Senin, 22 Juni 2009

tentang Mimpi;

Satu.
Bulan di atas awan, sama seperti malam-malam sebelumnya. Tenang. Dingin, seakan memandangiku, bahkan kadang aku merasa dihakimi olehnya. Malam ini, di bangku depan rumahku, aku balas menatapnya. Bulan tetap dingin, sesekali dia kirim angin malam untuk mengelus kudukku. Huh! Aku bahkan lalu melototinya. Dan bulan tetap dingin.

Akhirnya, kami putuskan untuk berbicara padanya. Aku dan bulan. Namun bukan saling berbicara, karena hanya aku yang berkata-kata, sedang dia tetap diam. Tenang. Dingin. Lalu aku bercerita tentang malam. Tentang gelap. Tentang angin yang gaduh. Tentang mendung yang menggantung, dan embun yang bergelantungan di ujung daun. Dan bulan mendengarkan, padahal dia jauh lebih paham malam daripada-ku. Bulan tetap tenang, namun kini tidak lagi dingin. Kami seakan kawan lama yang kembali jumpa, setelah terpisah sekian lama….

Bulan menatap, aku tetap lanjutkan bercerita. Ceritaku kini tentang mimpi-mimpiku. Tentang kerja yang aku pilih. Tentang keluarga yang kelak aku bangun. Tentang buku yang ingin aku tulis. Tentang angan-anganku untuk terbang menuju bulan…. Mendengarnya bulan tersenyum, nampak dari balik awan tipis yang menutupinya. Mungkin bila aku tidak dihadapannya, dia akan tertawa ngakak. Aku tahu, dia pasti akan tertawakan mimpiku. Dan aku mulai tersinggung. Harga diriku robek!

Bulan masih asik menahan senyum, namun aku kini tertunduk. Kehilangan selera lanjutkan cerita. "aku memang pemimpi…"

Dua.
Keesokan harinya, aku bangun terlambat. Sholat subuh jam setengah enam. Wah! Sebelum pergi mandi, aku melihat langit lewat jendela, mencari bulan. Dia sudah pulang. Yang tersisa hanya seburat awan remang, dan angin pagi yang menerobos masuk lewat celah jendela, menamparku….. dingin!

"Apakah aku memang pemimpi?"
Pertanyaan yang begitu menganggu. Bila aku mau jujur menjawab pertanyaan ini, mungkin jawabannya memang "iya", dan itulah masalahnya. Karena sejak malam itu, aku merasa malu dengan sebutan pemimpi. Pemimpi adalah pengecut, yang bersembunyi di balik dunia "mimpi" yang bisa dia kuasai, namun takut kepada dunia "nyata" yang memang tak mampu dia rengkuh. Aku harus buktikan, aku bukan pengecut macam itu. Harus!.

Dengan tekat itu, aku mulai perjuangan ini. "bagaimana menjadikan impian menjadi nyata?"
Adalah dengan melakukan, bukan sekedar membicarakannya. Ilmu hanyalah sia-sia, jika tidak dikerjakan. Jadi kerja adalah yang utama.
Secara sistematis inilah yang harus aku lakukan:
• Mengidentifikasi mimpi
• Mencermati kondisi riil yang sedang terjadi
• Mengevaluasi mimpi dengan kondisi riil yang sedang terjadi, menghasilkan daftar mimpi yang mungkin dicapai
• Menetapkan tahapan-tahapan pencapaian atas mimpi yang mungkin terjadi, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut
• Melakukan kerja sesuai langkah-langkah yang telah ditetapkan
• Evaluasi secara berkala atas capaian kerja

Tugasku kemudian, adalah melakukannya. Sehingga tidak sekedar teori, melainkan sebuah gerakan.
Mimpi menjadi nyata, ketika kita mulai mengerjakannya.

Tiga
Aku mulai bekerja. Membangun mimpiku jadi nyata. Aku menikahi seorang wanita. Membangun sebuah rumah. Dan dari rumah inilah aku letakkan pondasi untuk bangunan yang lebih besar. Sebuah bangunan yang kususun dari batu bata kepercayaan, semen cinta, pasir saling menghargai, dan kerangka besi iman dan keyakinan.

Di rumah inilah aku belajar demokrasi, belajar mendelegasikan tugas, belajar mendengarkan, belajar mengerti isi hati, belajar menghargai, belajar dihargai, belajar untuk hidup, belajar membuat hidup menjadi lebih hidup. Rumah ini aku jadikan kampusku. Dengan istri, anak, pembantu, lantai kotor, meja tamu, vas bunga retak, atap bocor, kunci pintu macet…. sebagai para dosenku. Dan aku-lah mahasiswanya.

Di sini aku juga menanam benih-benih mimpi baru. Yang aku tanam dalam hati istriku, anakku, dan dalam hatiku. Di kemudian hari, akan aku panen, dengan mewujudkannya dalam kenyataan. Dan aku menikmati siklus mimpi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...