Jumat, 31 Juli 2015

Lukamu lukaku juga

Melukaimu melukaiku juga
Air matamu air garam dalam lukaku
Pucat wajahmu padam lenteraku
Dukamu sembilu robek bahagiaku.

Memohon maaf padamu adalah penawar
Penawar lukamu juga lukaku
Bukankah kurva kita menelikung dalam irisan yang sama?

Benda yang nyaris tanpa bayangan, karena menimpa di semua sisi.

Aku kau. Kau pun aku.

Beranjak dari metafora

Aku mulai lagi. Meluangkan waktu khusus berpikir sendiri. Menarik memang, untuk seorang yang ekstrovet macam aku, dipaksa duduk berlama-lama sendiri. Hasilnya tetap banyak kata, tapi hanya berputar-putar di kepala. Ada banyak hal yang muncul. Memercik-mercik. Ide yang berhamburan. Tema besarnya adalah usia 40 tahunku.

Usia kematangan. Seperti saat berbincang dengan dokter syaraf yang merawatku, kata dia di usia 40 perkembangan otak sudah purna. Dan yang terakhir adalah bagian otak yang mengelola kecerdasan emosional. Sehingga di usia inilah saat yang menentukan karakter seseorang.

Tahun ini adalah tahun ke-40 ku. Aku harus memastikan kondisi emosi stabil. Harus serius mengelola rasa. Tak boleh ada yang sia-sia. Mungkinkah?

Kenapa tidak? Aku memang butuh perencanaan matang. Jelang Agustus ini, harus aku bersihkan remah-remah rasa yang mungkin menggangguku esok hari. Mungkin tak mudah. Tapi bukannya tak mungkin.

Aku belajar banyak dari teori objektifikasiku. Uji cobanya tak banyak berhasil. Tapi aku mendapat banyak pelajaran. Terlebih tentang kritik keras atas permainan metaforaku. Ini mengubah banyak hal. Cara pandangku untuk lebih berjarak pada kiasan, yang bisa menenggelamkanku pada dusta dalam keindahan, juga tersesat pada khayalan tanpa batas.

Matahariku, metafora terakhirku, yang aku gunakan untuk mencari jalan pulang. Karena enggan tersesat terlalu jauh. Semoga cahayanya tak berkesudahan.

Poetoe /31 Juli 2015

Kamis, 30 Juli 2015

Tentang Puisi

Apresiasi atas karya, membutuhkan kejelian membaca karya. Tentu dengan berbekal pengalaman berkarya. Tanpa pengalaman langsung maka kita hanya berdasar perbandingan atas nilai-nilai, sementara dengan pengalaman maka kita bisa melibatkan rasa kita.

Puisi misalnya, paling tidak terbagi oleh dua kekuatan. Sisi balaghotiy, kekuatan kata-kata, dan sisi ma'aniy, kekuatan maknanya.

Para pemula terlebih yang mengawali menulis puisi dengan modal jatuh cinta, sesuai dengan kalimat Plato bahwa suatu hari cinta akan menjadikan seseorang sebagai penyair. Maka biasanya ia akan sibuk bermain di keindahan kata, sementara substansi maknanya hanya satu "cinta". Sebenarnya ini tidak masalah, karena bagaimana pun cinta adalah sesuatu yang indah. Namun peran puisi menyempit. Seolah puisi hanya sarana ungkapan rasa cinta. Padahal sejatinya lebih dari itu. Puisi bisa menjadi energi pengubah, puisi juga bisa menjadi pengungkap kebenaran, bisa pula menjadi pencela kebathilan. Bahkan sesekali menjadi sarana ungkapkan kemarahan.

Bagaimana seorang penyair yang bermula dari cinta lalu ingin mengembangkan puisinya menjadi tak sekedar bermain kata melainkan pula makna yang bernas?

Adalah dengan terus memperluas wawasan, mengasah logika, merperkuat pemahaman atas banyak hal. Sehingga kata-kata yang muncul adalah kata-kata yang pekat makna.

Semoga ini menjadi penyemangat para pecinta yang berevolusi menjadi penyair, agar terus kembangkan diri, hingga suatu hari puisi menjadi kekuatan dahsyat dari pilar sebuah peradaban. Bukan sekedar kata-kata manis yang selalu bermuara pada kata cinta.

Semoga.

Poetoe /30 Juli 2015.

Selasa, 28 Juli 2015

Belajar tentang sakit

Jika kau pembelajar, pastilah semua yang kau alami adalah bahan belajar. Begitu juga sakit.

Sakit adalah pembatasan atas beberapa nikmat. Namun bukankah rasa syukur seperti air yang terus mencari celah untuk menikmati hidup?

Satu nikmat tertahan pastilah ada kenikmatan lain. Karena yakinlah kenikmatan yang Allah SWT limpahkan pastilah tak terbatas.

Sakit itu mungkin seperti alarm tubuh. Satu tanda tubuh butuh rehat. Salah membaca tanda bisa merusak organ lain.

Seperti sakit saat menghalangi kita ke kantor, ini memberi waktu untuk kita melepas anak-anak ke sekolah. Ini kenikmatan yang luar biasa.

Dalam sakit, ada kehilangan atas fungsi tubuh. Dan di setiap kehilangan sejatinya kita menemukan kesadaran atas apa yang kita miliki.

Kehilangan dan menemukan seperti pasangan. Kita menemukan sesuatu setiap kita kehilangan.

Indahnya rasa syukur, ia tak pernah berhenti mencari cara untuk tetap bahagia. Innalhamdalillah.

Poetoe / 29 Juli 2015

Senin, 27 Juli 2015

Rahsia

Terkadang dinampakkan itu tak buat bangga dan bahagia. Namun sebaliknya, saat disembunyikan justru terasa lebih berharga.

Tak sebut nama, tak ungkap kata, tak cantumkan dalam warta....
Namun dalam mata demikian indah tersimpan.

Kelopak yang mengerjap, jendela jiwa yang anggun.

Diam seperti sekam, bebintang bersulam awan....

Kunikmati saja.

poetoe, juli 2015

dead line

Aku harus menemukan jawaban sebelum pukul 18.00 sore ini. Jika tidak maka aku resmi menjadi manusia naif. Ini tak mudah. Aku harus berpikir keras.

Mungkin aku perlu sesaat terpejam. Biarkan gelap menguasai retina mata. Lalu aku biarkan suara-suara di sekitarku berhamburan lalu bergerak menyatu. Serupa mozaik yang perlahan tersusun. Iya. Aku mulai menemukan jawaban.

Adalah semenjana, sikap yang sering aku jadikan judul puisi. Sikap pertengahan. Terlahir oleh dua tarikan yang terlihat kontradiktif. Kesalahan itu harus diperbaiki. Bukan sekedar disesali. Memperbaiki itu membangun bukan memporakporandakan. Jika ingin mengubah dengan melanjutkan dengan bangunan baru, tentu butuh kesantunan. Terkesan gamang mungkin, tapi tidak. Ini tentang kehati-hatian. Tak ada yang tak bisa kita petakan. Bahkan rasa.

Peta rasa itu kita gubah. Lalu rencana perjalanan kita susun. Ada penyesalan, ada kesadaran, ada gulita kecewa ada pula kepedihan. Namun semua tentu kita racik dengan komposisi terbaik.

Semenjana itu mungkin kearifan juga. Namun tentu aku berharap kearifan itu tidak serta merta membuat aku pantas disebut naif.

Entahlah.

Kamis, 23 Juli 2015

Tetap Bahagia

Keberpasangan tidaklah lalu saling menggantikan, bahkan terang dan gelap. Terkadang mereka justru beriringan.

Mungkin juga musibah tak lalu berarti enyahnya bahagia, dan lahirnya kesedihan. Karena alasan untuk tetap bahagia itu selalu mengiringi langkah kita, bahkan pada saat musibah datang pun ia ada.

Hanya kita yang sering lengah. Terbiasa bermain iya dan tidak. Hitam putih. Gelap terang. Seperti tak ada pilihan lain selain kesedihan saat musibah datang. Padahal bukankah Dia melarang kita bersedih? 

Jika kita benar-benar tak ingin bersedih, maka pandai-pandailah mengumpulkan energi kegembiraan kita sepekat apa pun kabut kesedihan itu datang menyerang. Ambil hikmah yang indah dari setiap peristiwa, terus fokus memandang setengah gelas terisi bukan setengahnya yang kosong. Seperti juga tetap memegang empat balon lainnya setelah balon hijau meletus. Bukan sibuk meratapi si balon hijau (belajar dari lagu Balonku).

Apakah ini mudah? Tentu tidak. Butuh latihan yang serius, dan kesiapan hati yang memadai. Salah satunya adalah bersering-sering bersimpuh kepadaNya, memohon perlindungan dan ampunan. Ekspresi ketidakberdayaan sebagai hamba bisa menjadi energi saat hadapi berbagai keputusanNya. Musibah atau nikmat, menjalaninya tetap dengan bahagia.

Semoga Allah SWT memberi kekuatan kesabaran dan kesyukuran untuk kita. Aamiin.

Poetoe....
Syawal, 1436 H

Kamis, 16 Juli 2015

sudah bertakbirkah?

Saat bertakbir maka yang penuhi isi kepala adalah KeagunganNya, maka kesadaran akan kerdilnya kita yang lalu muncul.

Sebagai hamba kita memang kecil, lemah, dan teramat butuh padaNya. Dan yang menyebalkan kita sering terlupa oleh kelemahan ini.

Bahkan saat bertakbir, kita justru sibuk dengan kita ini siapa, seberapa dianggap adanya kita dalam masyarakat.

Saat tersadar kita tak dianggap ada oleh lingkungan kita lalu cari perhatian dengan petasan dan tarikan gas motor di sepanjang jalan.

Manusia sebagai makhluk tempat salah dan lupa. Selama belum berani akui kelemahan dan kesalahan maka sulitlah kebahagiaan itu ada di dada.

Bagaimana bisa bahagia, jika kita masih serupa Iblis yang sibuk dengan rasa diri sebagai makhluk hebat hingga lupa diri sebagai pengabdi?

Bagaimana bisa bahagia jika kita masih sibuk membela nama baik dengan memoles diri berpura tak pernah punya salah dan dosa?

Bagaimana bisa bahagia saat semestinya sibuk beristighfar kita justru sedang sibuk menyalahkan orang lain. Agh. Jangan-jangan tulisan ini pun..?

Jika benar ingin bahagia, mungkin harus berhenti mengeluh, berhenti menyalahkan orang, berhenti membela diri saat disalahkan.

Mulai dari mengakui kesalahan, lalu menyesal, lalu beristighfar, lalu meminta ampunan padaNya, lalu meminta maaf pada sesama.

Bertakbir, bertahmid, bertahlil, beristighfar, bersimpuh di tengah lapang, sadari kelemahan diri, tundukkan hati, meleburlah diri...

Poetoe, 1 Syawal 1436 H.

Tentang Dunia

Dunia memang serba sementara. Selalu ada mula lalu akhir. Karena di dalam dunia kita tak lepas dari cengkeraman waktu.

Jika mula adalah pertemuan maka akhir adalah perpisahan, jika mula adalah perkenalan maka akhirnya adalah melupakan.

Perpisahan itu pasti demikian juga dilupakan itu keniscayaan. Seperti kematian yang selalu ada di balik kehidupan.

Karenanya takut akan perpisahan, dilupakan dan kematian itu ketakutan yang akan menyiksa. Takut atas sesuatu yang pasti.

Agar tak tersiksa bersiapsiagalah hadapi perpisahan, dilupakan, juga kematian. Pastikan tak ada air mata yang sia sia. 

Poetoe, akhir Ramadhan 1436 H.

Tidak tersinggung (menikmati) kritik, celaan, bahkan hinaan

Belakangan ini aku sempat beberapa kali sesumbar "aktifitas yang jarang aku lakukan adalah tersinggung." Tergolong sesumbar, karena sebenarnya kenyataannya tak mudah menjalaninya. Tetapi aku memang sedang belajar, bagaimana untuk tetap tidak tersinggung atas kritik, bantahan atau bahkan cacian dan celaan.

Caranya adalah, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa sebagai manusia aku adalah tempat salah dan lupa. Artinya hal buruk apapun kata orang tentangku itu pasti mengandung kebenaran, karena memang aku banyak salah dan lupa. Jika yang disampaikan itu tak benar, tapi ada kesadaran bahwa sebenarnya masih banyak aibku yang masih Allah SWT sembunyikan, jadi untuk apa tersinggung? Karena jika aib itu dibeberkan rasanya aku lebih hina dari celaan dan hinaan dia.

Dengan berbekal kesadaran itu, insya Allah hatiku selamat dari aktifitas tersinggung atau pun sakit hati yang bisa jadi akan merusak rasa bahagiaku. Tidak berarti lalu kritik dan hinaan itu tak aku dengar, namun paling tidak aku mendengarnya dengan lebih objektif, lalu menerimanya sebagai masukan untuk langkah perbaikan di kemudian hari.

Jika sudah terlatih, mungkin aku  akan merasa senang saat mendapat kritik, sedikit pedas pun tak mengapa, karena itu membantuku untuk lebih menikmati hidupku. Menjadi bahan pembelajaran yang artinya ada tambahan proyek pengembangan diriku yang kuharap bisa menjadi proses tanpa henti di sepanjang hidupku.

Wallahu a'lam.

Poetoe, 25 Ramadhan 1436 H.

Beranjak dari dosa

Memahami diri dengan melihat potensi dosa dan kebaikan sebagai fithrah jiwa. Sehingga dapat terbaca dari mana sebab dosa.  Antara pemakluman dan kesadaran atas kesalahan. Titik tengah. Karena terlalu memaklumi diri jadi sepelekan dosa. Sikap sebaliknya bisa menjebak rasa bersalah berlebihan.

Kesadaran atas dosa pun harus berlanjut pada rencana tertata untuk meninggalkannya. Rencana tertata itu juga pertimbangkan potensi godaan yang akan membuat dosa terulang. Semacam internal kontrol.

Bisa juga dengan melibatkan pihak lain untuk ikut mengawasi. Bersama akan lebih mudah dibanding sendiri. Pantaslah jika salah satu "tombo ati" adalah berkumpul dengan orang shaleh. Karena kebaikan itu menular. Paling tidak bersama komunitas kebaikan potensi dosa kita terminimalisasi.

Semoga dimudahkan langkah kita. Aamiin. 

Poetoe, 24 Ramadhan 1436H.

Senandung Gatotkaca

Seperti ketika waktu berlarian sedang kita diam
Pengulangan demi pengulangan datang
Memaksa menangkap kesan yang berseliweran
Mencoba mencerap pesan yang lalu lalang
Seperti terjemahan cinta khas anak muda
Bahwa cinta adalah rangkaian tantangan dan pembuktian
Pembuktian-pembuktian itu menjadi seolah persembahan
Persembahan atas nama cinta
Semakin tinggi nilainya jika persembahan itu tak bermakna harapan atas imbalan

Terlepas saja.... sudah

Sedang layang-layang jiwa kita masih  menandak nandak seperti menapak jejak angin
Semakin tinggi semakin keras angin menampar.

Poetoe, Juli 2015.

Paradoks

Paradoks.
Matahari terang di luar sana
sedang hati menggelap dalam murung di sini.

Ada air mata,
Tapi enggan jika disebut ini kesedihan
Ini hanya diam yang panjang
Jika air telaga terusik dan mengeruh
Kita butuh sesaat saja
Mungkin juga bersaat-saat
Dalam diam yang pekat
Memberi ruang lumpur yang terangkat kembali mengendap.....

Paradoks.
Saat coba lupakan justru semua kenangan terangkat kembali....
Seperti juga ketika coba mengingat sesuatu, justru bangunan kenangan itu yang runtuh perlahan.

Paradoks.
Saat akal sehat coba mengambil peranan,
Justru tersadar betapa pentingnya rasa
Dalam setiap pengambilan putusan.
Begitupun saat ingin libatkan banyak rasa dalam alasan berbenah ini,
Justru air mata yang banyak tumpah....
Kepedihan yang dominan.

Paradoks itu diam dalam keriangan
Remang dalam terang benderangnya siang
Remang karena kelopak mata tak sanggup
Tak sanggup simpan kepedihan.

.

Poetoe. 2015.

Minggu, 05 Juli 2015

kupu-kupu senja

Apakah kupu kupu beterbangan dari aroma satu ke aroma yang lain? Ia membaca peta dari wewangian. Alangkah indah jika sesekali menyerupainya.

Sebuah perjalanan tugas dari keindahan ke keindahan. Syaratnya tentu tak boleh jejakkan jelaga di sana. tak boleh ada wajah sendu dan tanpa semangat. Harus penuh senyum dan tatapan cinta.

Seperti senja yang beruntun kuberi makna. Ketakutan berjarak membuat dekat lebih hangat. Setiap detik aku eja perlahan, agar kualitas melibaskan jumlah. Semua indahmu aku simpan seolah kupu-kupu yang rahap menyesap madu. Lalu ada tanya, yang membuat kita harus saling tatap. Sayap mengerjap sesaat lalu beterbangan.

Poetoe (juli 2015)

Metamorfosa

Jika proses metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu harus menjadi kepompong, maka puasa ramadhan adalah kepompong itu.

Dan pada saat proses kepompong itu ulat diam dalam waktu lama, tak makan tak minum menekan hasrat duniawi sekuat mungkin. Hingga air liurnya mengering menjadi tabir yang kuat menutupi sekujur tubuhnya.

Demikian halnya kita, semestinya memberikan lebih banyak waktu untuk diam dan berbincang terhadap diri. Mengaduk aduk sejarah dosa masa lalu, memilah-milahnya, untuk membaca setiap dosa itu menjadi lebih jelas klasifikasinya, hingga akhirnya kita bisa temukan motivasi dan cara yang tepat untuk meninggalkannya. Juga menemukan kebaikan-kebaikan lain yang bisa menggantikan kekeliruan masa lalu kita.

Asyhadu allaa ilaha illalloh.
Astaghfirulloh
Asalukal jannata wa a'udzubika minannaar.
Allohuma innaka affuun tuhibbul afwa fa'fuanniy.

Poetoe, 18 Ramadhan 1436H.

Istighfar itu solusi

Kenapa istighfar menjadi solusi? Ternyata kekuatan mohon ampun atas kesalahan itu memang luar biasa.

Dalam istighfar terkandung pengakuan atas kesalahan diri. Jadi tak cepat salahkan orang lain.

Karena cepat salahkan orang lain itu berbahaya. Butakan mata hati untuk berbenah diri. Sibuk congkel aib orang.

Walau kadang cepat salahkan orang ini bersembunyi pada dalih mengkoreksi, sikap kritis. Memang batasnya tipis. Hati yang lebih tahu.

Mungkin SOP mengkritik itu kalau sudah serius evaluasi diri dulu. Jadi kritik terasa berkualitas, bukan sekedar sangka saja.

Paling nyaman memang perbanyak istighfar, ulang-ulang permohonan ampun ini. Biarkan hati menikmati guyuran rasa bersalah itu.

Menunduklah hati sedalam dalamnya, jika lalu jiwa melompat ke arah yang lebih baik itu pastikan pijakan hati bersih itu memadai.

Jelang 10 hari terakhir, perbanyak istighfar. Semoga kita beroleh ampunan dariNya, hingga tak celaka kita di bulan suci ini.
Aamiin.

Poetoe, 19 Ramadhan 1436 H.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...