Senin, 30 Januari 2017

tak berpihak

Janin malam menggumpal di langit gelap,
Perlahan meliuk mengunyah sisa cahaya mentari,
Langit merah tersudut.
Menepi di ujung cakrawala....

Pada tawa mana aku tawan kan kecewa,
Pada warta mana aku candai luka
Tak ada alasan
Tak ada hujjah
Semestinya tak ada.

Pengingkaran.
Mengapa pula api kecil itu tak kau akui, mengapa juga percikan bara ini tak kau iyakan...

Mungkin ini tentang gempita harga diri,
Bangunan tanpa sebab yang terlahir dari umur yang menimbun.
Padahal tua tak lalu pasti dewasa bukan?

Sepertiku di depanmu, membocah tanpa malu.

Dan bocah tua itu, duduk di meja makan dalam senja.
Sajian makan dan secangkir kopi hitam. Serupa americano kita dulu, namun ini beda.
Karena detik menyendiri kini, terhimpit di sela jarum menit dan jarum jam.

Seharusnya tersadar, bahwa jam menit dan detik tak berpihak padaku, pada rasa yang usang....
Timbun sajalah dulu...

Dan aku melengkung bungkuk, menahan beban yang nyaris meledak.

Bekasi, 22/01/2017
Poetoe

Jumat, 20 Januari 2017

main Werewolf,

Permainan. Hidup ini permainan. Fakta seolah gelombang, persepsi adalah angin dan badai. Sedang kita terombang ambing dalam bahtera diri. Kecakapan kita mengelola kata dan sikap adalah penentu selamatnya kita.

Kebimbangan bisa mencelakai. Kesalahan menentukan pilihan bisa membunuh kita. Semua sangat dipengaruhi oleh kemampuan kita membaca tanda. Mengolah bukti dan fakta. Dan keputusan kita pun bisa jadi sia sia saat kita salah dalam memilih kesempatan.

Demikianlah, dalam senja kita duduk melingkar, belajar tentang ombak, tentang buih, tentang angin, dan kerasnya karang.

Pancoran, werewolf community
18/01/2017
Poetoe.

Selasa, 17 Januari 2017

cukup

Jika cerdas itu kecepatan untuk memahami sesuatu, maka tersadar aku tak cukup cerdas.

Karena demikian panjang waktu belajarku, untuk sekedar memahami makna satu kata "cukup".

Butuh perjalanan yang melelahkan, hingga beberapa topeng harus ku kenakan, beberapa teori aku kumpulkan lalu formulanya aku coba namun akhirnya tetap saja aku nafikan.

Demikian, kata "cukup" itu aku pahami, lalu aku bisikkan berulang ulang. Karena takut aku terlupa untuk hentikan langkah di saat yang tepat.

Dulu kupikir bergerak adalah hal tersulit, karena butuh terbantainya kemalasan di tepi jendela jiwa. Ternyata berhenti itu lebih sulit. Ada keengganan, bayangan kerinduan, ketakutan akan sunyi, dan banyak hal lain.

Apapun, aku tetap coba berhenti. Saat ini.

Bekasi, tengah malam 18/01/2017
Poetoe

Jumat, 06 Januari 2017

Idealis.

Skema pertarungan di dunia ini memang sederhana, kebenaran lawan kebathilan, malaikat lawan setan.

Manusia di antara dua pihak itu, terkadang terlempar dalam dosa bersama syetan, terkadang dalam ketenangan berselimut petunjuk dan hidayah-Nya dijaga malaikat.

Pagi dalam gemetar dosa, siang duduk di shaf terdepan tergugu sesal dalam rapal doa dan istighfar. Begitulah, seperti nada yang meliuk tajam dalam ruas birama.

Seperti siang yang terik, dan memesan menu makan siang yang bukan karena lezatnya rasa makanan, namun lebih karena semangat berbagi. Dan perbincangan kita tentang kemenangan ideologi yang tetap berusaha bertahan dalam badai pragmatis dan oportunis.

Bagaimana mengalahkan kebodohan itu dengan keyakinan, bagaimana mengalahkan kemiskinan itu dengan keyakinan. Bahkan saat akhirnya kita dianggap bodoh dan gila oleh sekitar kita.

Idealisme selalu saja memukau, kekuatan cinta atas keyakinan yang mengalahkan ketakutan atas monster dunia yang sejatinya ilusi.

Siang, kita, Dia, terik matahari, dan binar mata yang aku tahu ada air mata yang tertahan.

Indonesia Raya, Awal tahun 2017
Poetoe.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...