

Puisi lama; absurd. Tapi aku suka membacanya ulang...

Part 1
lalu aku bisa apa?

kau bisa saja terbang
lalu mendarat tepat di tengah telaga
tenggelam perlahan
lalu kami taburkan bunga di atasnya
- end -

part 2
arwahku menghantuimu sepanjang waktu

jasadmu mengambang
tebarkan aroma tak sedap
aku siapkan botol kaca
masukkan arwahmu di sana
lalu aku simpan dalam kulkas
sesekali aku letakkan di atas meja
aku pandangi saja
sehingga ada dalam ingatan
bahwa pernah ada
peri yang tak imut yang terjatuh dalam telaga
tenggelam perlahan
hingga ke dasar
namun hanya ingat saja
tanpa rindu
hanya ingat saja
sambil lalu
karena beberapa detik kemudian...
aku sudah kembali sibuk dengan secangkir kopiku
kau moksa dari lipatan otakku
- end -

#ngopisore

Yang tersirat di hati itu tak tersurat namun jadi energi utama atas amalan.

Menyedihkan saat sandarkan amal untuk anggapan orang saja. Menjadi mudah terluka.

Membangun citra itu tragis, karena fitnah bertebaran. Dan itu menjadi sayatan perih saat kita tak pandai abaiakannya.

Memang beda antara citra dan reputasi. Walau keduanya masih beranjak dari anggapan manusia.

Citra tentang kita ingin orang bilang apa sedang reputasi itu soal apa kata orang tentang kita.

Padahal membangun karakter lebih penting dari sekedar citra dan reputasi.

Sabtu, 13 Desember 2014

Filodiri

Saat malam, saat bercakap dengan diri. Kita ada dalam dimensi ruang dan waktu.  Ada di waktu sekarang itu berarti sebelum nanti dan setelah tadi. Kini itu karena tadi dan untuk nanti.

Pemahaman kita bermula dari ketidaktahuan yang memicu pencarian. Berterima kasihlah pada ketidaktahuan kita.

Pencerahan kita bermula dari pekatnya gelap yang membuat pupil mata sesuaikan diri. Terang lahir dari gelap.

Selalu ada alasan di setiap perbuatan. Alasan yang masuk akal dan alasan yang sebenarnya. Memahami alasan yang sebenarnya membuat kita tenang, sebaliknya alasan yang masuk akal terkadang sesatkan langkah.

Masuk akal tak lalu benar. Karena akal demikian terbatas. Yang diketahui oleh akal sedikit sekali dibanding yang tak diketahuinya.

Jangan bangga jika pandai berkata kata, karena kata bisa sedemikian naif dalam menyembunyikan alasan yang sebenarnya.

Kata itu hanya kemasan untuk alasan masuk akal bersembunyi, sedangkan fakta itu baru wilayah alasan yang sebenarnya.

Karenanya saat tak lagi populer itu hal yang layak disyukuri, karena akan berkurang potensi mencari-cari alasan yang masuk akal, hingga dapa fokus pada alasan yang sebenarnya.

Wallohu a'lam.

Rabu, 10 Desember 2014

Mengakhri badai dengan biasa


Terkadang memang perjalanan itu tak seindah bayangan kita. Indah di awal, seru dan bergelora di bagian tengah, namun antiklimaks di akhirnya. Akhir yang biasa biasa saja. Bahkan ada penyesalan pada akhirnya.

Padahal yang biasa teringat oleh kita adalah proses akhirnya, walau banyak dari kita yang meyakini bahwa menikmati proses bukan hasil, namun kenyataannya yang terakhirlah yang mudah kita ingat.

Seperti saat bermimpi, jika itu mimpi yang panjang biasanya saat terbangun kita hanya menyisakan ingatan tentang mimpi itu pada fragmen terakhirnya, awalnya mungkin lupa, bagian tengah bisa jadi kehilangan detailnya.

Begitupun saat badai itu datang, mencekamnya di awal itu luar biasa, ketegangan yang panjang di pertengahan itu seru dan heboh. Banyak rasa yang ikut terbangun dalam proses itu. Harapan, ketakutan, penasaran, antusias... cinta mungkin juga rindu.

Namun pada akhirnya, badai berlalu begitu saja. Langit tiba-tiba cerah. Perasaan lega kuasai hati walaupun sebenarnya terasa kurang asyik.

Entahlah.

Angin berdesir

Angin berdesir sepanjang hari....
dan detak jantung menjadi tak beraturan
betapa gelora itu tak sanggup ditahan....
menerjang hingga poranda tirai norma...

Dan demikianlah jangkar itu dilemparkan,
karena setelah itu hati jadi demikian terikat. Keseluruh hari menjadi penuh olehmu.

Dan percakapan pada nurani
yang membuyarkan bangunan mimpi
karena malu ternyata selalu punya ruang dan waktu,
untuk bersembunyi untuk kelak bangkit memimpin hari.

Angin berdesir, juga aku berdesir
Sehari penuh
Penuh olehmu.

Senin, 08 Desember 2014

Berkumpul bersama.

Kami berkumpul di lereng gunung, bersama ratusan sahabat. Dengan niat yang sama, jalankan pelatihan diri sebagai bagian dari ibadah kepada-Nya. Semangat ketaatan itu mewarnai segenap acara. Sehingga dalam padatnya agenda, dan angin dingin juga hujan, kami tetap diringankan untuk melaksanakan ibadah-ibadah harian kami.

Ada sepenggal fragmen yang rasanya akan lama dalam ingatan, ialah saat sampai di puncak gunung, dalam hujan dan pekatnya kabut. Berdesakan antri, karena lereng tak memungkinkan dilalui selain harus satu persatu. Dingin mencengkeram. Awalnya hanya kulit dan tubuh, perlahan mulai mengganggu otak dan akal sehat. Kami mencoba mengusirnya dengan tetap bergerak dan tetap mengunyah bekal yang kami bawa. Sampai akhirnya ada seorang dari kami membaca ma'tsurat - dzikir rutin pagi dan sore. Lantunannya langsung diikuti oleh kami. Perlahan semakin mengeras. Ratusan mulut itu bersama menggumamkan dzikir tersebut. Bergumam memenuhi alam, puncak gunung itu serasa ikut berdzikir. Dingin kami mulai terusir, namun kini yang aku rasakan justru merinding. Campur aduk. Rasa sebagai hamba yang kecil dan lemah. Tak ada apa pun dapat kami lakukan selain atas izin-Nya. Air mata mulai menyatu dengan tetes hujan.

Ada lagi kejadian yang aku catat sebagai keindahan suasana. Padahal mungkin ini hanya kejadian sederhana. Adalah suatu pagi selepas dzikir pagi dan sarapan, kami diminta berkumpul di lapangan. Karena lapangan di tengah tenda-tenda kami tak begitu luas, maka beberapa kami berdiri saja di depan tenda masing-masing. Seorang instruktur memimpin, awalnya ia gunakan pengeras suara, namun saat mulai memimpin senam, pengeras suara diletakkan. Hanya suara dia yang sayup-sayup terdengar. Secara otomatis, beberapa dari kami ikut membantu mengulang hitungan, sehingga terdengar suara hitungan yang semakin keras, kompak. Dan karena aku duduk di barisan belakang, maka terlihat gerakan yang rapi dengan irama suara hitungan yang padu. Indah. Hingga saat instruktur mengajak membuat lompatan yang bergantian, agar serupa dengan gelombang, kami melakukannya dengan indahnya. setiap lompatan kami ikuti dengan teriakan, sehingga gelombang manusia dan alunan teriakan itu serupa gelombang ombak dengan suara deburannya. Dan puncaknya saat selesai, kami spontan bertakbir bersama.

Demikianlah, satu rangkaian acara pelatihan yang tak terlupakan. Melahirkan kesadaran, bahwa kita memang kecil, kerdil, dan lemah. Namun jika bersama dalam satu barisan yang kokoh, pastilah kita menjadi kekuatan raksasa dan dahsyat. Dikumpulkan oleh cinta kepada-Nya, dipertemukan oleh ketaatan kepada-Nya. disatukan oleh dakwah kepada-Nya, dan terikat janji untuk terus menolong syari'at-Nya. Semoga Allah SWT eratkan ikatan ini. Aamiin.

Papandayan, desember 2014.

Rabu, 03 Desember 2014

Yang tiba-tiba mengada di rongga kepala.

Tiba-tiba saja, ini yang aku pikirkan:

-Satu-
Terkadang dalam menetapkan pilihan, kita menambahkan syarat yang justru menjauhkan dari substansi atas dasar pilihan tersebut. Syarat formal itu sengaja kita tambahkan agar kita lebih mudah mencoret salah satu pilihan yang terlihat sama baiknya.

-Dua-
Ternyata pada kebanyakan orang yang sukses justru karena kepandaian membaca “yang tersembunyi” dari beberapa pilihan. Artinya yang terlihat dan terkesan masuk akal itu belum tentu baik pada akhirnya untuk kita.

Lalu esok harinya, skema ini yang muncul di kepalaku:

Sesuatu perbuatan itu pasti punya alasan,  paling tidak ada dua jenis alasan (terima kasih pak Didi M Saleh atas ilmunya.):
1.       Alasan yang masuk akal, dan
2.       Alasan yang sebenarnya.

Alasan yang sebenarnya dipengaruhi oleh:
1.       Internal (dalam), yaitu factor niat, motivasi, hasrat, keinginan, dasar pemikiran, dan sebagainya.
2.       Eksternal (luar), adalah situasi dan kondisi, suasana yang melingkupi, lingkungan di sekitar, peristiwa yang terjadi, dan sebagainya.

Memahami hal-hal di atas akan sangat membantu kita, untuk dapat memaklumi apapun yang terjadi di sekitar kita. Menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi, dan mengambil keputusan.

Wallohu a’lam.

Selasa, 02 Desember 2014

Para pejalan malam

Seperti para pejalan malam itu,
yang tertunduk berbaris....
Melewati bukit bebatuan, tanpa lentera...
Sesekali mereka terpeleset, terjerembab, namun segera bangkit.
Mereka enggan barisannya menjadi tak beraturan.
Padahal lutut mereka menjadi terluka,
beberapa dari mereka bahkan berdarah....
Tetesannya mengalir hingga ke telapak kaki.
Hingga tersisa jejak kaki warna merah, di jalanan bebatuan di bukit saat malam benar-benar larut dalam kelam.

Seperti para pejalan malam itu,
kenangan berbaris rapi,
dalam pematang yang membatasi lelumpuran kenangan dalam genangan sel kelabu otakku....
Iya... kenangan.

Dan berseragam warna kemerahan, laskar amarah yang menjaga tanggul keinginan....
Karena khawatir kenangan masa silam itu, akan memberangusnya....
Hingga keinginan terserak, tak tersisa.

Kamis, 27 November 2014

Selamat Malam

Selamat malam,
aku mungkin kunang-kunang yang terjebak dalam belukar kota
Kerlipku redup, kalah oleh lampu jalanan
Seperti serpihan nada pelan di tengah komposisi orkestra yang hinggar binggar.

Selamat malam,
aku memang hanya kunang-kunang yang terlupa kemana jalan pulang
Tersesat di bawah jalan layang jakarta,
dan terbangku terseok ditampar oleh angin malam dan deru lalu lintas yang mengganas....

Selamat malam,
aku makhluk kecil yang terbang bergoyang goyang
Kehilangan pegangan.....
Mana kebenaran yang teryakini,
dan mana kesanggupan yang harus diiyakan....

Jika tak hati-hati, mungkin ini segera berakhir...
Jika tak jeli meneliti jejak waktu, mungkin tiba-tiba kita raib,
dan sisa kita membercak di dinding sejarah....

Entahlah....

Rabu, 26 November 2014

Lawang Hati

Seperti dekat namun tersekat,
hanya terdengar lembut deru nafas
juga detak jantung dan denyut nadi
yang merayap bersama jarum detik waktu.

Seperti demikian rapat, namun tetap ada sekat,
hanya deheman dan batuk tertahan,
juga suara gesekan jari bergeser di sepanjang papan.

Dan akan seperti ini saja,
sampai kapan pun
jika aku tak coba membukanya,
juga kau tak coba melepas gerendelnya.

Rabu, 19 November 2014

senja merinai

Sekejap waktu linglung...
Kehilangan pegangan, ia ada di kini, tadi atau nanti
Saat senyum itu lepas dari busur
Anak panah yang menancap tanpa kuasa kutahan
Bergetar
Sekarat hati
Tergeletak saja.... menanti nanti
Sampai waktu kembali tersadar. Ia masih ada di kini, setelah tadi dan sebelum nanti.

Jumat, 14 November 2014

cawan Otak

Mungkin isi cawan otak kita adalah larutan ingatan, sedikit bercampur dengan pekatnya kenangan, dan di dasarnya ada endapan keyakinan. Mungkin hari-hari yang kita lalui itulah larutan yang mendominasi. Sehingga ketika sesaat terpejam saja, semua seperti terputar ulang. Fragmen yang jelas, dengan detail kejadian yang tertata. Bagaimana bisa melupakannya?

Namun dalam cawan itu juga ada proses yang harus terjadi. Menjadi seperti adukan dalam secangkir kopi. Ia mengaduk-aduk ingatan. Mencampurnya dengan ramuan logika, bumbu akal sehat, dan tentu nurani. Walau akan ada rasa yang lahir tanpa permisi. Serupa rindu, atau sayang yang aneh. Terkadang rasa itulah yang menggangu akal sehat dan pertimbangan logika.

Bagaimana menyelamatkan ego kita dalam lautan diri yang terkadang penuh badai? Ego terhempas dalam tarikan hasrat dan kendali diri. Sesaat kendali lepas, maka bahtera ego terbanting-banting. Sesaat kembali terjaga, namun arah bahtera seringkali terlanjur terjauhkan dari tujuan.

Kita dan waktu memang terkadang saling menyerang. Memanfaatkan kesempatan, atau justru kesempatan yang menyempitkan kita. Kita bisa saja terpenjara tanpa punya daya melepaskan dari jeratan hasrat. Dan waktu juga kesempatanlah yang mungkin akan kita persalahkan. Entahlah.

Dan jika masih boleh berharap, biarlah senja yang langitnya melogam itu yang kita nikmati. Dan kita tenggelam dalam bincang yang bernas. Pekat oleh makna. Dan detik demi detik tak kita sia-sia kan.

Seperti doa para pendahulu kita, maka doaku.... semoga yang tersisa adalah genangan berkah, dan taufik juga hidayah-Nya melengkapi hidup kita.

Aamiin

Minggu, 09 November 2014

belajar

Nikmati senja
keletihan mengindah di langit
kemalasan telah menjadi mayat terkulai oleh tombak kerja
kenikmatan adalah pada sayatan pisau ilmu
pada dua sisi... mengajar dan belajar
darah segar analisa dan ingatan menetes perlahan
merembes dalam tanah pot kesadaran....
untuk suburkan tanaman pemahaman.....

Merengkuh buah makna, dengan jemari diskusi
lalu menggigit dan mengunyahnya lembut....
lezatnya menyeruak hingga ke nurani
kelapangan hati dan benak yang tak terbantahkan....

Panjatlah....
..dan berdirilah di puncak gunung belajar
lalu hiruplah semesta ilmu
penuhi dadamu sekenyangnya
biarkan ia menyihirmu
hingga matahari
angin
juga rerumputan serupa mimpi terindah

Sabtu, 01 November 2014

Potongan Senja

Mungkin senja memang bisa kita potong, seperti dalam cerpen Seno Gumira Aji Darma. Caranya dengan memandangnya lekat, lalu kita potong, dengan kedipan mata dalam. Potongan ingatan tentang senja itu kita lipat rapi, kita simpan dalam rak benak di rongga kepala kita. Untuk menjaganya bisa kita tambahkan rasa kita yang tercerap saat itu segera bungkus lalu endapkan dalam hati. Di sana ia akan terkoneksi dengan ingatan dalam benak. Kapan-kapan kita bisa buka ulang filenya.

Seperti senja ini, saat warna lembayungnya kuasai retina mataku. Juga aroma sabtu sore yang gempita, dihiasi senyum bahagia pasangan muda yang berkendara dengan motor sambil bercanda. Juga rasa yang aneh di rongga kepalaku, karena dinodai sakit kepala dan suasana mriang. Kucoba penuhi otak dengan bacaan tentang budaya, film dan politik pendidikan. Sengaja dengan tema-tema yang terkesan berat, harapannya cepat mengusir rasa getir dari perpaduan sakit kepala dan meriang ini.

Apakah berhasil? Entahlah. Namun keindahan senja tetap saja aku dapat. Potongannya aku simpan. Dalam saku hati. Jika kau mau ikut nikmati boleh esok kubawakan untukmu.

Mutiara Gading Timur, 1 Nopember 2014.

Minggu, 26 Oktober 2014

rahsa Hijrah di senja ini

Matahari senja yg sama,
yang memandangi kita juga mereka kaum sebelum kita....

Dari jaman ke jaman,
para perantau, jalani hidup sebagai perjalanan....
rasakan detak bumi dengan jejak kaki yang terhentak

Ada pengharapan atas esok yang lebih baik,
Ada ketakutan atas kemalangan yang menghadang,
Ada kegalauan jika kematian bersegera datang....

Dan perjalanan kita bisa saja lalu sesat,
dalam rimbunnya rimba kepentingan,
dalam carut marutnya intrik kedengkian...
Dan menunggu memang menyakitkan,
serupa duduk di kursi pesakitan,
sementara detak jarum jam begitu perlahan,
permainkan degub jantung kita....

Pengembaraan kita, adalah nada
rangkaian dari irama telapak kaki yang menghentak bumi,
juga angin yang mengiris helaian rambut mimpi....

Jika lelah datang menggoyah langkah,
bersegeralah mencari cinta untuk teman beristirah.

Cintailah sesaat demi sesaat.

Jumat, 24 Oktober 2014

15 tahun kita di awal tahun 1436 hijriyah

Hidup memang perjalanan. Skemanya sederhana. Dari satu titik ke titik yang lain. Muda lalu tua, kuat lalu melemah, senggang lalu sibuk, hidup lalu mati....

Dan penilaian atas kualitas hidup itu pada prosesnya. Dengan apa kita mengisinya, begitu juga dengan cara bagaimana. Perubahan adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita berubah, dan berubah menjadi apa itu masalahnya. Kesalahan menentukan arah dan cara meraihnya itu bisa menjerumuskan kita dalam duka yang berkepanjangan.

Pesan ini sebenarnya terbaca dalam kisah perjalanan Hijrah Nabi SAW. Alasan hijrah adalah pertahankan eksistensi dakwah, pemilihan kota tujuan adalah berdasar pada pertimbangan panjang dan petunjuk dari Tuhannya. Juga cara berhijrah dengan strategi yang matang. Banyak ibroh dari kisah ini.

Demikian halnya perjalanan pernikahan kita. Usia pernikahan yang ke-15 ini bertepatan dengan 1 Muharom, tahun baru hijriyah. Pernikahan adalah perjalanan. Proses interaksi yang berkelanjutan. Menjadi pasangan hidupmu itu adalah anugrah yang selalu aku syukuri di setiap hari. Bagaimana tidak, jika sampai dengan saat ini aku tak menemukan satu pun alasan untuk mengatakan "sebel" atas apapun yang kau lakukan. Caramu membuatku bahagia demikian tertata dan terencana. Aku sangat menikmatinya.

Namun rasa syukur memilikimu, menimbulkan kekhawatiranku tak dapat membalasnya dengan sepadan. Aku sering tak peka membaca gerak hatimu, sehingga melukaimu tanpa kusengaja. Juga banyak hal yang menjadi harapanmu untukku belum dapat aku lakukan. Hiks....

Padahal 15 tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Semestinya buku tentangmu sudah kukhatamkan berulang kali.

Dan di pernikahan ke-15 ini, usiaku jelang ke-40, batas usia penting dalam kehidupan manusia. Mestinya ini usia kematangan, saat yang menentukan. Kesalahan di tahun-tahun ini bisa sangat menentukan di sisa umurku nanti. Karena di usia ini, karakter seseorang sudah semakin sulit untuk diubah.

Dik, hari ini, aku mengucapkan terima kasih yang mendalam atas pelayanan dan perhatian yang luar biasa darimu. Namun di hari ini juga, aku harus mengakui demikian banyak kesalahan dalam menjalani peranku sebagai suami, sebagai kepala keluarga, sebagai imam-mu, karena itu... maafkan aku, sungguh pemberian maafmu aku butuhkan, untuk menjadi energi perbaikan. Harapanku: 15 tahun pernikahan ini, juga 40 tahun hidupku ini menjadi titik tolak perubahan untuk menjadi suami, kepala keluarga, ayah, dan manusia yang lebih baik. Maafkan aku, dik.

25 Oktober 2014- 1 Muharom 1436

Selasa, 21 Oktober 2014

tantangan.

seperti percakapan tentang keberanian,
bahwa mencoba sesuatu itu perlu....
walau terbentur dinding karang "serupa janji".

angin kencang kau lawan, itu buahkan tiupan angin segar
dan rambut berkibaran....
perlawanan memang indah pada akhirnya.

apa yang menjadi energinya?
mungkin tantangan;
serupa pertaruhan yang menyenangkan.

kekalahan yang kuakui,
ternyata bagimu adalah kemenanganku atas ketakutanku.

Agh.

Jumat, 17 Oktober 2014

Sesaat setelah melayat.

Dalam tiga hari ini, ada empat berita duka di sekitar rumahku.

Dan selalu saja, dalam setiap se-saat setelah pergi melayat, aku rindu untuk kembali membaca puisi ini. Puisi tentang kematian yang semakin akrab.

DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Oleh :
Subagio Sastrowardoyo

...
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
dimana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
masih dikenal raut muka
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan kematian makin akrab
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit -

Rabu, 08 Oktober 2014

something to nothing?

Dari sesuatu menjadi bukan apa-apa. Adalah ungkapan tentang proses kehilangan makna. Entahlah.... mungkinkah hilang? Atau sekedar perubahan wujud? Bukankah air tak lalu hilang saat berubah menjadi uap, lalu menyatu dengan awan, dan pada akhirnya akan kembali turun ke bumi sebagai hujan.

Mungkin tak ada yang lalu moksa, sirna, atau raib.... hanya mengada sebagai wujud yang lain.

Apakah sunyi lalu berubah gaduh itu maka sunyi menepi, memberi ruang pada kegaduhan, atau sunyi dalam wujud lain itu adalah kegaduhan? Sebagai interlude dalam sebuah lagu, selalu ada jeda di setiap birama.

Mungkin juga kita.

Adalah birama yang menyediakan jeda berupa interlude, yang melengkapi irama. Karena bagaimana mugkin ada irama, jika tak ada jeda. Bukankah irama itu rangkaian jeda-jeda yang berulang secara indah.... mungkin indahnya karena pengulangannya serupa dengan detak jantung kita, atau bisa juga karena jeda itu serupa sapuan buih di pantai yang ajeg, atau serupa dengan senyummu yang datang berulang di setiap rangkaian hari?

Mungkin saja ini tentang kita. Tapi entahlah.

terbang

Ayo, aku ajari kau terbang
Tapi mana sayapnya?
Bukankah tak ada terbang tanpa kepakan, dan tak ada kepakan tanpa sayap?
Bagaimana mungkin?

Ayo, percaya sajalah
Terbangnya kita berbeda dg terbangnya unggas, ini tentang mengambang di awan.
Adalah dengan mengisi penuh benak, biarkan hingga menggelembung..... biarkan mimpi menjadi bahan bakar, dan senyap menjadi kepakan sayap.
Cobalah....

Baiklah, kurelakan segenapku padamu....
Hasratku kubiar terkapar dalam harapan palsumu, dan rinduku tergugu tanpa malu. Bisu.

Ayo, segeralah bersiap melayang, karena ruang mulai menghilang...
Dan perkara atas bawah menjadi raib, senyummu....
Senyumku....
Moksa dalam cahaya perak.

Luluh.
Tumbuh.
Tumbuh.
Larut dalam jenuh.
Mempekat.

akar dan tunas Rasa

memerdekakan rasa adalah cela, bagi akal si penguasa
tak ingin rasa yang berjaya
kuasai gerak hati dan isi bumi

lalu ingin basuh jelaga di dahi
tapi enggan usir mimpi
terlalu indah diabai
terlalu mempesona ntuk diratapi

memenjarakan rasa adalah curiga yang abadi
bagi si akal yang pongah
melangkah gagah injak-injak akarnya

dan tunas meronta
tumbuh dan
tumbuh.

Selasa, 07 Oktober 2014

Kopi Sepi

... dan angin berdendang saja di telinga

melangkah adalah kata kerja
yang pantas dilekatkan dalam pagi

karena waktu berloncatan
ide berlinangan menetes saja
menjadi genangan di cawan hari

... dan angin menari di retina mata

menenggak kopi sepi adalah rima
dari cengkerama pagi yang menepi
menjadi parameng kawi mimpi

... dan angin menemani hari di liang sunyi

padahal gempita
padahal cuaca meradang
padahal gemuruh mengeluh

... dan angin aku sapih, kubiarkan dalam lipatan lengan bajuku.

Selasa, 16 September 2014

#entah yang marah

Kenyataan yang dipertontonkan di media menjadi terlalu sering mengecewakan, bagaimana tidak... saat pencitraan menjadi begitu dominan. Seolah setiap tokoh cerita dalam berita itu menjadi punakawan yang petakilan, sebagian lain menjadi Sengkuni yang tega jilat pantat panci yang gosong oleh dusta yang menyemesta. Sementara yang masih ingin bertahan perjuangkan idealismenya justru diberangus, dengan jebakan media dan prosedur yang melecehkan substansi dan mengagungkan formalitas belaka.

Dunia macam apa ini, saat kejujuran menjadi kehilangan birama. Setiap yang mencoba jujur menjadi Fals, menjadi sumbang. Lalu penonton sepontan melototinya, bahkan beberapa ada yang melemparinya dengan botol kosong. Ah... menyedihkan.

Aku khawatir jika aku teruskan tetap berdiri jadi penonton, aku bisa kehilangan kendali. Menjadi liar karena marah yang frustasi, atau mendadak bego plonga plongo saksikan kebenaran dikebiri tanpa bisa berbuat apa apa. Dan sang Sengkuni lah yang petentengan di atas panggung, seolah semua kebenaran bermuara di dirinya. Tunjuk sana tunjuk sini, seolah semua rela mematuhinya. Padahal rasa terpaksa itu memang tak akan nampak di permukaan. Jika terlihat, bukan senapan yang digunakan untuk mengakhiri hidup para pembangkang itu, melainkan dengan kekuatan fitnah yang beruntun segera mendera. Hingga luluh lantak kehilangan harga diri. Lelakon hidup memang terlihat lebih beradab dibanding pendahulunya yang sering main tembak, namun bukankah "Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan?"

Mungkin kita sudah sedemikian keji. Menebar hal yang lebih dari pembunuhan itu ke pelosok negeri. Juga mengunyah daging bangsanya sendiri, saat asyek bercengkerama dalam gunjing yang berkesinambungan.

Agh, mengapa tulisanku hari ini menjadi penuh kemarahan....

Daripada memaki kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Hmmmm....

Baiklah, aku mulai nyalakan lilin di sini. Di dalam diri. Nyala lilinnya adalah kenikmatan dalam sepi. Menjauh carut marut popularitas. Bersihkan diri dari gairah untuk mendapatkan pujian dan citra dari manusia. Seperti kata Tuhan.... "Bekerjalah, cukuplah Alloh dan Rosul-Nya yang melihatmu bekerja."

Wallohu A'lam.

Senin, 11 Agustus 2014

jaga hati

Ternyata serangan itu datang dari perasaan nyaman saat menerima pujian. Sulit mengingkari bahwa pujian itu nikmat dan indah. Terkadang kita berdalih sebagai motivasi.

Benar kata ustadz, saat terima pujian ingatlah kalimat Hamdalah, bahwa pujian hanya milik Alloh. Jangan pikul pujian itu sendirian, ia akan jadi beban, semakin lama semakin berat. Suatu hari bisa rubuhkan kita. Mungkin ini jawaban mengapa banyak tokoh terjerembab justru pada saat banyak pujian yang ia terima. Jika mendapatkan pujian segeralah kirim ke Alloh, segala puji untuk-Nya, agar ringan langkah kita.

Bersyukurlah saat prestasi kita tersembunyi, karena itu berarti terselamatkannya kita dari godaan pujian.

Jika pujian itu pintu serangan, bisa jadi cacian dan hinaan itu justru pil pahit yang menyehatkan. Penolakan atas cacian dan hinaan, mungkin seperti melepeh pil itu, tak lagi pahit, namun kita kehilangan kesempatan untuk sembuh. Penolakan atas hinaan itu biasanya dengan dalih nama baik, mungkin angapan orang lain atas diri kita ini terlalu penting. Padahal bisa jadi ini jebakan, sehingga kita tak pernah dapat hikmah dari cacian dan hinaan itu.

Cobalah nikmati rasanya. Cacian itu seperti gelombang radar yang membentur objek, benturan itu perlu untuk menangkap pesannya.
Bagaimana cara menikmati cacian dan hinaan? Entahlah. Tapi bisa diawali dengan kalimat ini: "kita mungkin memang pantas mendapatkannya".

Mengapa kita tak pantas dicaci dan dihina, sementara banyak para nabi dan orang suci  pun mendapatkannya? Tak perlu terluka.

Jumat, 04 Juli 2014

mas Joko di mataku....

Awalnya memang sepak ternjangnya mengagumkan. Terlihat sangat merakyat, dekat dan hangat. Penampilannya sederhana. Komunikasi bagus, beda. Kata-katanya tak banyak bumbu. Terlihat informal. Cengengesan. Dengan cepat aku putuskan, aku menyukainya. Lalu dimulailah petualanganku di dunia maya, berburu berita tentangnya. Dan memang banyak sekali informasi tentangnya. Hampir semua "Youtube" tentangnya aku tonton. Pernah suatu malam, aku menontonnya sampai fajar tiba. Perjalanan yang memukau, dari walikota Solo hingga jadi Gubernur DKI Jakarta.

Perlahan-lahan kekaguman itu berubah. Awalnya memang dari perbincangan dengan beberapa teman yang aktif di pemda tempat dia berdinas. Agak kaget juga, ternyata justru di internal cerita tentang dia berbeda. Aku pikir, mungkin temanku ini masih belum siap direformasi sementara pak Gubernur sudah berubah paradigmanya tentang birokrasi. Namun hasil perbincangan itu lah yang memancing aku belajar lebih jauh tentang cara ia memimpin organisasi. Ternyata memang tak banyak janji-janji politik waktu itu yang saat ini sudah dibuktikan.

Apalagi setelah ada beberapa informasi tentang proyek pencitraan dari orang-orang di belakang dia. Awalnya pun aku menyangkal, jika memang ada yang bermain di belakang dia tapi tak akan jadi jika sosok dia secara pribadi tidak mendukung. Jadi ingat teori Kapasitas dan Performance. Semestinya Performance itu dibangun dari kapasitas diri, bukan sebaliknya performance dibuat untuk memoles kapasitas diri.

Semuanya mulai nampak jelang pilpres. Banyak hal yang terkesan dipaksakan. Bagaimana cara dia menggampangkan masalah ekonomi dengan sekedar kartu. Secara ilmu marketing itu menjual, memukau rakyat kecil. Tapi tidak mendewasakan masyarakat kita. Masalah anggaran seperti dikesampingkan. Seolah-olah keuangan negara kita tidak ada masalah. Padahal pembagian kartu sehat di Jakarta saja sudah menimbulkan banyak masalah.

Menurutku dia memang hebat sebagai manajer penyelia. Manajer pengawas. Mandor. Kemampuan dia dalam mengawasi kinerja patut diacungin jempol. Walaupun blusukan itu sebenarnya indikasi tidak sehatnya hubungan atasan dan bawahan. Karena mencerminkan ketidakpercayaan atasan terhadap bawahan. Jika bicara level strategik rasanya (maaf) dia sering terlihat terlalu naif.

Entahlah.... tapi ada satu pelajaran berharga. Bahwa, perubahan memang tak bisa kita titipkan pada sosok artis yang hanya hebat untuk dicitrakan saja. Kita butuh perubahan yang sistematik. Jika dia menang dalam pilpres ini, akan seru secara dramatis... seolah-olah ada tokoh yang terlahir dari rakyat, dan muncul memimpin negeri. Terlihat keren, padahal justru akan berbahaya. Karena kemenangan itu hanya membuktikan bahwa sistem bisa kalah oleh aksi-aksi spontan. Aksi pencitraan itu terbukti berhasil, mengapa harus katakan tak ada bagi-bagi kursi padahal di belakang justru berebut dengan cara yang aneh. Mengapa juga harus berpura-pura "ora mikir" namun ternyata tetap maju juga dalam pencalonan. Mengapa harus pilih solusi kartu-kartu yang kenyataannya akan menjerumuskan kita dalam kebangkrutan, hanya demi langkah yang terlihat sok pahlawan di mata rakyat kecil....

Bisa jadi cara pandang mikroskopik yang terbiasa "Zoom in" menyorot sudut-sudut sempit saja, akan membawa bangsa ini membentur-bentur, menabrak dan mungkin saja terjatuh dalam kubangan kesalahan yang sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

Entahlah.....

Jumat, 27 Juni 2014

Ramadhan tahun ini, tanpa bapak....

Ramadhan tahun ini adalah ramadhan pertama tanpa bapak. Jadi ingin menulis tentang bapak. Betapa banyak pelajaran darinya.

Bapak adalah seorang ideolog, warga muhammadiyah biasa namun sangat teguh memegang prinsip organisasi. Bahkan berhenti merokoknya pun karena fatwa haram rokok dari Muhammadiyah.

Bapak adalah lelaki cerdas, berfikir taktis, praktis, namun juga siap saja jika harus ber-strategis. Seorang pendidik yang meletakkan nalar dan logika dasar sebagai pilar belajar. Belajar bersamanya, kami jadi mudah memahami epistimologi. Spirit dari belajar. Mampu membuat aku merasakan demikian indahnya belajar. Belajar itu (saat itu) seperti berdiri di puncak gunung, dengan pemandangan yang indah, tatapan luas, dan udara segar. Teramat menyukai belajar hingga nyaris tak pedulikan nilai ujian. Yang penting belajar. Bapaklah yang mengajarkan untuk tetap mendengarkan pelajaran dari depan kelas, walaupun diusir guru keluar kelas. Atau menikmati saja saat dihukum berdiri di depan kelas, yang penting tetap ikut belajar. Bapak marah besar saat seorang kakak disuruh pulang hanya karena lupa membawa dasi. "Apakah karena dasi kita harus kehilangan kesempatan untuk belajar?"

Bapak adalah seorang rekan diskusi yang asyik, bisa berbincang dengan kami hingga ganti hari. Sangat egaliter dalam berbincang. Bahkan kami pernah berbeda pendapat, sampai aku harus membanting gelas. Belajar darinya kami jadi mengerti betul tabiat diskusi yang efektif untuk menangkap makna dan pemahaman.

Bapak juga seorang sahabat yang hangat saat dekat dan selalu paham apa yg tersirat. Seperti saat aku demikian suka bermain panah, lalu membuat panah dari bambu, suatu hari aku kehilangan panahku, bapak hanya tersenyum sambil menunjuk panah besar dan kokoh yang dipajang rapih di dinding rumah. Dengan tali busur yang indah dan terikat rapi. Dia membuatkannya untukku. Aku sangat bahagia. Bapak juga yang rela melobangi lantai rumah untuk membuat lubang golf, dan membuat stick golf dengan patahan kaki kursi. Kami merasa diistimewakan.

Bapak adalah seorang yang berhati hati saat ada hak orang lain masuk ke kantongnya, namun sebaliknya sangat mudah merelakan saat ada hak dia yang terampas orang lain. Pernah seperangkat sound system yang kami yakin dia sangat menyukainya, tiba-tiba dia berikan kepada seorang kerabat, hanya karena dia memintanya. Dia memang lelaki baik yang dengan ringan memberikan barang yang disukainya kepada orang yang lebih membutuhkan.

Bapak pernah rela berjalan berkilo-kilo hanya untuk memberikan kelebihan uang kembalian, ia takut menjadi dholim atas hak orang. Padahal saat itu, kami sedang di Jakarta, dan untuk mencari warung tempat kami harus kembalikan uang kembalian itu kami harus bertanya-tanya dan berjalan kaki karena tak dilewati angkutan umum.

Suatu hari saat hari penerimaan raportku, bapak ke sekolah dengan pakaian rapi. Seingatku waktu itu dia kenakan sepatu, hal yang jarang dia lakukan. Di perjalanan, kami temui parit samping jalan meluap, kami turun dari angkot, bapak segera melepas sepatunya, lalu masuk ke parit untuk mengangkat sampah dan batu yang membuat air meluap. Cukup lama. Aku sempat khawatir akan terlambat ke sekolah. Setelah dewasa, baru paham. Ini tentang fiqh Auliyat. Skala prioritas. Dan masyarakat/ummat selalu ditempatkan bapak di posisi yang utama.

Tentang waktu untuk masyarakat, jadi ingat, bahwa bapak adalah pak RT terlama. Entah sudah puluhan tahun menjadi pamong masyarakat. Rumah kami sudah lama nyaris kehiangan aura privacy. Siapa pun akan merasa nyaman keluar masuk rumah ini. Bahkan pernah, saat kami berbincang di ruang tamu, seorang yang entah gila atau pengemis masuk dari pintu depan, lalu bablas ke pintu belakang. Kami hanya berpandangan... "Lho tadi siapa ya?"

Bapak. Bagaimana pun juga, kami pasti rindu. Ramadhan tahun ini kami jalani tanpamu di rumah ini.

Selasa, 17 Juni 2014

Balada Wo dan Wi,

Setelah menonton serius debat itu, ternyata memang tak ada benturan, apalagi percikan.
Benturan tidak terjadi karena keduanya memang beda pandang.
Mungkin Wo seperti bunyinya mewakili cara pandang yang lebih luas. MakrO. Sedang Wi itu taktis dan teknis. MIkro.
Wo itu zoom out, Wi itu zoom in. Dengan Wo kita dapat melihat berapa tanah pertanian yang belum tergarap. Dengan Wi kita bicara kartu.
Dengan Wo sang pelatih mengukur lemah kuatnya lawan lalu tetapkan strategi, dengan Wi asisten pelatih pastikan cidera pemain tak mengganggu.
Wo dan Wi semestinya tak perlu kita adu, karena mereka bisa saling isi. Wo strategis Wi itu teknis.
Dengan Wo kita bicara mau kemana, dengan Wi kita bicara bagaimana kita ke sana. Wo butuh Wi, demikian juga Wi tanpa Wo pasti kesasar.
Wo itu pemimpin, gaya kepala keluarga, orientasi pada pendapatan. Wi itu operator, gaya ibu rumah tangga fokus pada teknis.

Kamis, 12 Juni 2014

#filosenja //catatan di perjalanan pulang kantor

Menunggu APTB, saat tepat berbagi isi hati. Yang terfikir saat ini adalah tentang fitrah air yang bergerak menghindar saat hendak bertubrukan dengan material lain. Seperti kita mungkin juga lebih bijak menghindar daripada membentur. Lebih hemat energi. Selain itu, memilih menghindar itu lebih aman dari godaan kesombongan. Karena bisa jadi keberanian untuk membentur itu buah dari benih kesombongan dalam hati kita. Menghindar memang miskin pujian, dibanding dengan keberanian untuk membentur, namun ini lebih sedikit memakan korban. Bahkan terkadang memilih menghindar bisa memicu cemooh. Tapi itu memang risiko, yang mungkin lebih baik dibanding dengan jumlah mereka yang terluka sebab oleh benturan.

Kesombongan itu bahaya yang dapat menggerus hati. Dengan kemasan percaya diri abaikan unsur kehati-hatian. Analisa SWOT bisa untuk menghindarinya. Bongkar diri, ukur kapasitas kita, seberapa tangguh hadapi tekanan, lalu mulailah membangun sistem pengendalian diri. Dengan rajin menilai secara objektif kapasitas diri, selain kita dapat membangun sistem pengendalian yg rapi, juga dapat tetap terjaga dari benih kesombongan.

Entahlah.....

Rabu, 11 Juni 2014

Sopir vs Mandor

Ada yang bilang, saat macet di tol ikuti saja bis besar. Karena sopirnya punya ruang pandang yang lebih jauh daripada kendaraan kecil. Cara pandang yang jauh ke depan membuat sopir lebih tahu mana jalur yang lebih macet mana yang lebih lancar. Demikianlah pemimpin, visinya harus luas dan jauh ke depan. Sehingga tepat mengukur hambatan di masa depan, juga potensi bangsanya. Pandangan yang lebih luas dan lebih jauh membuat semua jadi lebih terencana, juga lebih optimis jalani program. Tidak picik dan parsial dalam memandang satu masalah.

Pemimpin yang visioner itu mengarahkan yang dipimpinnya ke arah yang sesuai visi. Dia butuh mandor yang mengawasi. Mandor sang manajer pengawasan itulah yang bertugas blusukan, memastikan program sang pemimpin masih berjalan sesuai visi. Memang kita semua pemimpin, sesuai kapasitasnya. Kapasitas mandor tetaplah dibutuhkan di level manajer penyelia. Namun di posisi tertinggi tetaplah ia yang memiliki visi yang jauh dan strategik bukan sekedar mandor pengawas yang teknis dan mikroskopik.

Minggu, 08 Juni 2014

Ruang Dalam dan Luar Ruang.

Pertempuran itu memang di semua lini. Ruang dalam juga luar ruang. Privat juga publik. Semua memang berawal dari dalam. Liang hati. Ikhlas. Niat yg benar. Kesalahan di titik ini akan fatal pada akhirnya. Awalnya benar pun tak lalu akan mulus perjalanannya. Ada goda berupa keserakahan dan nikmat sesaat. Terkadang pintu kecil masalah itu hanya dari keisengan. Kehausan akan kebahagian remeh yang bisa melupakan kebahagian besar. Pada akhirnya nalar yang terjaga, juga hati yang sering tercuci air mata yang dapat menjaga pagar agar tak rubuh. Karena pesona ranjau itu terlalu indah untuk diabaikan, dan gelora ingin tahu terkadang justru membutakan. Saat gelora teramat kuat menampar karang jiwa, maka berpegangan pada sauh sepi bisa jadi solusi. Biarkan sunyi larutkan diri. Biarkan keheningan itu yang membimbing. Menjadi lentera, usir kegusaran dan hasrat untuk bergegas nikmat itu.

Namun memang tak selamanya nalar bisa tetap jadi tempat bersandar. Karena ia karam oleh nafsu dan ambisi. Saat sepi tak mampu lindungi nalar, maka mulailah segera berbincang. Diskusikan saja, analisa SWOT tentang diri. Terbukalah. Karena nalar memang butuh berdialog. Karena menangkap makna seperti menangkap benda, lebih mudah dg banyak jari. Menangkap dg banyak jari itu serupa memahami sesuatu dengan banyak cara pandang. Ini hebatnya tanya jawab.

Jika nalar lebih nyaman dalam bincang, hati yang bersih bisa jadi sedikit beda. Ia butuh lebih banyak dalam ruang yang sepi. Karenanya banyak tokoh bahkan para nabi yang mengawali kenabiannya dengan menepi dalam sepi. Dalam sepi, bercakapan kita lebih pada diri. Perenungan. Seperti proses pengolaan data dalam komputer. Jika perenungan itu pengolahan data, maka informasi yang diolah adalah hasil dari apapun yang tertangkap oleh indra. Seperti input data. Dalam sepi kita bisa bersihkan hati dengan berbanyak air mata. Dari mata air penyesalan, kesadaran, juga cinta. Basahi sepi dengan kening berkerut. Jangan biarkan nalar mati karena iseng yang memimpin. Pastikan terus berpikir. Jika pun ada tawa itu bukan karena kematian akal sehat. Justru sebaliknya tawa yang jadi bukti bahwa nalar masih ada. Begitu juga dengan air mata, adalah sebagai sarana penyucian hati yang tersengaja, bukan air mata lebay dan gairah pencitraan saja.

Entahlah....

Kamis, 05 Juni 2014

#kicau sore

Menunggu APTB. Penuh sesak. Jadi pingin ber#kicausore tentang Gerah.
Gerah itu Gelisah dan resah. Mewakili perasaan ibu-ibu yang resah karena balitanya rewel di tengah himpitan penumpang
Gelisah para penumpang sore ini bisa saja tentang tugas-tugas esok hari. Bayangkan belum juga berhasil pulang sudah tersiksa oleh bayangan hari esok
Seakan hari hanyalah rangkaian gelisah ke gelisah yang lain. Betapa tidak bahagianya. Dan ketenangan menjadi kemewahan.
Mungkin jalan bahagia itu pada kepandaian kita menikmati semua proses itu. Karena hidup memang permainan.
Permainan menjadi menyiksa saat hati dipenuhi obsesi kemenangan. Akan berbeda saat kita fokus pada indahnya permainan.
Mungkin sesekali kita kembali belajar dari anak-anak yang masih jernih melihat kebahagiaan-kebahagiaan yang sederhana itu.

.....

Rabu, 04 Juni 2014

Masih Tentang Pagi

Pagi itu memomPa enerGi, saatnya kumpulkan energi untuk jalani hari ini. Kumpulkan inspirasi pagi yang terserak di setiap peristiwa sekitar kita. Wajah ceria anak berangkat sekolah, juga semangat loper koran saat melempar koran ke rumah pelanggan itu inspirasi. Juga matahari yang tak bosan hangatkan dunia walau kadang harus bertarung dengan mendung adalah juga sumber semangat pagi kita.

Pagi bisa juga Padu dalam sinerGi. Adalah rangkaian energi yang berlompatan dalam birama yang sama. Energi yang tercipta dari gesekan antara semangat satu dengan yang lainnya hingga jadi percikan semangat baru. Bicara tentang Sinergi itu bicara tentang kelenturan yang dibutuhkan untuk kurangi efek kerusakan dari benturan yang tak terhindarkan. Mengapa tak terhindarkan? itu karena masing-masing sudah terbangun karakter yang kuat. Jadi pastilah ada beda yang bisa dibenturkan. Karena itulah kita butuh kelenturan. Kita harus paham seberapa kuat daya lentur kita, karena jika salah menghitungnya bisa fatal. Salah mengukur daya lentur saat hadapi angin bisa berakibat patah bambu jiwa kita...

Pagi itu memomPa enerGi, juga Padu dalam sinerGi, bisa juga sekedar menyaPa laGi. Terkesan sekedar "manyaPa laGi" padahal ini justru spiritualistik. Karena ada kata "laGi" bermakna pengulangan. Dalam pagi kita mengulang sapaan, mengulang kebahagiaan, mengulang semangat. Padahal tak ada yang bisa menjamin bahwa pagi ini bukan pagi terakhir kita. Jadi semestinya di setiap pagi kita bersyukur.

Bersyukur bahwa Dia masih beri kesempatan kita bisa nikmati pagi ini.
SemĂ ngat pagi. 
Semoga jadi energi kebaikan di hari ini.

Minggu, 01 Juni 2014

#Siang

Berlarian siang seperti berlomba,
enggan mendapat gelar pecundang......

Melepas lalu menangkap seperti nada yg dimainkan,
kenikmatannya pada interlude; kadang.

Saat terik pun terkadang gulita pada hilangnya kesadaran,
karena tanggul itu harus segera dialirkan

Bagaimana akan kau beri makna, pada siang yg kerontang ini?
Pertaubatan atau kesadaran akan kelemahan diri?

Seperti ajakan untuk memainkan bisikan sebagai alunan senandung kesedihan,
pada cahaya yg terlalu terang, pada hening yg tiba-tiba.

Entahlah...

Jumat, 30 Mei 2014

nDalang Sore - Lelakon Sengkuni nDalang -

Ketika sengkuni keluar dari layar, lalu rebut kekuasaan dalang...
kepura-puraan pun menjadi arus utama, dan dusta menyemesta
Seperti cinta yang kehilangan pegangan, terseret oleh dengki juga ambisi, tertatih tatih nyaris tersuruk.
bagaimana tidak, jika kata-kata mencercau di semua media. Padahal dusta, padahal jelas pura-puranya, pembaca dan pemirsa ndomblong
mana berita mana cerita tak lagi beda. Blaik! mending menatap langit senja saja. Muak dengan topeng itu....
arus utama sudah mulai kotor, tak lagi jelas ke hilir yang mana. Mungkin memang saatnya beranjak, keluar dari lumpur jijik ini.
Bersama senja, semua menjadi semakin nampak jelas. Bahwa ini polah sengkuni yang menjelma jadi dalang. Terlihat senyum jahat dibalik topeng.

Yang tersisa hanya rapal doa, benamkan mereka saja ya Tuhan dalam lubang gelapmu, agar langit kembali terang

#nDalangSore

Jumat, 16 Mei 2014

Lelakon (yang antiklimaks)

Diawali dari lelakon yang harum tingkah polahnya, membuat terpukau kuli tinta dan media, penggemar menghamba dengan cara nan lebay;
asyik ia menari laksana peri atau bidadari, tebar pesona, lakukan hal-hal yang aneh di kalangan warga dunia yang kotor;
siapa sangka, bila kemudian terlihat ada luka menganga di balik jubah pencitraannya. Luka dari sabetan belati ibunya sendiri;
Luka yang memanjang juga dalam, merobek hingga nurani. Keindahan hati terciderai haus akan kuasa, dan lapar oleh harta, juga puja;
si dia kini memakai topeng "datar". Sembunyikan luka itu. Senyumnya adalah perih, tawanya adalah sumbang, ia hanya petugas saja;
Lihat saja nanti, pada puncaknya ia hanya akan menjadi temanten mendampingi sosok ceria tanpa makna. Sang ratu pura-pura. agh! #lelakon

Jumat, 25 April 2014

Mencatat Kisah Kita...

Menjalani hidup itu mungkin seperti menyusun sebuah buku. Karena sepanjang hari kita memang hanya sedang mencatat kisah hidup kita, dan kelak akan kita serahkan kepada-Nya di hari akhir.

Bagaimana kehidupan kita dimulai, dan itu adalah saat tombol "nalar" dalam akal sehat kita mulai dinyalakan. Dimulailah, serangkaian pilihan-pilihan hidup. Seringkali kita salah memilih, lalu kita harus kebingungan dihadapkan pilihan yang lebih sulit karena kesalahan pilihan kita itu.

Teringat kapan pertama dusta itu kita lakukan, saat kita belajar bagaimana menyembunyikan kesalahan dalam kepura-puraan, terkadang dalam diam, bahkan pernah juga kita sembunyikan kesalahan itu dalam berita yang tak benar (kebohongan). 

Kapankah pertama kali kita lakukan pelanggaran atas hak orang lain? entahlah. Tapi yang masih teringat saat duduk di kelas I SD, pernah aku patahkan pensil temanku... namanya Islamiyati. Dia hampir saja menangis, padahal aku melakukannya hanya untuk membuktikan aku berani dihadapan teman-temanku. Agh, jika ada kesempatan aku harus meminta maaf padanya.

Selanjutnya begitu banyak kekeliruan dan kesalahan yang kita lakukan. Seperti barisan masalah yang minta pertanggungjawaban kita. 

Semua kesalahan itu tercatat. Tertulis dalam kisah kita. Menjadi luka. Sebenarnya kata maaf bisa menghapusnya, dan melanjutkan dengan kebaikan-kebaikan itu bisa menyembuhkannya. Ini tentang siklus Taubat = Kesalahan - kesadaran - penyesalan - permohonan maaf - perbuatan baik.

Idealnya memang, sesuai siklus Taubat itulah kisah hidup kita catatkan. Sehingga, saat kita menyerahkan kepada-Nya, kita masih bisa tersenyum.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...