Betapa kenyangnya, saat menu "hujan" disajikan. Demikian lengkap; ada kerinduan yang terhenti, ada dusta yang tersapu rintik air, ada kilatan mata rela, sayang, juga marah. Semua memang tentang hujan.
Satu waktu yang selalu saja bernas makna. Rintiknya seperti nyanyian, anginnya desau nafas alam, dinginnya tarian rasa di balik kulit ari, dan geletar petirnya merobek nyali, porandakan sepi.
Kehangatan menjadi kemewahan, tebal jaket bertarung dengan deru AC; genggaman bertikai dengan angin bercampur air, dan percakapan penuh marah dan kesal berhadapan dengan galau yang sepi.
Ini yang kesekian kalinya "hujan" menampar-namparku. Ini yang kesekian kalinya "hujan" menarikku ke suasana aneh ini.... dan rintiknya terkadang menjadi abai oleh gelisahnya hati, yang mati-matian bertarung dengan sepi.
Aku berharap kau juga mencatat ini. Bahwa selalu saja ada satu waktu, di mana kita bisa menari dalam percakapan galau, sedang alam bernyanyi dalam melodi deras hujan, dan irama gemuruh angin dan dentam gelegar halilintar. Aku mencatatnya, rapih dalam ingatan. Bahwa aku pernah di sini, dalam birama ini, dan tetap bertahan dalam nada dasar ini.
karena kata adalah awal dunia; butuh ruang untuk memelihara "kata" sejak ada di "pikiran", "lisan", bahkan "tulisan".
Jumat, 30 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Buku MADILOG, Materialisme, Dialektika dan Logika adalah buku karya Tan Malaka yang kaya. Berisi banyak pengetahuan. Tak kebayang buku ini...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
Pertama menukil dari surat Kartini, tanggal 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar: " Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.. ...
-
Mau tahu seperti apa siang ini menyapa? Ia dan matahari tenang, angin sopan membelai, dan aroma tanah basah harum menyeruak ke pangkal hidun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar