Selasa, 16 Juni 2009

berbekal lalu berbicara;

Berbicara dengan orang-orang, adalah kebutuhan untuk berekspresi dan menyerap informasi. Dalam sehari kita bisa mengucapkan ratusan kata, ratusan mimik wajah, ratusan senyum, ratusan kerlingan mata. Dari pagi hingga jelang tidur, mungkin ada banyak canda yang kita sengaja angkat dalam setiap bincang, atau mungkin sekedar merespon canda orang-orang di sekitar kita. Namun ternyata, semua itu tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi jiwa kita. Kita butuh sesaat untuk sendiri. Seperti pohon, batangnya butuh ruang untuk jelajahi langit, namun ia juga butuh akarnya untuk menghujam dalam ke tanah. Kita juga butuh waktu untuk merenung, berfikir dalam tentang sesuatu. Para ulama menyebutnya sebagai “tawazun”, bersikap seimbang.

Mungkin saja, semestinya begini: perenungan, diam diri, berfikir mendalam, adalah proses pembekalan diri. Seperti Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang memilih gua Hira sebagai sarana ber-kontemplasi, atau Buya Hamka dan Sayyid Quthb yang menjadikan penjara sebagai sarana mentadaburi Al-Qur’an secara bersungguh-sungguh, hingga lahir kitab-kitab Tafsir yang luar biasa. Atau bisa jadi kita, seorang hamba biasa, ketika mengkhususkan diri dalam satu waktu, untuk konsentrasi pada kebutuhan diri, untuk pelajari Al-Qur’an dan sunnah, hadiri majelis-majelis ilmu, tatsqief, atau tinggal di ma’had, sejatinya kita sedang berbekal; untuk kemudian di saat-saat yang lain, ketika kita harus berinteraksi dengan masyarakat, bercakap-cakap, berkerja di kantor, rapat, atau sekedar bercanda di pos RW, kita sebarkan “ilmu” atau bekal kita yang telah kita dapat dari perenungan kita, kepada masyarakat di sekitar kita.
Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah; begitupun amal tanpa ilmu adalah buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...