Minggu, 30 Agustus 2015

paket lengkapku

Di akhir tahun lalu, aku masih ingat, betapa aku bertekad menulis buku sebelum umurku genap 40 tahun. Lalu seseorang tersenyum saat mendengar tekadku itu. Katanya "kau yakin? Pernah kau tanya istrimu apakah benar kau perlu menulis?" Saat itu aku hanya terdiam.  Tidak menyangka mendapat pertanyaan itu. Dan aku tidak menemukan jawaban kenapa justru mendapat pertanyaan seperti itu.

Sampai hari ini, setelah umurku genap 40 tahun lebih 3 hari, aku tersadar. Aku paham apa hubungan istriku dengan keinginanku menyusun buku. Jika tulisanku hanya tentang aku maka sebenarnya tak ada yang perlu aku tulis. Karena semuanya ada di istriku. Wanita yang telah aku pilih menjadi pendamping hidupku. Istriku adalah muara atas segala tentangku. Paket lengkap, karena ia adalah pintu kebahagiaan dunia akhiratku.

Cutiku beberapa hari ini, aku menemukan resep sakitku selama ini: istriku. Selama perhatianku tak benar-benar untuknya maka aku tak akan tenang. Benar kata Asa, anak ketigaku, "... Bapak beli bunga dong, sama cincin dan kalung, lalu kasihkan ke ibu. Tapi setelah itu Bapak tidak boleh marah-marah lagi, harus happy terus...."

Semoga ini jalan menuju kebahagiaan dunia akhiratku. Aamiin.

Poetoe / 29 Agustus 2015.

Rabu, 26 Agustus 2015

40 tahunku

Akhirnya tiba juga, saat aku resmi menjadi manusia dengan umur 40 tahun. Umur penting karena bahkan diajarkan doa khusus di umur ini....

Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S. al-Ahqâf: 15)

Menyambut umur ini sempat lama tak bisa aku pejamkan mata. Karena secara medis pun perkembangan otak sudah sempurna di umur ini, khususnya otak depan yang mengelola emosi. Artinya jika di umur ini aku masih punya masalah pada pengendalian emosi, maka akan sulit membenahinya lagi.

Bagaimana pun, aku harus hati-hati menyambut hidupku di umur ini. Terlebih saat tepat 40 tahunku ini aku justru sedang diuji dengan sakit. Ini pertanda. Banyak memang yang harus aku benahi.

Semoga.

Poetoe/ 26 Agustus 2015.

Selasa, 18 Agustus 2015

Cara bahagiaku

Bagaimanakah membuat diri bahagia? Ini mungkin memang egosentris, namun tidak lalu tak memikirkan orang lain. Karena ada keyakinan bahwa jika aku bahagia pastilah orang-orang di sekitarku ikut bahagia.

Menjadi tak mudah mencari cara aku bahagia jika selama ini aku lebih banyak memikirkan kebahagiaan orang lain. Berdalih sanguinis, selama ini sibuk menjaga kenyamanan sekitar. Semua harus merasa oke. Bahkan saat harus lakukan hal-hal yang tidak aku sukai. Slogannya "pura-pura bahagia". Kepura-puraan yang terkadang keterusan. Kebahagiaan semu. Terlihat aslinya saat malam datang. Mata tak mudah terpejam. Detak jantung menjadi tak beraturan. Sesekali tubuh terlonjak tanpa sebab. Hati menjadi sedih atas hal yang tak dimengerti.

Semua ini mungkin karena topeng. Terlalu lama kenakan topeng. Terlupa wajah aseliku. Saat sendiri, saat malam, adalah saat kenakan wajah aseli. Dan yang terasa saat dalam keaselian adalah penyesalan. Terlalu banyak tertawa yang tak perlu, terlalu banyak kesia-siaan yang tak harus terjadi.

Kesedihan yang berulang nyaris sebanyak kebahagiaan semu di siang tadi. Jadi seolah membayar lunas saja.

Aku harus segera berbenah. Membuka benar-benar topengku. Dan fokus pada kebahagiaanku saja. Sementara abaikan kepentingan pihak lain. Sementara tentunya. Sembari yakinkan bahwa kebahagiaanku adalah pintu kebahagiaan untuk orang lain. Semoga.

Aamiin.

Poetoe / 19 Agustus 2015.

Senin, 17 Agustus 2015

Menulis seperti menuangkan dan membuang

Terbangun dini hari, dan di isi kepala banyak hal yang lalu lalang. Harus ada yang aku tuangkan agar tak penuh. Jika kepala ini serupa bejana aku tak ingin ia rusak karena beban yang berlebih. Menuangkannya perlahan dengan salah satunya adalah menulis di sini.

Menjadi paham, mengapa ada beberapa teman yang demikian sering menulis, mungkin mereka ingin mengurangi beban di kepala mereka. Walau ada satu hal yang menarik dari kegiatan menulis ini, yaitu pada apa yang kita tulis. Seperti detektif yang bisa menyelidiki kasus dengan mencermati tempat sampah seseorang. Apa yang mereka tulis itu serupa dengan apa yang mereka buang.

Ada yang rajin sekali menulis, bahkan sehari bisa memproduksi lebih dari lima tulisan. Biasanya berupa puisi dan temanya tak beragam. Cinta. Tentang cinta dan rumus turunannya: rindu, hasrat, resah, cemburu, gelora dan teman-temannya. Ini memberi gambaran tentang demikian cinta memenuhi isi kepalanya, hingga mesti ia buang. Wajar sebenarnya, seperti kata Plato, suatu hari cinta akan menjadikan seseorang menjadi penyair.

Ada pula yang rajin menulis, dengan genre yang beragam. Bahkan temanya pun beragam. Awalnya aku pikir ia jenis orang yang sembarangan membuang sampah pemikirannya. Namun belakangan tersadar, bisa jadi ia sedang menyebar mozaik. Sengaja tema tulisan acak agar tak mudah terbaca secara utuh. Sengaja membuat beberapa tulisan dengan gaya menulis yang mudah diterjemahkan. Ternyata seolah pertigaan yang tanpa rambu, membuat pembaca tersesat. Ini juga menarik.

Beberapa yang lain adalah para pembaca yang rajin 'copas' tulisan orang lain. Atau jika tidak men'copas', mungkin sekedar mengulas ulang apa yang pernah ia baca. Rasanya aku salah satunya. Dalam tulisan ini, hanya tentang membacai tulisan orang di sekitarku.

Apapun itu, aku niatkan ini sebagai sarana belajarku. Amati, tiru lalu modifikasi. Jurus ATM. Semoga tetap bermanfaat.

Aamiin

Poetoe/ 18 Agustus 2015. Dinihari.

Beda pendapat

Berbeda pendapat adalah satu hal yang tak bisa dihindari. Karena cara berpikir manusia memang berbeda beda. Setiap pendapat dipengaruhi latar belakang, sejarah, masa lalu dan mungkin juga harapan dan kepentingan yang bersangkutan.

Seperti kemarin saat pertemuan wali murid di sekolah anak, seorang ibu berpendapat tentang pentingnya keseriusan pihak sekolah dan orang tua dalam menyambut ujian kelulusan anak di kelas 6. Dia menganalogikan "perang". Atas langkah-langkah yang dia usulkan sebenarnya aku sepakat, namun pada pengistilahan "perang" itu yang membuat aku tergoda ikut berpendapat. Aku tunjuk tangan.

Aku sampaikan, kekhawatiranku sebagai orang tua, bukan atas jeleknya nilai ujian anakku melainkan pada stres sang anak atas suasana seram ujian yang dibangun secara sistemik ini. Beberapa orang tua murid lain ternyata sepakat. Diskusi pun berkembang, menjadi dua kubu. Satu sisi kubu ibu penanya pertama, yang mendapat dukungan dari kepala sekolah yang juga berpendapat bahwa anak-anak sekarang lebih butuh "disiplin" ketimbang belajar yang asik-asik saja. Sementara di satu sisi, beberapa orang tua murid yang lebih mengkhatirkan kondisi psikologis anak, atas ujian yang seolah demikian menyeramkan padahal ujian itu hanya sebagian proses belajar yang harus mereka jalani.

Setelah pertemuan, aku jadi berpikir banyak hal. Sebenarnya cara mana yang lebih efektif untuk anak kita? Mungkin memang benar yang disampaikan kepala sekolah bahwa ketegangan itu dibutuhkan untuk menanamkan kedisiplinan dan motivasi anak. Namun dalam hati aku masih ingin berbantah lebih lanjut tentang motivasi anak yang lebih asasi, bukan stres dan rasa takut melainkan cinta ilmu. Cinta atas ilmu yang demikian kuat akan membuat sang anak lebih enjoy dalam belajar. Proses pemahaman atas filosofi ilmu ini yang butuh keseriusan. Karena memang tak mudah. Namun tak mudah tidaklah bermakna tak mungkin.

Cara belajar asik ini akan aku bahas lebih dalam pada tulisan khusus. Untuk saat ini, aku justru lebih terpikir bahwa beda pendapat itu memang perlu. Dan pelajaran dari beda pendapat itu adalah bagaimana kita menyikapinya. Bagaimana kesiapan sikap kita saat keputusan hasil rapat berbeda dengan pandangan kita. Agar selalu siap dengan hasil rapat, maka kita butuh dasar pemikiran yang tepat, paling tidak: mereka bisa saja benar, dan kita bisa saja salah.

Bisa jadi Alloh memberi petunjuk kepada kita dari pihak yang berbeda pendapat dengan kita. Petunjuk bahwa kita keliru. Jadi teringat hikmah berbanyak istighfar dan bahayanya sombong. Istighfar adalah merasa bersalah dan memohon ampun, mengingatkan kita untuk selalu memohon ampunan atas kekeliruan kita. Demikian pula sombong menjadi berbahaya, karena merasa kita benar dan hebat itu pada akhirnya akan menjerumuskan kita pada kesesatan yang nyata.

Wallohu a'lam.

Poetoe / 17 Agustus 2015

Masih pantaskah bahagia.

Kesalahan itu racun, dan penawarnya adalah permohonan maaf.
Demikian  juga dosa, disembuhkan olah permohonan ampunan-Nya.
Namun tak akan benar-benar sembuh tanpa sanksi atas kesalahan itu.
Sanksi tak sekedar menyembuhkan namun dapat pula memulihkan.
Sanksi atau hukuman itu minimal adalah rasa bersalah.
Rasa yang menyiksa adalah sanksi yang bisa menawarkan racun, menyembuhkan sakit dan memulihkan luka.
Pantaslah jika orang-orang saleh terdahulu lebih banyak menangis dari pada tertawa. Mereka memelihara rasa bersalah itu sebagai energi perbaikan.

Bagaimana rasa bersalah itu dipelihara? Mungkin dengan ingatan atas sanksi yang semestinya diberlakukan... karena Dia maha pengampun sehingga banyak aib dan kesalahan  kita yang terlipat rapi. Tersembunyikan. Seandainya diungkap semua dosa tentu buruk sekali wajah kita. Penuh aib dan dosa. Jika pun sanksi atas dosa kita diberlakukan mungkin kita tak sanggup lanjutkan hidup.

Karenanya saat aib tersimpan dan sanksi atas dosa terampuni, maka kita harus bersyukur. Bersyukur dengan tetap menyimpan rasa bersalah itu hingga tak lagi pongah untuk sesumbar dan berlagak bahwa dosa begitu mudah kita abaikan.

Dengan segala dosa dan aib ini... maka masih pantaskah kita bahagia?

Jika kita pandang bahagia adalah asasi, maka tentu tentu jawaban kita saat ditanya masih berhak kah kita bahagia? Adalah masih berhak.

Namun saat pertanyaannya masih pantaskah kita bahagia dengan segala dosa dan aib ini?

Mungkin kita terdiam. Dan menjawabnya dengan air mata. Hanya air mata.

Poetoe/ 14 Agustus 2015
(Jelang 40 tahunku)

Dilema ibu bekerja

Pagi ini, mendapat inspirasi dari kisah seorang teman. Fragmen saat ia hendak selesaikan cuti bersalin anak kelimanya, dan harus berangkat kerja esok harinya. Anak pertamanya datang menghampirinya. Lalu mohon ijin padanya, "Bunda, boleh ndak aku mau nangis...?" Bundanya kaget, "lho ada apa??"
Lalu sang anak mulai menangis, tanpa rengekan, hanya air mata.
"Kenapa kak? Cerita dong... kalau gini bunda jadi sedih... ada masalah di sekolah? Temanmu nakal? Kenapa nangis, kak?"
Sang anak hanya menggeleng. Lalu menjawab perlahan ".... bunda besok mulai kerja lagi."
Jawaban itu membuat sang Bunda ikut menangis.

Kisah romansa ibu yang harus bekerja. Aku kebingungan hendak cerita apa. Kisah ini sudah membuatku berpikir banyak. Tak semua yang aku pikirkan hari ini terjawab, namun paling tidak ada air mata. Saat mendengar cerita ini dari sang ibu, juga saat aku harus menuliskannya lagi siang ini. Air mata.

Air mata untuk keresahan, saat tata nilai dibentur benturkan. Air mata untuk banyak pertanyaan yang tak berjawab. Entahlah. Kita memang butuh Dia untuk mengambil keputusan. Semoga selalu tercurah rahmah dan hidayah-Nya.

Aamiin.

Poetoe / 14 Agustus 2015.

Senin, 10 Agustus 2015

Tentang menulis ide baik.

Tradisi para pemikir adalah kopi dan rokok, demikian kata Almarhum Bapak dulu. Aku tak merokok kerenanya kopi yang kupilih. Namun bersama berjalannya waktu, terlalu banyak kopi menimbulkan masalah pada pola tidurku. Aku coba beralih pada coklat panas. Secara teori coklat melahirkan mood yang bagus. Dan ternyata ada benarnya.

Aku coba manfaatkan kenyamanan setelah nikmati coklat panas dengan mengisi waktu untuk menulis. Harapannya agar tulisanku bernuansa positif. Bukan tulisan keluhan dan amarah. Aku takut tulisan yang negatif hanya membuat aura negatif itu menyebar pada para pembacanya. Itu pun jika memang ada yang membaca tulisanku. Hehe...

Ide positif butuh dilahirkan. Dalam kondisi hati yang tenang, ia terlahir dari rahim otak kita. Melalui kata-kata yang awalnya hanya terpikirkan, lalu terucap baik melalui lisan atau pun tulisan. Harapannya tentu sebagian dari ide-ide positif itu terlahir dalam kegiatan nyata. Hingga kebaikan menyebar ke sekitar kita. Aamiin

Berharap ini menjadi niatan baik yang melatarbelakangi hoby menulis kita. Sehingga tak sia-sia, kegiatan rutin ini. Jika mungkin, satu pekan ada satu ide baik dituliskan.

Semoga.

Poetoe / 10 Agustus 2015.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Tentang kesepian

Seorang mengatakan aku kesepian. Awalnya tentu aku menyangkal, bagaimana kesepian jika aktifitasku banyak, komunitasku beragam. Namun perlahan ada kesadaran, bisa jadi dia benar. Mungkin aku memang kesepian.

Sepi itu merasa sendiri. Merasa sendiri itu bisa jadi tak benar benar sendiri.  Hanya merasa. Mungkin saja justru karena kebutuhan  untuk bersama yang teramat sangat membuat kita cepat merasa sendiri. Entahlah.

Aku coba membongkar sebab sepiku. Mungkin keliru, ini sekedar pencarian. Bisa jadi tersesat. Awalnya karena merasa beda. Sejak kecil dilatih untuk berbeda, gondrong di saat SD. Enam tahun menjadi berbeda di kalangan teman-teman. Guru tak ada yang berani tegakkan aturan rambut panjang untuk murid laki-laki, karena Bapak rasanya sudah ijin ke kepala sekolah, ia akan pakai gaya berbeda untuk anak-anaknya. Di SMP kami baru mulai sesuaikan. Walau sempat disetrap harus berdiri di depan kelas di sepanjang jam belajar karena aku tak mau potong rambut. Bapak tak mau memotong rambutku tepatnya. Karena salah satu undang-undang di rumah saat itu adalah satu-satunya yang berhak potong rambut kami adalah Bapak. Banyak hal lain yang membuat kami berbeda. Buku bacaan, permaianan, termasuk jam makan kami.

Entahlah, apakah keberanian bergaya beda ini yang akhirnya membuatku sepi. Karena kenyataannya aku merasa tidak ada seorang pun di sekitarku yang menyerupaiku. Entah. Ini hanya sekedar menebak-nebak sebab.

Kepada seseorang yang mengatakan aku kesepian itu, aku tanyakan alasan apa aku terlihat kesepian? Ia menjawab karena aku seperti tak pernah cukup mencari teman. Hmm... mungkin memang kebutuhanku berkomunikasi melebihi orang-orang kebanyakan. Aku enjoy dalam banyak komunitas. Apakah ini gejala tak sehat? Apakah ini juga menjadi sebab sakit kepalaku?

Sepi terlahir dari merasa sendiri, disebabkan oleh rasa tak pernah cukup berkomunikasi. Mungkin aku harus evaluasi "rasa tak pernah cukup"ku. Entahlah.

Paling tidak, dini hari ini, aku sudah meluangkan waktu berpikir mendalam tentang rasa sepi ini. Semoga menjadi langkah awal perbaikanku. Semoga esok hari selalu lebih baik dari kemarinku.

Terima kasih kepadamu yang menuduhku kesepian. Kau menyadarkanku.

Poetoe / 9 Agustus 2015.

Kesadaran adalah peta

Yang menyelamatkan kita adalah kesadaran kita akan ruang dan waktu. Karena apa yang kita pikirkan adalah alat bantu agar kita tersadar. Dimana dan di waktu apa kita berada saat ini.

Memang rasa yang membuat semua menjadi lebih seru. Bisa lebih indah bisa pula tragis. Rasa memberi warna pada hidup. Bisa bahagia bisa pula kesedihan. Namun rasa lah yang membuat diri terlempar entah kemana. Rasa bisa membuat kita tersesat. Kita butuh peta. Dan peta itu adalah apa yang kita pikirkan.

Ada benarnya Rene Descartes berpendapat Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Berpikir sepanjang waktu, adalah belajar tanpa henti. Mengumpulkan kesadaran atas kebenaran objektif.

Kesadaran kita adalah pemahaman kita atas "ruang dan waktu". Dimana dan kapan. Seperti jika kita baca maksud dari perintahNya, semua tak jauh dari kebutuhan atas kesadaran "ruang dan waktu".

Lihat saja jadwal sholat kita yang ditentukan dari pergerakan bumi dan matahari, adalah bukti bahwa kesadaran kita atas waktu dibutuhkan dalam ritual rutin kita. Demikian pula arah kiblat sholat kita adalah bukti kesadaran atas ruang. Rasanya setiap perintahNya didasari pada dua kesadaran itu. Ruang dan waktu.

Saat thowaf hal ini akan semakin terasa. Jamaah berihrom mengitari kakbah, dengan doa yang berbeda di setiap sudut kakbah. Dan waktu atas thowaf pun tak boleh lalu melanggar waktu-waktu sholat. Ini bukti kesadaran atas ruang dan waktu adalah dasar utama ibadah kepada-Nya.

 Semoga selalu terjaga kesadaran kita. Aamiin.


Kamis, 06 Agustus 2015

Berpikir lalu menulis. Kuliah di Universitas Kehidupan

Sebuah nasehat, agar selalu agendakan di setiap hari untuk berpikir mendalam tentang sesuatu, lalu tuliskan. Jika dirasa ada yang kurang cari bacaan tambahan dan gunakan saat sarapan atau makan siang bersama teman sebagai sarana diskusi. Dengan cara ini paling tidak kita seperti tak pernah berhenti kuliah. Kuliah di universitas kehidupan.

Setelah menjadi satu tulisan coba posting di media sosial, biarkan orang lain membacanya, adakah umpan balik yang bisa jadi masukan atas tulisan kita?

Jika kita merasa tulisan kita sedemikian kaku, maka bubuhkanlah rasa di dalamnya. Jadi tulisan kita memuat apa yang kita pikirkan pula apa yang kita rasakan.

Sepertinya nasehat ini menarik. Aku mau coba. Bisa jadi tulisan ini pun bagian dari pelaksanaan atas nasehat di atas. Bagaimana menurutmu?

Poetoe / 7 Agustus 2015.

Rumahku Surgaku?

Rumahku surgaku. Surga di dunia ini mestinya ya di rumah. Karenanya saat kita punya masalah dengan pasangan hidup kita maka kita akan kehilangan surga kita. Tak hanya pasangan kita, anak-anak, sanak keluarga juga sangat mempengaruhi surga kita di dunia.

Dalam membangun surga ini, tentulah komunikasi mengambil peran penting. Terlebih saat aktifitas pekerjaan kita menyita waktu kita, mengurangi saat bersama dengan mereka. Harus disiasati, bagaimana interaksi dengan mereka tetap baik dan efektif. Karena sekali ini tentang surga yang sedang kita jaga.

Rumahku surgaku. Tempat di mana rehat jasmani juga ruhani. Tempat canda menjadi energi, tempat menikmati banyak hal sederhana menjadi indah.

Sudahkah benar-benar kau rasakan, bahwa rumahku memang surgaku?

Siapa yang keliru

Jangan-jangan saat kita bilang orang lain keliru, justru kita yang keliru.

Karena secara fitrah cara pandang kita terbatas, memandang dengan jangkauan lebih pendek jika kita berdiri di tempat yang lebih rendah. Semakin tinggi posisi tentu semakin jauh jarak pandangnya.

Kepada para pengambil kebijakan, seringkali kita berpikir mereka keliru, karena kepentingan kita terganggu, padahal mungkin kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan itu adalah kepentingan yang lebih beragam. Kepentingan kita hanya salah satunya, atau bahkan bisa jadi tak diperhitungkan.

Apa lalu kita marah? Atau legowo saja.... ikuti sebisa kita. Terkadang manajemen tersadar salah saat efek keputusan terlihat belakangan. Dan itu wajar saja. Jika salah ya kebijakan itu diubah. "Gitu saja kok repot".

Sebenarnya ini perkara klasik, kecil tak tebaca besar terlalu dominan diperhitungkan. Detail tak terpikirkan, pandangan secara umum yang diperhitungkan. Tersesat dalam pengambilan keputusan itu hal biasa. Tak mengapa, selama bersegera diperbaiki.

Demikianlah. Entah.

Cermin Pembelajar

Mencari cermin, bukan mengumpulkan prasangka, saat berniat tetap terus belajar.

Mendapat gelar buruk tak kan lukai hati pembelajar, karena gelar hanya disematkan, hanya dikenakan.

Padahal buruk itu pun bisa jadi hanya perkara prespektif saja. Jika ingin utuh tentu prespektif lain dicari untuk bisa sempurnakan.

Walau rasa terkadang yang mengubah banyak hal. Mengubah arah layar bergerak ke kutub yang berlainan.

Ikuti saja. Jika kau ragu ya tinggalkan.

Demikian.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...