Sambil membaca buku putu wijaya, di bis kota, selepas senja,
melirik ke kaca jendela, bayangan diri.
Tirus.
Dahi kecil.
Banyak tanda raut wajah tak cerdas.
Padahal dulu selalu merasa kecerdasan adalah sisi positifku.
Mungkin memang sudah habis.
Atau seperti juga nilai asset, harus mengalami penyusutan dan amortisasi.
Mungkin memang sesuai dengan akuntansi,
hidup hanya perkara mengelola saldo.
Memanfaatkan sisa.
Lalu kesadaran atas sisa waktu yang tak banyak inilah yang menguras air mata.
Seperti saat ber-tilawah, membaca Firman-Nya, bertemu dengan ayat tentang hukumNya yang telah aku langgar, maka tercekat, tiba-tiba kehilangan energi. Tak kuat untuk lanjutkan.
Namun sesuai nasehat pak Mawardi, guru ngaji pertamaku dulu, jangan mudah berhenti saat tilawah, karena di situlah godaannya.
Dan benar, di ayat berikutnya ada kalimat "...dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Nyesss.
Sejuk dan sugar.
Lalu air mata.
Demikianlah, menjalani sisa ini memang harus dalam pemahaman yang benar atas tempat dan kesempatan.
Bis 9 BT (Uki-Bekasi Timur), 13/03/2017
Poetoe.
Kamis, 16 Maret 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
BAB 1 CAHAYA (Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma, Kebenaran seperti a ksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti kebenaran...
-
rantai langkah gontai kata memaknai detik dengan arti mata menangkap singkap rahasia jelang mati sejak lahir berani ada dalam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar