Senin, 29 Februari 2016

nadam

Kenyataan adalah kumpulan akibat yang terlahir oleh sebab yang terpilih dari banyaknya kemungkinan di sepanjang hidup. Yang dilarang adalah kita berandai andai kembali memainkan daftar kemungkinan  yang tak jadi dipilih menjadi sebab itu seolah kita masih berhak mengubah kenyataan yang sudah ditetapkan. Seperti menyesali atas takdir yang telah digariskan. Berbeda jika membaca kemungkinan itu dalam konteks fiqh sejarah, mempelajari yang telah terjadi untuk merencanakan masa depan, ini diperkenankan bahkan jika membaca QS Al Hasyr 18 maka itu diperintahkan.

Dan saat menghitung kembali daftar sebab yang telah melahirkan akibat yang menjadi rangkaian kenyataan yang harus aku hadapi, ternyata banyak kebodohan di sana. Betapa bodohnya, jika sedari mula mengenal benar dan salah, aku sudah dipaksa memahami bahwa pilihanku memang keliru, namun kenyataannya tetap saja aku lakukan. Lalu saat tersadar bahwa akibat atas kesalahanku itu demikian membahayakanku dan orang-orang di sekitarku, aku hanya bisa gemetar ketakutan. Ini seperti menyengaja takut dengan menonton film horor, atau menutup telinga sesaat setelah sumbu petasan itu aku nyalakan sendiri. Bodoh.

Dan yang lebih menyedihkan memang, ini seolah sengaja aku nikmati. Seperti menyayat luka di jemari sendiri lalu terpejam nikmati perihnya, tanpa berusaha mencari obat dan menutup luka. Apalagi jika luka itu libatkan orang lain, aih... berdosa sekali aku.

Dan nadam, irama penyesalan itu yang lalu dilantunkan, dengan iringan air mata. Padahal pastilah sesal itu percuma saja, jika tanpa langkah pertaubatan yang sempurna. Nafas berat, ya tarikan nafas berat itu menjadi senandung rutinku, di setiap jeda teduh itu, saat diri aku paksa bersimpuh, abaikan harga diri, rebah saja, hadiri sajian doa dengan kerendahan hati yang teramat rendah. Menunduk dalam, dan semakin dalam.

bakasi - jakarta - bekasi
Februari 2016

Poetoe

Gerimis Mengunyahku

Di luar hujan. Gerimis. Suasana yang aku suka sejak dulu. Sedang di sini, saat gerimis di luar sana itu, aku berdiri resmi di depanmu. Kucoba gunakan senyum dan kalimat sesopan mungkin. Aku sampaikan terima kasih yang mendalam, untukmu, atas perhatian dan kebaikanmu. Bagiku luar biasa. Kau memang serius ekspresikan rasa itu.

Dan di luar memang hujan. Gerimis. Seperti pestanya rintik hujan yang menyerbu bumi. Mereka bernyanyi sambil meluncur deras. Beberapa saat setelah itu aku berlari menikmati iramanya. Kuanggap nadanya iringi detak jantungku. Betapa banyak yang kita mengerti sulit terjadi itu justru kita pilih menjadi keinginan. Betapa banyak waktu yang kita taburkan untuk keinginan keinginan yang rumit itu. Menjadi iri, atas senyum mereka yang putuskan hidup dengan demikian sederhana.  Hidup yang nyaris tanpa keinginan, karena langkah kaki hanyalah "sak dermo ngelakoni".

Memang tak mudah. Terlebih untuk jasad yang seolah hanya nampan yang penuh oleh hasrat dan luapan keinginan saja. Saat diingatkan, kita spontan berdalih ini manusiawi.

Entahlah, mana yang seharusnya mana yang tak seharusnya. Mungkin hidup adalah rangkaian pertanyaan yang berjawab namun lahirkan pertanyaan baru itu.

Di luar, aku menatap langit, membiarkan gerimis mengunyahku. Aku biarkan. Aku biarkan saja.

Di bawah tugu pancoran, senja 12/02/2016
poetoe.

Senja Saja

dan di antara rambu itu kaki berjingkatan
memaknai waktu yang limbung
mana kini mana nanti mana tadi

jadi hempaskan saja nafas beratmu
untuk buktikan bahwa ingatan itu masih mengental di kepala
walau kenangan itu kau siksa dengan duri hari ini
ia bertahan
terseok memang
namun ia bertahan

karena luka lama telah berulang tersayat lagi
jadi dewasalah kita
melampaui sesepuh kita
yang justru meringkuk dalam kekanakannya

tapi sudahlah
memakluminya adalah ujian hidup
semakin cerdas tentu semakin mudah memakluminya
jadi ringan saja abaikan yang pantas terabai
jadi biasa saja mainkan rasa hingga kebas

sini
duduklah di sini
angkat kepalamu
langit senja sedang memandangimu
langit yang sama, yang saat ini juga aku tatap

merah
merah
menggelap.

Senja/cawang, 19/02/2016
poetoe 

Ma'tsurat Senja

Saat terindah, duduk terpejam sejenak selepas doa sehabis solat. Mungkin karena ringan duduk tanpa topeng, tanpa berpura pura, karena untuk apa toh aku sedang duduk di depan Dzat Yang Maha Tahu. Jadi pasrah saja. Relakan semua, letakkan beban, lalu bersandarlah.

Aku mengahadap bersama pengakuan atas dosa dan kelemahan, aku juga mengahadap bersama ikrarku atas pengakuan kenikmatan yang Kau berikan. Keindahannya adalah pada pekatnya gelap yang perlahan terang walau tetap terpejam, aku merayap berharap ridho dan ampunanMu.

Ketidakberdayaanku yang aku jadikan alasan menghiba bantuan dan pertolongan. Aku membutuhkanMu, aku sangat membutuhkanMu.  Suluh aku dengan petunjukMu, angkat masalahku, sungguh Engkau lah sang Maha Pemberi Solusi.

Aamin.

senja di Al Hikmah, 19/02/2016
poetoe...

Lelaki Senja

Ini tentang seorang yang duduk di pinggir jalan layang, saat orang-orang lalu lalang pulang kerja. Entah apa yang ia pikirkan. Mukanya datar, tak terbaca sedang marah atau bahagia. Yang nampak dari garis wajahnya adalah ia sedang berpikir. Entah berpikir apa.

Senja ia nikmati. Bersama aroma jalanan ia hayati. Tatap matanya tak fokus, seolah tak peduli ada apa di depannya. Bisa jadi ia korban PHK, bisa pula ia lelaki yang enggan pulang karena kehilangan makna surga di rumahnya. Bisa pula lebih parah, ia kehilangan kewarasan karena masalah yang ia pikul. Memang pasti bukan masalahnya yang terlalu berat untuk dirinya, melainkan cara pandang dia atas masalah yang memberatkannya sendiri. Tapi tanpa kesadaran tentu ia tetap akan tersesat, dalam belukar masalah yang ia pelihara sendiri. Lelaki yang malang. 

Lelaki itu masih di sana. Tatapannya kosong. Wajahnya entah bahagia entah sedih. Menikmati senja dengan caranya sendiri. Sementara aku di bis ini, memandangnya saja. Sambil membuat cerita dari duga duga dalam kepalaku yang sengaja aku pelihara. Tak seluruhnya benar,  bahkan bisa jadi seluruhnya salah. Tapi aku menikmatinya, aku biarkan cerita tentang lelaki itu tumbuh kembang di kepalaku. 

senja, 16/02/2016
poetoe


labirin takdir

labirin takdir

seperti angin yang datang bergegas
tanpa sempat ditangkap oleh duga
bagaimana rindu seperti kehilangan energi
terbentur karang lalu gemuruhnya tinggal sisa sisa
menyentuhi kaki hati
betapa cepat ia terlepas dari jemari

lalu awan aku tatap saja
karena meraihnya itu tak mungkin
apakah memang demikian fragmen ini biasa dimainkan?
alur cerita yang cepat bergelora
lalu tiba tiba saja berhenti berdendang
tanpa simbol birama yang tertangkap

mestinya memang semua terbaca dari mula
namun memang tak mudah
perut menjadi mual
tatap mata penuh kunang kunang

apakah ada terkejut yang dibiasakan
apakah biasa terkejut itu masih layak disebut kejutan?

rencana dan kejadian memang misteri
labirin takdir yang tak satu pun makhluk layak menggambarkan petanya.

senja, 16/02/2016
poetoe

Kamis, 11 Februari 2016

diam, ternyata aku butuhkan


Selepas Jumatan, terpikir banyak hal. Tentang tugas-tugas yang belum terselesaikan. Ternyata memang sejenak "diam" itu menguntungkan. Karena jadi punya cukup ruang dan waktu untuk menangkap yang terlintas. Baik terlintas dalam benak, maupun terlintas dalam kehidupan kita. Ruang maya yang saat ini demikian terbuka lebar, bergerak terus, tak peduli kita perhatikannya atau tidak. Jika terlena, maka kita akan tertinggal. Lalu begitu saja.

Diam menjadi penting. Dan untukku yang terlahir sudah extrovert, ini menjadi tidak mudah. Diam bagiku menjadi melelahkan. Tapi aku butuh.

Berdiam, namun tetap berpikir. Menangkap dan memilah. Menyeleksi ruam-ruam kesan yang terpancar dari sekeliling kita. Seperti siang ini, saat banyak kata-kata lalu lalang di sekitar telinga, juga menari-nari di monitor komputer dan HP ku, sibuk aku menangkapi mereka. Memenjarakannya dalam ruang benak. Aku ikat mereka. Sesekali aku olah untuk menjadi kata-kata lain. Aku tumbuk. Hingga percikan-percikannya berhamburan.

Demikianlah, catatan tentang siangku yang nyaris runyam oleh jeda yang sengaja aku buat. Semoga diam mengendapkannya, juga merapikannya. Aamiin.

Siang, 12/02/2016
poetoe

seni jalani hidup

 Mungkin saja perjalanan ini serupa berjalan dalam gelap, dengan berbekal lampu senter. Maka kunci keselamatan kita adalah kejelian mengarahkan arah lampu senter kita. Jika fokus kita hanya pada ruang terdekat yang akan kita jejak, bisa jadi kita perlahan tanpa sadar tersesat menjauh dari tujuan, namun jika kita hanya fokus pada jarak jauh ke depan, melupakan tanah terdekat yang akan kita pijak, maka bisa jadi kita terperosok lubang yang ada persis di depan kita.

Seni memainkan arah lampu, seni memandang masalah hidup kita, zoom out lalu zoom in, adalah seni menjalani hidup ini. Semakin mahir memainkan keduanya semakin nyaman dan mantab langkah kita.

Wallohua'lam.

dini hari, 12/02/2016
poetoe

Bertahan untuk sadar dan terjaga

 Aku punya teman. Penggemar diskusi. Bahkan obrolan santai pun jika ada dia menjadi sarana diskusi yang rapi dan tertata. Ada identifikasi masalah, ada hipotesa, ada alternatif penyeselesaian masalah, ada kesimpulan. Kalimat kami menjadi terarah pada bahasan pokok kami, tak lagi "ngalor ngidul".

Ternyata memang penting mencari tahu atas apapun. Mencari pemahaman secara utuh. Karena dengan kesadaran yang tetap terjaga rasanya dosa itu menjadi tak punya cukup ruang gerak dalam kehidupan kita. Tetap terjaga dan tersadar dalam pemahaman yang utuh atas apapun yang lalu lalang di sekitar kita.

Indahnya jika tetap bisa bertahan dalam suasana pembelajaran tanpa henti, dalam majelis yang penuh tawashou bil haq tawashou bish shobri dan tawashou bil marhamah. Penuh oleh kalimat yang saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran juga kasih sayang.

Semoga, kekalkan suasana sadar dan terjaga ini. Aamiin.

Senja, 10/2/16
Poetoe

romantika kopi

 ayo sini kita ngopi
karena dalam kopi gelisah menepi
karena dalam kopi resah terobati

ah mengapa enggan
bukankah lengan ini bersiap menabikmu
apa kau ragu bahwa aku memang ada untukmu

pastilah kau akan terkesiap
bahwa ada rindu yang dahsyat
bahkan nyali pemberani pun tak sepadan

sini aku pastikan matamu tetap terbuka
saat badai cinta itu menampar karang jiwa
luluh lantakkan saja, runtuhkan saja

dan kopi
pada ceruk hati yang terdalam
aku sisakan genangan kenangan

airmatamu
airmataku.

siang, 10/2/16

poetoe

tentang pembuktian

 ini tentang pembuktian,
semacam lahan pembuahan mimpi menjadi kata,
dan kata yang tumbuh menjadi nyata.

ini tentang pembuktian,
sedang nama dipertaruhkan
mau tetap tinggal atau musnah
pilih sendiri nasibmu.

ini memang tentang pencapaian,
walau menggapai itu tak lalu menandak lebih tinggi,
sesekali ada pengulangan
dan pengulangan itu kadang sekali lalu sekali.

dan mata nanap mencari tatap,
mana keteguhan mengapa terjebak oleh demikian banyak keraguan

dan mata tertambat juga akhirnya
pada ceruk pangkal retina
agar lalu perlahan merayap ke relung otak
untuk mengoyak kenangan
untuk mengaduk aduk ingatan.

masihkah?
lalu tanya aku jebak saja pada simpul senyum itu
biarkan saja. biarkan saja.

jelang tengah malam/ 09/02/16
poetoe

Kamis, 04 Februari 2016

Meringkuk dalam diri

Maka aku gali saja
Karena dalam kedalaman itu goncangan lebih tak terasai....

Maka aku mulai menggali lagi
Perlahan namun dengan nafas bergegas
Menikmati kelelahan saat kulit jemari mulai mengelupas
Menikmati asin nya keringat saat menetes lewati bibir....

Maka aku terus saja menggali
Karena kedalaman adalah kenyamanan
Adalah ceruk paling tenang untuk meringkuk
Jauh dari desau angin gunjing
Sunyi dari debur cela
Hanya penuh dan padat oleh dengung acuh tak acuh....

Maka demikianlah, aku masih terus menggali
Sampai entah waktu mulai berbatas
Bahkan jika harus menyentuh mata air yang harus menyemburkan airnya entah hingga kemana
Bahkan.....

Dini hari, 30/01/2016

Poetoe

Sauh diri.

Aku mengeja malam lagi,
saat kembali risau oleh benar salah
yang hanya menyangkut pada tautan anggapan sahaja
Seperti kepingan kayu yang terpapar ombak di tengah lautan
Tertampar, terlempar ke sana sini

"Aku butuh jangkar. ... aku butuh jangkar. .."

Tanpa jangkar sesat arah aku
Karena betapa sekitar berputar-putar
serabutkan harapan
buramkan kebenaran
buyarkan keyakinan

Ada yang sibuk mainkan irama kedengkian
Ada yang sibuk gubah lagu sedih
Ada yang sibuk goreskan lukisan ketakutan
Ada yang asyik mainkan tarian kegelisahan

"Mana jangkar. .... mana jangkar. ...."
Dini hari, 30/01/2016

Poetoe

Rindu pantaiku

Pasir juga bebatuan adalah teman
jejak yang pernah terinjak bersama
saat luka itu berhasil kita bakar bersama
Perihnya indah....
asapnya adalah kenangan yang ditiadakan
pecahan batu karang itu sempat aku pungut,
namun kau bilang tak perlu
ingatan bagimu tak butuh sarana.

Dan di pantai juga, pernah aku tenggelamkan kakiku
padahal malam sudah sangat kelam
lalu debur air itu aku kirim kan kepadanya
untuk kesiasiaan pada akhirnya
namun perdu itu jika rindu tetap saja berharga

Begitu juga hari ini, aku kembali bercengkerama dengan riaknya
walau sekedar berbagi cerita
bahwa ada luka yang diulang
bahwa ada irama yang tercipta di tengah badai.....

Akrab dan hangat, pasir dan butiran pecahan rumah kerang sibuk memeluk telapak kaki
Mengirimkan isyarat purba tentang Kepedulian. ......

Debur mendebar, riak menyeruak
Gelisahku bergetar hebat. Aku memelukmu saja.

Angin pantai menjadi dengung, saat terjebak pada rumah siput. Ngung.

30 Januari 2016.

Poetoe.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...